PUISI: DARI MANA, TERUS KE MANA?
PUISI: DARI MANA, TERUS KE
MANA?
Oleh
Tengsoe Tjahjono
Bagaimana menulis puisi? Sebuah pertanyaan
yang tidak gampang dijawab. ‘Tidak gampang’ karena sebuah karya sejatinya
adalah ekspresif subjektif, ungkapan personal, serta khas pribadi. Apakah ada ukuran-ukuran
resmi tentang keindahan puisi? Tentu saja tidak ada. Keindahan selalu saja
relatif.
Mengapa orang sulit
menulis puisi? Menulis puisi itu menjadi sulit karena saat menulis puisi orang
tersebut ingin menulis puisi yang baik, ingin puisinya sebagus karya Sapardi
Djoko Damono, Rendra, Taufiq Ismail, atau lainnya. "Keinginan" itu
justru menjadi hambatan besar menulis. Ketika merasa puisinya tidak baik, orang
itu menjadi enggan menulis; ketika puisinya dirasa tidak sebagus karya penyair
mapan, orang itu pun patah arang. Ingin berhasil menulis puisi? Hapus
"keinginan menjadi baik" saat Anda belajar atau berproses.
Apa yang akan saya jelaskan mengenai bagaimana menulis puisi ini tentu merupakan pengalaman subjektif saya yang bisa jadi akan berbeda dengan penyair lain. Izinkan saya berbagi.
Secara teknis, menulis puisi tentu
memerlukan sarana. Sarana yang dimaksud adalah: kata, kalimat, majas, dan
irama. Namun, selalu berpikir mengenai teknik, justru membuat kita tidak segera
menulis puisi. Acap kali kita berujar: Aku tak mampu menyusun kalimat indah,
sulit menemukan kata-kata tepat, dan sebagainya. Ujung-ujungnya kita
sungguh-sungguh kesulitan menulis.
Apa yang dapat kita tulis jika kita tidak
memiliki bahan? Bagaimana kita memiliki bahan jika kita tidak peka menangkap
objek? Bukan hanya objek estetika tetapi juga objek yang mampu mengganggu daya
kritis kita.
Jadi, tahapan awal belajar menulis puisi
adalah belajar peka menangkap hal, peristiwa, kejadian, dan sebagainya. Hal ini
yang seringkali dilupakan oleh para pemula ketika belajar menulis. Belajar
teknik menulis: misalnya belajar memilih kata, menyusun baris dan bait, membangun
irama, dan sebagainya, adalah penting. Namun peka menangkap objek juga
merupakan bagian proses menulis yang tidak kalah pentingnya.
PIPIT KECIL ITU
Pipit kecil itu memandangi jendela
Cahaya matahari berkilau ceria
Namun, apa daya, kaki terikat di tiang petaka
Tak ada keluh, tak ada suara
Walau jiwanya melayang melintasi tembok demi tembok
Menembus benteng demi benteng
Tubuhnya lunglai di bawah jendela terbuka
Bimbing dia mengepakkan sayap, melintasi mega-mega
Menuju cakrawala jauh
Menggapai masa depan penuh
Waktu akan merabuknya jadi dewasa!
AKU HANYA INGIN MENARI BERSAMA ANGIN
Karena aku kupu-kupu
Ingin kujelajahi aneka taman, kubaca rahasia segala kuntum bunga
Kutulis kemudian ke dalam kitab jiwa
Berjalan di jembatan pelangi menggapai rahasia hujan
Karena aku memiliki beribu tanya
Yang tak mudah kucari jawabnya
Jiwa memberontak, tapi aku cuma seonggok daging tanpa jiwa
Terbujur pada ruang empat persegi
membaca kelabu waktu-waktu mendatang, air mata di pipi meliang)
MATA ITU
Matanya cekung menatap jendela. Langit biru di sana
Sulit ia menebak rahasianya.
Baru sehasta rebahlah ia
anak bermata perigi itu, kering tanpa air
Saat jiwa ingin bergerak bebas merasakan deru angin hutan-hutan
Gemercik air gunung-danau
Dan berseru, ”Aku di sini, wahai keriuhan, temani aku bernyanyi!”
Suaranya parau melodi, mencakar-cakar
Jantungku yang bisu.
Menulis puisi sebenarnya tidak selalu berangkat dari tema. Menulis
puisi bermula dari kepekaan penyair menangkap objek yang ada di sekitar
hidupnya. Pengalaman dan peristiwa merupakan sumber yang tidak pernah habis
bagi inspirasi seorang penyair.
Puisi
kadang-kadang ditulis dengan amat sederhana. Penyair bisa saja sekadar
melukiskan apa yang disadarinya secara indrawi apa adanya. Misalnya sebagai
berikut.
BATU
sebuah
batu
hitam
berkilatmenghadang jejak
jempol
berdarah
ada
teriak
serak
Menarasikan Peristiwa
Penyair bisa
saja menuliskan sebuah peristiwa yang dialaminya menjadi sebuah narasi, puisi bercerita.
Tentu penyair mengembangkan peristiwa yang dialaminya tersebut sesuai dengan
kebutuhan ekspresi yang diinginkan.
KISAH BATU
Sebuah
batu membeku di ujung jalanTersimpan dendam dalam benak
Lalu ditata tubuhnya pada tepian
Menunggu jejak lewat
“Terimalah harga yang harus kaubayar
atas tubuhku yang robek kau benturkan dinding
pualam….”
Taman
Menjadikan Peristiwa sebagai Lambang
Sebuah peristiwa bisa saja diangkat sebagai lambang dari suatu hal lain. Entah batu dipakai untuk melambangkan kebekuan, kekerasan, kesepian, dan sebagainya. Perhatikan contoh berikut ini.
TANPAMU
Hidup tambah batu
Hanya selembar rumput
keringMengajak berbincang
Ketika pagi
Tak seinci bergerak
Diam pada jiwa
Pada puisi Tanpamu batu melambangkan kesendirian
dan kesepian. Batu yang hanya berbincang dengan selembar rumput kering ketika
pagi melukiskan betapa sendirinya aku lirik. Sedangkan dalam puisi Mengapa diam batu melambangkan
keteguhan jiwa.
Itulah beberapa
catatan kecil mengenai
proses menulis puisi. Sungguh,
tak ada teori penciptaan menulis. Hanya sebagai pemula kita harus memahami karakteristik
wujud puisi itu. Selamat menulis.
Seoul,
12 Oktober 2014
Dalam puisi, Perasaan dan gagasan ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Trima kasih pencerahannya pak Tengsoe.
BalasHapus