BERLATIH MENULIS CERPEN
BERLATIH MENULIS CERPEN
Oleh Tengsoe Tjahjono
Saat saya ditawari untuk memberikan
pelatihan menulis cerpen yang saya tanyakan lebih dahulu siapa pesertanya.
Guru-guru SMA. Berdasarkan jawaban itu muncul dua masalah dalam diri saya:
Pelatihan ini untuk membekali guru agar mampu menulis cerpen atau membekali
guru agar mampu mengajarkan perihal menulis cerpen untuk para anak didik
mereka. Atau justru untuk kedua-duanya.
Lalu saya berpikir lagi: Mana mungkin
seseorang mampu mengajarkan menulis cerpen jika ia tidak memiliki pengalaman
menulis cerpen. Berdasarkan hal tersebut maka pelatihan ini saya susun
sebagaimana seorang guru yang sedang mengajarkan menulis cerpen kepada
siswanya. Pengalaman dalam pelatihan kali ini dapat diterapkan di sekolah
kelak.
A.
Mengenali unsur-unsur cerpen
Cerpen atau cerita pendek merupakan
jenis tulisan narasi fiktif. Kata “pendek” menyangkut beberapa hal: panjang
tulisan terbatas, jumlah tokoh terbatas, alur hanya mengangkat hal-hal kecil
atau sebagian kisah hidup tokoh, segala persoalan tidak harus tuntas terjawab
pada bagian akhir cerita.
Unsur utama cerpen adalah tema, tokoh,
alur, dan titik kisah. Unsur-unsur lain
bersifat mendukung saja. Keempat unsur ini tak dapat ditinggalkan begitu saja
dalam proses penulisan cerpen.
Perlatihan
1
Bacalah cerpen berikut ini secara
cermat.
POTRET
Perempuan tua duduk di kursi panjang di ruang tunggu stasiun. Bertahun-tahun lamanya. Pegawai-pegawai di tempat itu amat mengenalnya. Tapi, mereka juga tidak lagi peduli.
Perempuan tua duduk di kursi panjang di ruang tunggu stasiun. Bertahun-tahun lamanya. Pegawai-pegawai di tempat itu amat mengenalnya. Tapi, mereka juga tidak lagi peduli.
“Aku
menunggu anakku,” begitu jawabnya tiap kali orang bertanya. Perempuan bermata
cekung itu selalu mengawasi arah pintu. Telinganya pun selalu menunggu gema
peluit kereta. Matanya selalu mencari.
“Dia.
Dia. Pasti dia!” serunya tiba-tiba. Tubuhnya dengan enteng menerobos kerumunan
penumpang yang baru keluar dari gerbong. Ia pun terdorong ke kiri ke kanan,
sebelum akhirnya terjungkal di antara kaki-kaki. Seorang wartawan yang melintas
dengan cekatan mengabadikan peristiwa itu lewat kamera.
(Tengsoe Tjahjono)
Kerjakan perlatihan berikut ini.
1. Ubahlah nama tokoh.
2. Ubahlah karakter tokoh.
3. Ubahlah konflik yang dialami tokoh.
4. Ubahlah “ending “ cerita.
5. Ubahlah judul cerpen tersebut.
Anda telah membuat cerpen dengan cara
“mencontoh” pola cerpen yang ada. Proses “mencontoh” adalah proses awal dari
seseorang yang sedang belajar. Hal tersebut sesungguhnya merupakan hal yang
wajar. Dari Perlatihan 1 terdapat
beberapa hal yang dapat kita petik:
1. Cerpen itu merupakan tulisan narasi yang pendek. Ukuran pendek itu
amat relatif.
2. Karakter tokoh yang kuat akan mempengaruhi alur, latar, dan konflik
yang muncul.
3. Bahasa dalam cerpen harus sungguh-sungguh efektif dan berdaya. Satu
kalimat akan sekaligus mengungkapkan alur, konflik, dan karakter tokoh misalnya.
B.
Kekuatan paragraf pertama
Sebuah cerpen selalu bermula dari
paragraf pembuka. Paragraf pertama ini amat strategis sifatnya untuk membangun
paragraf-paragraf berikutnya sehingga terbentuk suatu bangunan cerita yang
utuh. Menulis paragraf pertama bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi untuk
mengawali sebuah cerpen. Ada banyak cara cerpenis mengawali kisah yang
ditulisnya. Perhatikan contoh berikut ini.
Contoh 1
Barong tak lagi seperti dulu. Semenjak semburan lumpur
mengubur wilayah itu, wajah-wajah kuyu dan muram menghiasi sudut-sudut kota.
Jika Anda naik kendaraan dari kota provinsi menuju daerah timur, Anda pasti
akan melalui kota Barong, sebab satu-satunya akses ya hanya kota itu. Dulu sebelum
jalan tol digenangi lumpur, kendaraan roda empat pasti akan memilih jalan tol.
Sekarang nggak ada pilihan lain. Harus rela antre dan berdesak-desakan di nadi
kota Barong. Berjam-jam. Bersabar-sabar.
Kuyu dan muram.
(“Tanah Masa Depan” – Tengsoe Tjahjono)
(“Tanah Masa Depan” – Tengsoe Tjahjono)
Contoh 2
Pulang! Begitu kata hatinya mantap.
Bukan hanya karena rindu kepada Bapak dan Emaknya, bila akhirnya ia
berketetapan untuk pulang. Juga bukan karena Waginah yang setia menunggunya.
Juga bukan karena surat yang dikirimkan Lik Tarno yang mengabarkan sapi
bapaknya telah beranak dua. Tetapi kata hatinya selalu berbisik inilah saat
terbaik untuk pulang.
(“Saat Terbaik” – Tengsoe Tjahjono)
(“Saat Terbaik” – Tengsoe Tjahjono)
Contoh 3
Sebelum menikah dulu, aku paling
nggak suka sama kucing. Juga Rumi, pacarku yang kini resmi jadi istriku.
Mungkin kami boleh dibilang bukan penyayang binatang. Tapi bagaimana lagi, kami
nggak suka bulunya, tahinya, baunya, bahkan meongnya.
(“Kucing-Kucing Istriku” – Tengsoe Tjahjono)
(“Kucing-Kucing Istriku” – Tengsoe Tjahjono)
Contoh 4
Akhirnya ia pun sampai ke
kota itu. Kota yang entah di mana ia mulai mengenalnya. Namun ia merasa amat
akrab. Yang jelas ia amat menyukai penduduk, cakrawala, dan bangunan-bangunan
tua yang berjajar bagai pohonan.
”Ini kotamu. Tempat kamu
dulu dilahirkan,” kata seorang lelaki tua. Ia pun pasrah saat lelaki tua itu
mengajaknya (bahkan terkesan mendorong dan menyeretnya) menuju sebuah bangunan
berbentuk joglo. Tanpa dinding, tanpa pintu, tanpa jendela. ”Lihat, balai-balai
di tengah itu. Di situ ibumu dulu meregang nyawa saat melahirkanmu.” Tapi ia
sungguh tidak ingat peristiwa itu. Bahkan, ia tidak pernah mendengarkan kisah
heroik itu dari orang-orang di sekitarnya. Ia juga merasa tidak yakin dengan
cerita lelaki tua itu. Mana mungkin seseorang melahirkan di ruang terbuka
seperti ini?
(”Kota Tiba-tiba” – Tengsoe Tjahjono)
(”Kota Tiba-tiba” – Tengsoe Tjahjono)
Setiap kali saya menulis cerpen, saya
selalu suka membaca ulang bagian paragraf pembuka. Saya ingin mengetahui reflek
kreatif saya saat membuka sebuah teks cerpen.
Dan, kenyataannya saya selalu membuka dengan cara yang berbeda.
Pada cerpen “Tanah Masa Depan” saya
mulai dari deskripsi sebuah kota yang tiba-tiba didera bencana munculnya
semburan lumpuran. Dalam cerpen penggambaran latar seperti itu bukan sekadar
untuk melukiskan keadaan suatu tempat, tetapi sekaligus sebagai sinyal konflik apa yang akan muncul. Cerpen “Saat
Terbaik” saya mulai dengan kata “Pulang!”,
satu kata yang lahir dari sebuah ketetepan hati. Satu kata tersebut terkesan
amat spontan dan ekspresif. Ketetapan hati ini pun juga membayangkan konflik
apa yang akan berkembang. Cerpen “Kucing-kucing Istriku” saya mulai dengan
sikap pasangan aku dan istrinya terhadap kucing. Kebencian mereka terhadap
kucing menunjukkan pula perihal konflik yang akan tumbuh.
Cerpen “Kota Tiba-tiba” lahir dari
keliaran imajinasi dan prinsip “andai”. Andai ada kota yang bangunan asing dan
tidak lazim, andai seorang ibu melahirkan di beranda terbuka ditonton oleh
banyak orang, dan sebagainya, lalu akan bagaimana keadaan kota dan masyarakatnya.
Ranah simbolik seperti ini amat menarik karena cerpenis membangun sebuah dunia
baru yang sungguh amat asing.
Paragraf awal dapat berupa deskripsi,
narasi, monolog, dan sebagainya. Yang terpenting adalah pada setiap paragraf
awal, pembaca sudah disuguhi sinyal-sinyal mengenai konflik yang akan
berkembang.
Perlatihan 2
Bacalah paragraf pembuka cerpen berikut
ini.
SEEEP …!
Cerpen Yanusa Nugroho
Gema suaranya merayap, memanjati pohon mangga, pohon
jambu, menyusupi kuburan, mengalun membentur bongkaran tanah galian yang
menggunung, berbongkah, menggumpal, merah agak basah.
Perempuan itu berjalan tersuruk-suruk. Kakinya yang
telanjang tampak kering dengan tumit pecah-pecah.
….
Kerjakan perlatihan berikut ini.
1. Lanjutkan paragraf pembuka tersebut dengan tambahan
paragraf-paragraf baru secara runtut sesuai dengan imajinasi Anda sendiri
sehingga membentuk kesatuan cerita yang utuh.
2. Ubahlah judul cerpen tersebut sesuai dengan isi hasil pengembangan
Anda.
Anda telah membuat cerpen pendek dengan
cara mengembangkan paragraf pembuka sebuah cerpen karya seorang cerpenis. Dari
Perlatihan 2 ini ada beberapa hal yang dapat kita petik:
1. Cerpen ternyata tidak selalu berangkat dari tema.
2. Tokoh dengan karakter yang kuat akan melahirkan alur dan konfliknya
sendiri. Cerpenis tinggal menuliskan narasi berdasarkan logika para tokohnya.
3. Cerpen tidak memerlukan kerangka karangan karena tokoh-tokoh dengan
karakter yang kuat secara otomatis akan membangun alurnya sendiri.
C.
Bahan penulisan cerpen
1.
Tokoh dengan karakter kuat
Jika cerpenis sudah memiliki tokoh
dengan karakter kuat seperti itu dan telah berhasil menyusun paragraf pertama
secara baik, cerita pasti akan mengalir dengan sendiri. Oleh karena seorang
cerpenis harus memiliki pengetahuan yang cukup mengenai karakter-karakter
manusia dengan segala persoalan hidupnya.
2.
Latar dengan karakter kuat
Latar sosial yang memiliki keunikan
seperti itu juga membayangkan potensi konflik yang dapat dikembangkan menjadi
cerita yang menarik. Sebuah cerpen dapat dimulai dari deskripsi latar secara
detail dan hidup. Latar yang hidup dapat ditulis oleh seorang penulis yang
memiliki eksplorasi yang kuat terhadap objek. Latar sosial yang hidup akan
mengembangkan sendiri konfliknya.
3.
Peristiwa yang humanistis
Dalam hidup sehari-hari, entah melalui
membaca, menonton televisi, atau menyaksikan sendiri, kita akan bertemu dengan
pelbagai peristiwa yang humanistis, misalnya: ibu yang menggendong bayinya
mengamen di sebuah traffic-light,
sebuah bus kota yang dijubeli penumpang, pria yang nekat bunuh diri karena
di-PHK, koruptor yang tersenyum-senyum saat diambil gambarnya oleh wartawan,
dan sebagainya. Dengan kepekaan seorang
penulis, peristiwa-peristiwa tersebut dapat menjadi sumber inspirasi bagi cerpennya.
4.
Gagasan atau pemikiran
Cerpen juga dapat dimulai dari gagasan
atau pemikiran cerpenis mengenai suatu hal atau suatu keadaan. Misalnya gagasan
bahwa koruptor itu harus dihukum berat, masa depan harus diperjuangkan, sungai
harus bebas pestisida, dan sebagainya. Gagasan-gagagasan tersebut dapat diurai
menjadi sebuah cerita dengan menciptakan tokoh dan konflikya.
Perlatihan
3
Tulislah sebuah paragraf pembuka sebuah cerpen. Anda boleh memulai dari sebuah
deskripsi, narasi, konflik, monolog, atau bahkan dialog, baik dalam imajinasi
yang biasa-biasa saja maupun imajinasi yang liar. Silakan Anda berkreasi sesuai
dengan keinginan Anda. Yang terpenting “bibit” konflik sudah membayang pada
paragraf awal tersebut.
D. Pentingnya menutup cerita secara menarik
Setiap
pembaca memiliki horizon harapan saat membaca sebuah cerpen. Cerpen yang baik
mampu mempermainkan horizon harapan ini. Apakah horizon harapan pembaca ini
terpenuhi atau justru ditolak oleh cerpenis akan tergambar pada “ending” cerpen. Cerpen yang baik akan
dipenuhi suspense, bahkan sampai
dengan paragraf penutup.
Perlatihan
4
Bacalah cerpen berikut ini.
LELAKI DI BAWAH JENDELA
Cerpen
Tengsoe Tjahjono
Langit
hitam. Siluet pepohonan di kiri kanan bagai hantu hitam. Bergoyang-goyang
diterpa angin hitam. Mungkin ini cuma sisa keberanian, setelah hidupnya hancur
lebur diterpa badai hitam. Sebagai penjaja es cendol keliling Dargo harus rela
bersaing dengan es krim kemasan yang serba indah. Dan ia selalu kalah.
Kekalahan itulah yang selalu dibawanya pulang menemui Sumilah istrinya dan tiga
anaknya yang masih kecil-kecil. Sudah seminggu ini Si Bungsu sakit. Sisa
keberanianlah yang mendorong Dargo mengendap-endap ke rumah Juragan Darwis,
ketika langit hitam, angin hitam, suara jutaan cengkrik menyerbu gendang
telinganya.
Linggis kecil pemecah es batu
diselipkan di pinggangnya. Ada getar ranting-ranting kering terinjak kakinya,
burung dares memekik di kejauhan. Ya, lewat jendela itu aku bisa langsung ke
ruang tengah, bisiknya dalam hati sambil terus mengendap dengan mata awas,
dengan telinga yang siap menampung tumpukan curiga. Pohon-pohon pisang itu
seakan-akan mengawasi terus gerak-geriknya. Detak jantungnya seperti jam
dinding yang nyaris kehabisan baterai.
Kentongan dari gardu selatan dusun
ditabuh dua kali ketika perlahan Dargo mulai menggunakan linggisnya. Mulut
linggis yang tajam itu dimasukkannya ke sela engsel jendela. Di langit tak ada
bintang-gemintang. Cuma kelam. Mulut linggis menjelma jadi pengungkit di tangan
kekar Dargo. Tapi, engsel jendela justru menjelma menjadi wajah ayahnya yang
menatap tajam kepada Dargo. Dargo nyaris memekik. Linggis itu mendingin di
tangannya.
“Dargo, anakku, lupakah kau pada
pesanku? Dalam keadaan terjepit pun jangan kau coba inginkan barang orang lain.
Itu bukan jalan terbaik. Mohonlah kepada Tuhan dan ikhtiarlah, insyaallah Tuhan
akan membantumu. “ Linggis itu pun terkulai, runtuh di dekat kakinya. Terkulai
pula Dargo, bersandar di dinding. Langit masih tanpa bintang-gemintang.
Pohon-pohon pisang masih awas menyelidikinya. Ditelusurilah langit sejengkal demi
sejengkal seperti ia mengurai sejarah hidupnya.
Ayahnya adalah seorang veteran perang. Tapi pada
masa kemerdekaan tidak otomatis hidup ayahnya enak sebanding dengan
pengorbanannya saat berjuang dulu. Sebagai veteran gajinya nggak banyak. Rumah
yang ditinggalinya tak pantas disebut rumah karena teramat kecil untuk sepasang
suami istri dan lima orang anak saat itu. Ayahnya harus bekerja untuk
menghidupi keluarganya. Jualan es cendol keliling sampai akhir hayatnya.
Pekerjaan itu diwariskannya kepada Dargo. Dargo tersentak tangis Si Bungsu
memukul-mukul gendang telinganya. Ia sudah seminggu ini panas. Karena kemampuan
orang tua itu hanyalah mengompres dahinya, bukan membelikannya obat di apotek,
apalagi membawanya ke dokter, panas Si Bungsu makin mencemaskan saja.
Diraihnya linggis kecil itu dengan
kakinya. Dalam latar tangis Si Bungsu ia pungut linggis itu kembali. Dalam bara
panas tubuh Si Bungsu ia masukkan kembali mulut linggis itu ke engsel jendela,
ia bayangkan televisi Juragan Darwis menjelma menjadi ratusan ribu rupiah di
tangannya, menjelma sekantung tablet bagi Si Bungsu, menjelma celoteh Si Bungsu
menghitung jumlah itik yang berenang di parit depan rumah.
Dargo terperangah tiba-tiba ketika
sekantung tablet justru menjelma jadi segelas racun. Saat seteguk demi seteguk
Si Bungsu meminumnya, tubuhnya justru meregang, matanya putih, dan mulutnya pun
berbusa. Anakku mati, teriak Dargo merobek keheningan malam. Linggis dengan
mulutnya yang tajam runtuh ke tanah. Menancap di antara kedua kakinya.
Maka kegemparan meledak di rumah
Juragan Darwis manakala terdengar orang berteriak di bawah jendela kamar
tengah. Dengan sigap Pak Darwis meraih tongkat yang selalu tersedia di sebelah
ranjangnya. Sunu, anak sulungnya, meraih sabit rumput yang selalu disimpannya
di atas almari pakaiannya. Anggota keluarga lainnya berteriak-teriak tanpa
dikomando, “Maling!”.
Dengan refleknya yang kurang
terlatih, Dargo melompat menembus kegelapan malam. Mulanya ia ingin terjun di
kali di bawah pagar pekarangan Juragan Darwis. Namun, ia takut deburnya justru
mengundang curiga. Dengan sisa keberaniannya ia memilih memanjat pohon mangga
yang daunnya merimbun. Seperti bajing ia marayap, melompat dari dahan ke dahan
menuju puncak. Orang-orang kampung bangun, gemuruhnya bagai debur jantung Dargo.
Astaga, ada sebuah tangga. Bukan
terbuat dari keramik, tapi marmer dengan warna coklat muda berbelang-belang
tua. Dan bunga-bunga yang berdiri indah di kiri-kanan tangga berdaun kaca.
Entah terbuat dari apa dahannya. Dargo takjub tiada habisnya. Lebih mengagetkan
Si Bungsu duduk di ruang makan tanpa dinding. Meja makannya begitu luas dengan
pelbagai makanan tersedia di atasnya. Aneh, Si Bungsu tak sakit lagi.
“Bungsu?! Kaukah itu?!”
“Aku sehat sekarang, Pak. Lihat
tubuhku.” Kata Si Bungsu sambil turun dari kursinya. Ia pun berputar-putar di
depan Bapaknya. Dargo ternganga. Betapa lincah anakku sekarang!
“Dengan siapa kamu ke sini? Mana
Emak?”
“Emak di rumah, Pak. Belum waktunya
bagi Emak untuk datang ke sini.” Kata Si Bungsu sambil melompat ke atas kursinya.
Tubuhnya yang kecil tenggelam di dalam kursi itu.
“Tapi dengan siapa kamu kemari?”
tanya Dargo amat penasaran.
“Aku yang mengajaknya Dargo. Kasihan
anakmu melawan sakitnya. Biar aku yang menjaganya di sini.” Ya, Tuhan, bukankah
itu suara Ayahnya, Kakek Si Bungsu? Tiba-tiba langit hitam. Ribuan lelawa
beterbangan dari jantungnya. Dargo melepas sarungnya, melemparkannya ke udara,
sebelum tersangkut di dahan pohon mangga.
…………………………………………………………………
Kerjakan
perlatihan berikut ini.
1.
Tulislah paragraf penutup untuk cerpen di atas.
2.
Buatlah paragraf penutup itu merupakan kejutan yang tidak diduga sekali
oleh pembaca.
E.
Mengenali unsur teknis cerpen
Dalam prosa fiksi selalu terdapat bagian
teks yang merupakan pengaluran, pelukisan latar, komentar pencerita, dan
monolog maupun dialog, serta penokohan. Cerita pendek tidak akan membangun
struktur teksnya hanya dengan pengaluran semata, atau hanya dengan dialog saja.
Sebab, bila hal itu dilakukan cerpen itu akan menjemukan karena pembaca
dihadapkan pada ekspresi yang monoton, tidak bervariasi.
1.
Pengaluran
Pengaluran pada hakikatnya ialah
merangkai tindakan tokoh dari waktu ke waktu secara kausalitas. Tindakan itu
bisa berupa perilaku fisik, misalnya berjalan, mengejar, duduk merenung, dan
sebagainya; maupun perilaku rohaniah yang berisi gagasan, pemikiran, perasaan,
dan sebagainya. Dalam tataran wacana ekspresi semacam itu dapat digolongkan
sebagai wacana narasi.
Berikut ini contoh wacana narasi dalam
novel Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari. Tohari sedang mengisahkan
apa yang diperbuat Bajus.
Hampir
tengah hari Bajus menghidupkan mesin Jipnya hendak pulang. Srintil sudah
membeli jajanan, pepaya dan selai pisang, tetapi Bajus yang membayarnya. Lepas
dari daerah pantai Bajus membelokkan jipnya, masuk ke halaman sebuah
penginapan. Sejenak Srintil tertegun (1986:171).
2. Pelukisan latar
Di samping itu dalam cerpen juga terdapat pelukisan latar, baik itu berupa
latar tempat, waktu, maupun latar sosial. Pelukisan latar ini di samping
bertujuan untuk membangun imaji faktual agar cerita tampak hidup, juga
bertujuan untuk menggambarkan suasana jiwa, hati, maupun batin tokoh. Pelukisan
latar termasuk jenis wacana deskripsi.
Berikut ini contoh wacana deskripsi yang
terdapat dalam novel Ketika Novel Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti.
Rangkuti berusaha melukiskan suasana hiruk-pikuk lalu lintas di sebuah
perempatan jalan yang ber-traffict lihgt.
Ketika
lampu berwarna merah, mobil-mobil di ujung jalan itu berhenti membiarkan
mobil-mobil dari jurusan yang berlainan melintas di tengah-tengah perempatan
itu. Debu tidak nampak beterbangan di udara yang panas di atas jalan aspal yang
licin itu. Deru mobil-mobil yang melintas itu membisingkan. Asap hitam
disemburkan lubang-lubang knalpot, sehingga dari balik kaca para sopir udara
tampak menjadi hitam. Mobil-mobil itu melintas cepat menepiskan angin dan
menggoyang pohon hias di sepanjang tepi jalan (2001:1).
3.
Penulisan komentar
Menurut Sudjiman (1988:80) di samping
berkisah, pencerita juga dapat memberikan komentar terhadap apa yang
dikisahkannya itu. Ada pun komentar pencerita itu ada yang langsung ditujukan
kepada pembacanya, ada yang ditujukan kepada tokoh, dan ada pula yang tidak
langsung ditujukan kepada pembaca walaupun komentar itu dimaksudkan untuknya.
Komentar bisa berupa ragam lisan atau tulis.
Berikut ini contoh komentar pencerita
terhadap perilaku masyarakat yang menjadi latar dalam novel Tanah Baru,
Tanah Air Kedua karya N.H.Dini.
Di
mana pun, di tempat-tempat umum, selalu terdapat orang-orang yang tidak
mempunyai alat tulis! Padahal mereka datang ke sana sudah mengetahui akan
membutuhkannya. Di kantor pengiriman telegram, di instansi-instansi pemerintah,
dan ini di Dinas Tenaga Kerja. Mereka adalah orang-orang yang cukup
berpendidikan. Seharusnya mengerti bahwa alat tulis diperlukan guna mengisi
buku tamu maupun formulir ((1997:1-2).
4.
Penulisan Dialog
Seperti telah diuraikan sebelumnya,
dalam cerpen dijumpai struktur dialog
dan juga monolog. Menurut Waluyo (1994:225) jika pada saat bercerita pengarang
menguraikan cerita tokoh, maka dalam dialog, pengarang menuliskan percakapan
para tokoh.
Bahasa yang digunakan bukan lagi ragam
bahasa tulis, namun ragam bahasa lisan, bahasa yang komunikatif. Dalam ragam
bahasa lisan dibenarkan adanya dialek, adanya penghematan bahasa, dan adanya
bahasa yang tidak baku. Bahasa dialog biasanya pendek-pendek dan tidak lengkap,
karena ucapan tokoh yang satu dilengkapi oleh jawaban tokoh lainnya.
Berdasarkan pendapat Waluyo tersebut
tampak bahwa dialog tergolong ragam lisan. Ia juga merupakan wacana percakapan.
Berikut ini contoh dialog dalam novel Supernova karya Dee.
Sorot mata
Ruben yang tadi terbang mendadak jatuh. Ia menatap Dhimas tak percaya, “Kamu
pernah belajar teori keos?”
“Excuse
me! Teori keos? Aku baru saja menggubah puisinya Attar, salah satu mistik
Sufi ....”
“Ah ya!
Sufisme, teori keos, teori relativitas, fisika kuantum ... kadang-kadang aku
berpikir semua itu berasal dari satu kotak Pandora, hanya beda jaman, beda
bahasa. Kamu sadar betapa indahnya puisi itu? Dan betapa relevannya dengan apa
yang kubilang tadi?”
“Memangnya
kamu bilang apa?” (2001:6-7).
5. Penulisan Monolog
Menurut
Sudjiman (1988:84) di samping dialog juga terdapat monolog dalam cerpen. Dalam
monolog seorang tokoh berbicara dengan dirinya sendiri atau berbicara seorang
diri saja. Monolog itu cenderung lisan.Berikut ini contoh monolog yang
diucapkan Srintil dalam hatinya saat dua orang pemuda dari Jakarta ingin
membeli tubuhnya dalam novel Jantera Bianglala karya Ahmad Tohari.
Kini
kelelakian muncul lagi dalam diri dua orang pemuda dari Jakarta. Duh,
Pengeran! Aku belum tahu harus bagaimana menghadapi laki-laki meski dulu
bertahun-tahun aku merasa bangga menjadi pemangku nalurinya (1986:97).
6.
Penokohan
Tokoh merupakan motor penggerak
alur dalam cerpen. Penulis harus mampu melukiskan keadaan tokohnya secara baik. Pelukisan
keadaan tokoh itu disebut penokohan. Ada beberapa teknik penokohan: pelukisan
langsung, pelukisan keadaan sekitar tokoh, pelukisan reaksi lain terhadap tokoh
tertentu, pelukisan perilaku tokoh, dan pelukisan cara berpik1r tokoh.
a.
Pelukisan Langsung
Dalam pelukisan secara
langsung, pengarang menggambarkan keadaan fisik, tutur kata, dan sebagainya
sang tokoh secara langsung. Seakan-akan pengarang melaporkan pengamatannya atas
diri sang tokoh. Berikut ini cara Seno Gumira Ajidarma melukiskan secara
langsung tokohnya dalam cerpen Matinya
Seorang Wartawan Ibukota.
Wartawan muda itu bernama Marselli.
Umurnya 25 tahun, badannya kurus, beratnya cuma 38 kilogram, namun tingginya
189 sentimeter. Ia adalah reporter untuk berita-berita kriminal di koran Sokpas. Dulunya ia di bagian Film dan
Hiburan, tapi karena selalu banyak kritiknya terhadap film-film nasional, ia
dipindahkan (Ajidarma, 2000:141).
Contoh lain dapat
dibaca dalam kutipan novel Daerah Tidak
Bertuan karya Toha Mohtar berikut ini.
Semua mata dalam ruangan itu
mengawasi yang baru datang, seorang tua yang mengenakan baju dril coklat dengan
epolet di pundak. Wajahnya yang kering dan hitam oleh matahari tampak lonjong
menyenangkan, janggut yang tumbuh jarang menghiasi dagunya yang lancip.
Bibirnya tipis biru agak tertarik ke dalam oleh ketuaan. Matanya cekung, lebih
dalam tampaknya sejak seminggu ia meninggalkan daerah pertahanan barat
(1993:1).
b.
Pelukisan Keadaan Sekitar Tokoh
Keadaan sekitar tokoh
secara tidak langsung menggambarkan pula siapa sesungguhnya tokoh tersebut:
karakter, strata sosial, kebiasaannya, dan sebagainya. Untuk menggambarkan
siapa tokoh Dwisari dalam novel Bu Guru
Dwisari Umar Nur Zain melukiskan lingkungan rumah tokoh tersebut. Baca
penggalan berikut ini.
Rumah Dwisari, yang ditunjukkan Titi
ternyata cukup besar. Ada halaman depan yang luas dengan taman yang rapi. Cukup
modern bentuknya dibanding kiri-kanannya. Ada lengkungan-lengkungan rumah model
sekarang. Tidak pantas rumah ini milik seorang guru. (Zain, 1982:18)
c.
Pelukisan Reaksi Tokoh Lain terhadap Tokoh Utama
Dalam cerpennya Via Del Mare Satyagraha Hoerip
menggambarkan karakter atau kepribadian Miss Rosoura Revueltas melalui
percakapan antartokoh dalam cerpen. Percakapan tersebut sebagai wujud reaksi
atau komentar tokoh lain terhadap tokoh tertentu. Bacalah penggalan berikut
ini.
Nona Rouveltas adalah aktris Meksiko
yang charmant. Film-filmnya yang
terbaru menyebabkan dia tidak saja menjadi pujaan orang-orang sebangsanya,
melainkan juga bintang film Amerika Tengah yang terkemuka dewasa ini. Bahwa
wajahnya cantik, itu biasa. Begitu pula permainannya yang bagus. Tetapi bahwa
selain menulis sajak-sajak dan lirik beberapa lagu ia juga mempunyai
kepribadian yang mempesonakan, itulah kukira maka namanya jadi begitu
termasyhur. Ke mana pun ia pergi, orang berebut minta tandatangannya.
“Ah, mana mungkin,” jawabku setengah
tersenyum. “Anda berolok-olok.”
“Mengapa saya harus berolok-olok?”
sahutnya tanpa menoleh ke arahku. “Dia wanita yang baik, percayalah. Atentif.
Intelegen. Mana ramah. Para wartawan menyukainya, sebab ia begitu kooperatif dengan
mereka.” (Hoerip, 1980:52-53).
Umar Nur Zain dalam
novelnya Bu Guru Dwisari dalam
melukiskan karakter Dwisari juga menggunakan dialog antartokoh, sebagai bukti
bagaimana Dwisari di mata tokoh lain. Baca kutipan berikut ini.
“Kau teman Dwi?” tanyanya seperti
orang sudah kenal 2 tahun.
“Ya.”
“Dwi memang susah dicari.
Pekerjaannya jalan. Seolah tak pernah betah tinggal diam. Apa saja
dikerjakannya. Sejak kecil memang dia begitu.Aku kira tadinya anak ini
hiperaltif. Tetapi setelah kuserahkan pada seorang psikiater, ternyata tidak.
Hanya menunjukkan gejala mendekati. Malah IQ-nya cukup tinggi.”
“Oh, sudah sejak kecil?” tanyaku
tertawa, tetapi memancing.
“Anak itu. Aku tidak menyangka ia
memilih profesi guru. Tadinya aku kira ia senang pada dunia kedokteran atau
konstruksi. Karena sewaktu kecil, ia suka main dokter-dokteran dan membetulkan
mobil-mobilan. Atau membuat rumah-rumahan. Sebagai orang tua, Bapak tak
menyangka anak itu menjadi guru seperti sekarang. Tetapi aku bangga.”
“Memang profesi demikian harus
dibanggakan,” ujarku.
“Sudah sejak kecil, anak itu
demikian kritis. Kadang juga memberontak.Coba Nak bayangkan. Sewaktu umur 10
tahunan, ia sudah berani mengeritik ayahnya.” Orang tua itu tertawa lebar (Zain, 1982:19).
d.
Pelukisan Perilaku Tokoh
Keadaan atau karakter
tokoh dapat dibaca dari perilaku dan cara berpikirnya. Kegelisahan Kapten Wellington dalam novel Daerah tak Bertuan dilukiskan oleh Toha
Mohtar melalui apa yang dikerjakan Wellington. Baca kutipan berikut ini.
Kapten Wellington mondar-mandir
dalam kamarnya dengan kepala menunduk. Langkah kakinya yang panjang tidak
menentu. Kaki-kakinya itu menyangga badannya begitu tegap dan bidang, seperti
mau bergerak saja di luar sadar. Ada yang mencekam hatinya begitu dalam;
seluruh daya ingatnya membangkitkan kembali peristiwa yang terjadi pagi ini.
Rambutnya yang berwarna kuning jagung lusuh tidak teratur dan pada mukanya yang
lancip membayang kegelisahan. Isapan rokok yang tidak teratur, kepulan asap
yang tergantung dalam ruangan yang begitu sempit, puntung-puntung yang tersebar
di lantai batu merah, ruangan itu melahirkan suasana yang redup dan murung
(Mohtar, 1993:20).
Perlatihan 5
Lanjutkan
paragraf pembuka yang telah Anda susun pada Perlatihan 3 menjadi sebuah cerpen
yang utuh. Perhatikan beberapa unsur teknis penulisan cerpen yang sudah
dijelaskan di atas.
Modal
dasar teknis penulisan cerpen ialah penguasaan kosa kata yang memadai,
kemampuan menulis kalimat yang bervariasi dan bergaya, kemahiran menyusun
paragraf yang beragam, dan keterampilan merangkai unsur-unsur penulisan prosa
fiksi yang meliputi pengaluran, penulisan komentar, penulisan dialog dan
monolog, serta penokohan. Modal dasar tersebut dapat diperkaya dengan cara
banyak membaca karya prosa yang baik dan mencoba memakainya atau menerapkannya
dalam aktivitas menulis.
Selamat berlatih.
DAFTAR
RUJUKAN
Ajidarma, Seno Gumira.
2000. Matinya Seorang Penari Telanjang.
Yogyakarta: Galang Press.
Dee. 2001. Supernova.
Jakarta: Truedee Books.
Dini, Nh. 1997. Tanah
Baru, Tanah Air Kedua. Jakarta: Grasindo.
Hoerip. Satyagraha.
1980. Tentang Delapan Orang. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Nugroho, Yanusa. 1990. Bulan Bugil Bulat. Jakarta: Penerbit
Grafiti.
Rangkuti, Hamzad.
2001. Ketika Lampu Bewarna Merah. Jakarta: Kompas.
Mohtar, Toha. 1993. Daerah Tidak Bertuan. Jakarta: Grasindo.
Rosidi, Ajip, 1985. Anak Tanahair:
Secercah Kisah. Jakarta:
Gramedia.
Sudjiman, Panuti.
1998. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tohari, Ahmad. 1986. Jantera
Bianglala. Jakarta: Gramedia.
Waluyo, Herman J.
1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.
Zain, Umar Nur. 1982. Bu Guru Dwisari. Jakarta: Sinar Harapan.
Tengsoe Tjahjono di Cheonggyecheon Stream |
Terimakasih, sangat membantu saya. Tapi akan saya ajarkan ke siswa semampu saya. Tidak harus bagus seperti teori dan pendapat yang ditulis tersebut. Karena saya pun bukan cerpenis. Tetapi guru yang juga harus mengajarkan cerpen, menulis cerpen.
BalasHapusSilakan, Bapak...
Hapusmenarik...izin menggunakan dalam pembelajaran pak...
BalasHapusPasti diizinkan.
Hapus
BalasHapusSejauh ini saya kebanyakan melahap teori tapi saat mempraktekannya entah kenapa hasilnya tdk memuaskan bahkan jauh dr teori itu sendiri... Disitu kadang saya merasa tdk punya kelebihan untuk menulis crrita pendek..krn pasti ujung ujungnya monoton.
Smga dgn teori bapak saya bisa memperbaharui lagi tulisan cerpen saya sebelumnya...
Terimakasih atas ilmunya
Harus terus menulis. Tak boleh lelah....
Hapus