BELAJAR DARI PARA JAWARA PENULIS ESAI
Tengsoe Tjahjono
Ingin menjadi penulis esai andal? Tentu, hal
itu merupakan cita-cita yang sangat baik. Setiap orang yang belajar menekuni
bidang tertentu, selalu ingin menjadi yang terbaik di bidang tersebut. Namun,
hal itu harus dicapai dengan bekerja keras. Tidak bisa instan, tidak bisa serta
merta. Pasti melalui proses panjang. Jatuh bangun, dan mungkin berdarah-darah.
Yang dibutuhkan adalah mampukah kita bertahan dan tetap setia.
Tahap awal dari proses panjang itu adalah
panggilan untuk memulai membaca. Tentu saja membaca tulisan-tulisan esai yang
ada. Dari tulisan itu kita akan belajar tentang topik, tentang bahasa yang
digunakan, tentang format yang disusun, dan sebagainya. Ingin menjadi penulis esai
andal? Mulailah membaca esai para jawara penulis esai Indonesia. Misalnya
Goenawan Mohammad, Radhar Panca Dahana, Bandung Mawardi, dan sebagainya.
Sekilas tentang Esai
Sebelum belajar dari para jawara penulis esai
tersebut, baiklah dengan serba singkat kita pahami dulu esai itu apa. Kata essay berasal dari bahasa Prancis, essai, artinya mencoba atau berusaha (a try or attempt). Esai adalah tulisan
yang mengungkapkan informasi, opini,
atau perasaan, dan tanggapan atau analisis terhadap suatu topik. Esai adalah
tulisan pendek yang berisi pandangan atau opini penulis tentang suatu hal atau
suatu masalah.
Esai bergerak antara objektivitas dan
subjektivitas. Esai tak hanya menampilkan opini tapi juga data, fakta, atau
evidensi demi mengokohkan opini. Sifat esai tersebut bisa cair, ringan, bebas,
pendek, sedang, dan bisa dibaca sambil lalu. Esai berisi beragam tema: politik,
seni, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya. Esai tidak selalu menjawab
masalah, acapkali justru memprovokasi lahirnya pertanyaan-pertanyaan baru.
Bentuk esai pun beragam. Ada esai
deskriptif, ekspositori, naratif, dokumentatif, dan persuasif. Esai deskriptif
(descriptive essays) menggambarkan
orang, tempat, atau sesuatu sejelas dan sedetil mungkin sehingga pembaca dengan
mudah membentuk “gambar mental” (mental
picture) tentang apa yang ditulis. Esai deskriptif biasanya bertujuan
menciptakan kesan tentang seseorang, tempat, atau benda.
Esai ekspositori (expository essays) menjelaskan suatu hal
kepada pembaca. Esai ini dilengkapi penjelasan tentang proses, pembandingan dua
hal, identifikasi hubungan sebab-akibat, penjelasan dengan contoh, pembagian
dan penglasifikasian, atau pendefinisian. Esai naratif (narrative essays) menceritakan sebuah kisah atau cerita, misalnya
tentang pengalaman atau peristiwa masa lalu, kejadian atau peristiwa yang baru
saja terjadi/sedang terjadi, bisa juga tentang sesuatu yang terjadi kepada
orang lain. Esai naratif menggambarkan suatu ide dengan cara bertutur. Kejadian
yang diceritakan biasanya disajikan sesuai urutan waktu (kronologis).
Esai dokumentatif (documentative essays) memberikan
informasi berdasarkan suatu penelitian di bawah suatu institusi atau otoritas
tertentu. Esai Persuasif (persuasive essays)
meyakinkan pembaca untuk menyetujui sudut pandang penulis tentang sesuatu atau
menerima rekomendasi penulisnya untuk melakukan sesuatu. Ringkasnya, esai
jenis ini berisi ajakan atau seruan.
Esai ini berusaha mengubah perilaku pembaca atau memotivasi pembaca untuk ikut
serta dalam suatu aksi/tindakan (call for
action).
Bagaimana langkah-langkah penulisan
esai? Ada 5 langkah penting dalam menulis sebuah esai, yaitu: (1) memilih dan
menentukan topik, (2) membangun opini atas topik tersebut, (3) menulis paragraf
pertama, (4) mengembangkan esai, dan (5) menulis paragraf penutup.
Dengan membaca karya-karya para
penulis esai, kita akan belajar tentang memilih dan menentukan topik, belajar
membangun opini, belajar menulis paragraf pertama dan paragraf penutup, serta
belajar mengembangkan tulisan esai.
Memilih dan
Menentukan Topik
Bolehkah berbohong? Siapa yang tidak
pernah berbohong? Demi kebaikan kadang-kadang berbohong itu diperlukan. Tentang
bohong bukanlah yang asing bagi kita. Namun, pernahkah kita mencoba menulisnya.
Topik sederhana itu pernah ditulis oleh Radhar Panca Dahana dengan judul
“Kejujuran yang Bohong” (Kompas,
18/1/11). Mudik? Di Indonesia siapa yang
tidak mengenal tradisi tersebut. Setiap hari raya idul fitri jutaan orang
berduyun-duyun mudik ke tempat asal masing-masing. Yang menarik Bandung Mawardi
tergoda mengangkat topik tersebut dengan melihat bagaimana sastrawan menuliskannya
menjadi karya sastra. Dalam “Sastra Merayakan Mudik” (Kedaulatan Rakyat, 27 September 2009) Bandung Mawardi menganalisis
cerpen Putu Wijaya yang berjudul Mudik,
cerpen Yudhistira ANM Massardi yang
berjudul Lebaran Kami, cerpen Mudik karangan Mustofa W. Hasyim,
danbeberapa cerpen karya Umar Kayam. Berdasarkan beberapa cerpen tersebut
Bandung berhasil mengungkapkan sikap batin dan sikap budaya masyarakat
Indonesia terhadap tradisi mudik, ada yang pro-kontra, ada pula yang menderita
dan kecewa.
Tembok. Pagar. Juga hal yang biasa
kita lihat. Dalam Catatan Pinggirnya Goenawan Mohamad menulis dengan judul Tembok
(Tempo, Rabu, 4 September
2013). Dalam esainya itu ‘tembok’ dihadirkan sebagai metafora dari garis batas
antara yang miskin dengan yang kaya, antara rakyat dengan para pemimpinnya.
Tembok itu membuat batas yang kuat, yang membuat rakyat dan yang miskin itu
justru terpinggirkan. Demikian juga tentang ‘pentas’. Siapa yang tidak pernah
melihat pentas atau panggung. Dalam esainya yang berjudul Pentas (Tempo, Selasa, 6
Agustus 2013) Goenawan Mohamad mencatat bahwa pentas atau panggung menjadi
sangat penting bagi para pemimpin. Di sanalah mereka bisa menunjukkan kekuasaan
dari posisi hierarkinya.
Topik itu berangkat dari kesadaran
diri seorang penulis saat bersentuhan dengan peristiwa, fenomena, hal, dan
sebagainya, yang hidup di sekitarnya. Peristiwa itu mungkin saja tidaklah
terlalu spektakuler, namun memiliki nilai humanistik yang kuat. Hal-hal seperti
itulah yang pada umumnya menggoda penulis untuk segera menuliskannya.
Topik adalah hal yang dibahas. Topik
berserak di sekitar kita, bergantung apakah kita memiliki kepekaan untuk
menyadari bahwa suatu hal merupakan topik yang menarik untuk ditulis. Topik yang
menarik biasanya adalah topik yang aktual, di samping ada topik-topik yang
secara periodik muncul, misalnya Kartini di bulan April, pendidikan di bulan
Mei, kemerdekaan di bulan Agustus, dan sebagainya. Topik yang secara berkala
muncul hendaknya diaktualisasikan sehingga tidak lahir tulisan yang merupakan
replikasi atau duplikasi pembahasan yang pernah ada pada tahun-tahun
sebelumnya.
Membangun Opini
Tulisan esai, di samping menyajikan
fakta atau fenomena, juga berisi pandangan kritis atau opini penulis atas fakta
atau fenomena tersebut. Opini kita tentu saja harus argumentatif. Apakah opini itu didasarkan pada pengetahuan valid yang
dapat diterima banyak orang, atau hanya berdasarkan pada sesuatu yang “tampaknya”
benar dan berbeda? Apakah opini itu memiliki nilai pertentangan dengan
pandangan umum? Apakah opini itu memiliki argumen-argumen kuat?
Apakah
opini itu dapat meyakinkan orang lain, dan mampu membangun
pertanyaan-pertanyaan baru?
Dalam esainya “Kejujuran yang
Bohong” Radhar Panca Dahana membangun opini bahwa walaupun kebohongan itu
sangat dilematis. Ia menulis sebagai berikut.
Kebohongan itu ada dalam kesenian. Dalam buku kumpulan
esai sastra saya, Dusta dan Kebenaran dalam Sastra (2003), saya mengutip ucapan
Vincent Crummles, tokoh dalam novel Charles Dickens—kerap dikutip Pablo
Picasso—”art is a lie that reveals the truth”. Kutipan itu menjelaskan, pada
dasarnya karya seni adalah dunia dusta yang terimajinasi dan direka oleh
penciptanya. Namun, pada akhirnya ia menyingkap (reveal) kebenaran dalam proses
signifikansi atau kontemplasi pembacanya.
Dua proposisi di atas hendak meneguhkan bahwa peradaban
tidak disusun hanya oleh kebenaran, apalagi sekadar kebenaran faktual, tetapi
juga oleh kebohongan, oleh dusta yang sebagian besar berkembang jadi kebenaran
tersendiri. Kebudayaan, di mana pun, menyimpan mitologi, mistisisme, legenda,
fabel, dan sebagainya, yang selalu menyimpan dusta di dalamnya. Namun, dusta
memberi kebenaran pada pemaknaan akhir.
Opini itu menjadi kuat dan mantap karena
didukung oleh gagasan-gagasan pendukung dari beberapa pemikir lain. Ini
membuktikan bahwa seorang penulis yang andal adalah pembaca yang baik pula.
Dalam esainya yang berjudul “Sastra Merayakan
Mudik” Bandung Mawardi meyakini bahwa tradisi mudik tidak bisa dihindari
apalagi dihapus. Bandung Mawardi menulis sebagai berikut.
Mudik adalah kisah pelangi manusia dengan pelbagai dalil
dan pamrih. Mudik sebagai upacara massal memang memberikan magis religiositas
dan kultural. Kisah-kisah mudik selalu mengingatkan nostalgia dan utopia. Mudik
pun membuka kesadaran atas realitas hidup dalam dilema kota, desa, uang, kerja,
identitas, mimpi, depresi, politik, ekonomi, kapitalisme, globalisasi,
demokrasi, dan lain-lain. Dilema itu mengandung kemungkinan dan taruhan untuk
gagal atau berhasil, maju atau mundur, hidup atau mati, sedih atau senang,
putih atau hitam, miskin atau kaya.
Pemikiran Bandung Mawardi mengenai makna mudik
bukan lahir begitu saja. Opini itu tentu lahir dari pengamatan, penjelajahan
pustaka, dan analisis mendalam. Bahkan, lahir pula dari pertanyaan-pertanyaan
kritis dalam dirinya.
Menulis Paragraf
Pertama
Menulis paragraf pertama merupakan bagian
yang sangat sulit dilakukan. The first
paragraph is often the most difficult to write. Namun, jika paragraf
pertama berhasil dilalui, paragraf-paragraf akan mengalir dengan mudah. Usahakan
menarik perhatian pembaca melalui paragraf pertama tersebut.
Untuk menarik perhatian pembaca mulailah
dengan suatu informasi nyata dan terpercaya. Informasi ini bisa menjadi ilustrasi untuk hal yang akan ditulis.
Dapat pula dengan suatu anekdot, yaitu suatu cerita lucu atau sebuah parodi yang
menggambarkan hal yang dimaksud. Di
samping itu dapat pula dengan menuliskan satu atau dua kalimat dari seorang
pakar atau seorang otoritas yang berkaitan dengan hal yang dibahas.
Perhatikan contoh-contoh paragraf pertama
tulisan esai berikut ini.
1. Mudik adalah tradisi
besar dalam perspektif agama, sosial, ekonomi, dan kultural di Indonesia.
Tradisi itu menjadi hajatan kolektif dengan sekian kerepotan, pengorbanan,
taruhan, pamrih, dan risiko. Mudik dalam pengertian kembali atau pulang niscaya
mengandung jejak-jejak historis dan biografis dengan kompleksitas kisah:
tragedi, komedi, atau tragik-komedi. Mudik pun menjadi kerepotan kreatif
pengarang untuk menulis kisah manusia dan membuat tafsiran-tafsiran dari
pelbagai perspektif. Kisah-kisah mudik itu menjadi sebuah perayaan teks untuk
dokumentasi dan membuka batas-batas imajinasi manusia. (Sastra Merayakan Mudik, Bandung Mawardi)
2. Pada suatu hari, 1600
tahun yang lalu, Leontius berjalan dari Piraeus ke Athena. Ia melihat
mayat-mayat tergeletak di bawah tembok utara kota: orang-orang yang dihukum
mati. Dalam cerita yang disampaikan
Sokrates itu, Leontius, antara jijik dan bernafsu, tak dapat menahan diri untuk
mendekat dan menatap tubuh-tubuh yang tak bernjawa itu. Bahkan ia berseru:
“Tatap kemari, hai terkutuk! Puaskan
menikmati wajahku yang cerah ini!”. (Tembok,
Goenawan Mohamad)
3.
”There are lies,
damned lies, and statistics.” Mark Twain (1835-1920)
Proposisi yang lebih
umum dan layak didengar sebenarnya bukanlah apa yang jadi judul tulisan ini,
tetapi sebaliknya, ”kebohongan yang jujur”. Semacam ”kebohongan putih” (white lie): mengatakan sesuatu yang
tidak benar demi kebaikan. (Kejujuran
yang Bohong, Radhar Panca Dahana)
Ada banyak cara dan gaya menulis paragraf
pertama. Masing-masing penulis esai memiliki karakter yang berbeda dalam memulai
tulisannya. Bandung Mawardi membukanya secara deskriptif-ekspositori,
melukiskan fakta yang tumbuh dan ada di masyarakat. Pembaca digiring memasuki
ke dunia fakta yang secara empirik terjadi. Sedangkan, Goenawan Mohamad
mengawali esainya dengan lukisan yang dramatik. Memang itulah kepiawaian
Goenawan Mohamad. Bahasanya cenderung puitis dan metaforik. Radhar Panca Dahana
memulai tulisannya dengan mengutip kata-kata Mark Twain. Melalui kalimat
tersebut dia secara perlahan memasuki tema yang akan dibahas.
Membaca paragraf pertama esai para jawara
penulis sungguh merupakan petualangan yang mengasyikkan. Dari situ kita akan belajar banyak, lebih-lebih dalam hal membangun
pondasi tulisan.
Mengembangkan Isi
Tulisan Esai
Dalam membuat esai kita berusaha
agar opini kita diterima, bukan ditolak. Karena itu kita harus memberikan
argumentasi yang didukung oleh data, fakta, dan evidensi (bukti/ petunjuk) yang
cukup. Karena itulah seorang penulis esai dituntut memiliki pengetahuan memadai
tentang hal yang ditulis. Entah itu diperoleh dari observasi, studi referensi,
wawancara dan sebagainya.
Bandung Mawardi ingin mengajak
pembaca menyadari betapa kompleksnya persoalan sosial dan budaya sehubungan
dengan tradisi mudik. Bagaimana cara dia mengembangkan gagasan tersebut?
Bandung Mawardi dengan amat kreatifnya memilih cerpen yang mengangkat tema-tema
tersebut. Karya sastra dapat dipakai sebagai lorong memasuki persoalan yang
aktual saat ini. Sedangkan Goenawan Mohamad memakai kisah-kisah lama, bahkan
kisah-kisah mitologi dalam upaya mengangkat tema kesenjangan antara si kaya dan
miskin, antara penguasa dan rakyatnya, bahkan tembok yang memisahkan mereka.
Pengetahuan perihal kisah lama dan mitologi dipakai Goenawan Mohamad untuk
mengonkretkan gagasannya. Dengan cara tersebut pembaca lebih mudah mengangkap
opini yang dipaparkan.
Radhar Panca Dahana mengembangkan
esainya melalui paparan beberapa pendapat para ahli sehubungan dengan topik
yang diangkatnya. Dalam “Kejujuran yang Bohong” dia menggunakan gagasan Mark
Twain, Vincent Crummles, Pablo Picasso, dan sebagainya untuk mempertajam opini
dan memperkuat landasan berpikirnya. Opini tersebut juga didukung data yang
akurat yang diperoleh dari hasil pengamatan kritis terhadap perilaku berbohong
itu.
Menulis Paragraf
Penutup
Paragraf penutup pada umumnya berisi simpulan
dan harapan penulis. Simpulan merupakan sari dari segala gagasan yang tertuang
dalam paragraf-paragraf sebelumnya. Dalam simpulan jangan kita mengulang
kalimat-kalimat yang sudah ada pada bagian sebelumnya, namun sungguh-sungguh
pernyataan segar agar tidak monoton. Sedangkan harapan merupakan pernyataan
ideal dari penulis agar ada perubahan atau pembaharuan tentang hal yang
ditulis.
Perhatikan contoh paragraf akhir berikut ini.
1) Sastra mudik
mengisahkan dilema-dilema itu dengan sekian perspektif untuk mencatatkan lakon
hidup manusia. Sastra mudik memang identik dengan peristiwa atau momentum
Lebaran. Sastra mudik tidak sekadar perayaan imajinasi tapi perayaan inklusif
untuk membaca dan menafsirkan realitas. Begitu. (Sastra Merayakan Mudik, Bandung Mawardi)
2) Pada akhirnya akan
tampak bahwa pemerintahan yang baik dimulai dengan bersahaja: menyadari bahwa
tak ada Zeus atau Tuhan yang membentenginya. (Tembok, Goenawan Mohamad)
3) Kepemimpinan yang
arif akan melihat lebih dalam dari sekadar fakta: kebenaran. Kebenaran yang ada
di jalan becek dan macet, banjir, pasar yang mahal, pekerjaan yang sulit, serta
biaya kesehatan yang mahal. Kita membutuhkan pemimpin yang mengetahui
kebenaran. Kita butuh negarawan. (Kejujuran
yang Bohong, Radhar Panca Dahana)
Ketiga jawara penulis esai di atas
sangat tampak perbedaan gaya dan cara membuat paragraf terakhir. Bandung
Mawardi mengakhiri tulisannya dengan membuat simpulan tentang apa itu sastra
mudik. Tidak ada harapan yang dituliskan pada paragraf akhir tersebut. Goenawan
Mohamad hanya membuat satu kalimat dalam paragraf terakhirnya. Dalam paragraf
terakhir itu Goenawan Mohamad menampilkan harapan secara tersirat tentang
pemerintahan yang baik. Sedangkan, Radhar Panca Dahana juga menuliskannya
harapan pada paragraf terakhir. Hanya saja Radhar menuliskannya secara
eksplisit, bahkan cenderung frontal.
Begitulah sekilas perihal menulis
esai dengan cara belajar atau meguru
kepada para jawara penulis esai. Sungguh, untuk kali pertama belajar, mencontoh
atau terpengaruh bukanlah hal yang tabu. Jangan takut mencontoh, jangan takut
terpengaruh. Kesetiaan kitalah kelak yang akan membentuk karakter tulisan kita.
Saya yakin, pada akhirnya kita akan tetap menjadi diri kira. Unik dan khas.
Komentar
Posting Komentar