Cerita Orang-Orang Tercinta

CERITA ORANG-ORANG TERCINTA
Oleh Tengsoe Tjahjono

Ketika saya bertemu dengan antologi puisi Waktu Berjatuhan Seperti Daun-daun karya Fidelis R. Situmorang, saya mau tak mau harus berhenti sejenak pada judul antologi ini. Bagi saya judul ini pun sudah puisi. Personifikasi waktu dan pilihan bunyi yang mengantarkan pembaca kepada irama tertentu, serta amanat yang dikandung di dalamnya, memenuhi syarat bahwa judul ini sudah dapat digolongkan sebagai puisi.

Pada umumnya waktu selalu diberi predikasi berjalan, berlari, atau mengejar. Namun, kali ini Fidelis memberi predikasi waktu dengan verba berjatuhan. Tentu hal ini menjadi sangat berbeda. Dengan predikasi berjatuhan, waktu menjadi sesuatu yang tidak berdaya, dia digerakkan oleh sesuatu yang lain, bisa jadi Tuhan. Waktu pun tidak abadi. Pada saatnya dia akan gugur, jatuh bagai daun. Tentu dalam konteks ini waktu pun merupakan pernyataan metaforis. Waktu bisa saja memiliki referensi rentang masa hidup manusia. Tak ada usia yang abadi. Itu pasti.

Oleh karena itu tak salah kiranya bila antologi ini cenderung bercerita atau bertutur tentang orang-orang tercinta. Mereka ialah yang selalu hadir di dekat setiap pribadi: ayah, ibu, anak, kakek, dan sebagainya. Juga orang-orang lain yang hidupnya dipersembahkan untuk karya kasih. Fidelis menceritakan itu dalam gaya naratif. Karena pilihan gaya ini, puisi-puisi Fidelis pun nyaris seperti prosa, prosa pendek yang berirama.

Bagaimana Fidelis merespon ketakabadian waktu? Simak puisi yang dipilih oleh penyair untuk mewakili puisi-puisi dalam antologi ini sebagai berikut.

WAKTU BERJATUHAN SEPERTI DAUN-DAUN
                                :Herbert M. Situmorang

Waktu berjatuhan seperti daun-daun
Kita hijau bersama, tapi kau begitu lekas menguning

Kau bawa segala sakitmu yang telah masak,
sebagai teman bagi luka-Nya di tiang salib

Tahun-tahun berjatuhan, daun-daun mengering
Tinggal tawamu saja yang selalu hijau di mataku

Puisi tersebut tampaknya dipersembahkan kepada seseorang yang sudah menghadap Yang Kuasa. Bagi Fidelis siapa pun tak bisa mengelak dari hukum alam ini. Dari debu akan kembali menjadi debu. Penyair menulis dengan sangat baik: Kau bawa segala sakitmu yang telah masak,/ sebagai teman bagi luka-Nya di tiang salib. Ketakabadian umur bukanlah sesuatu yang perlu dicemaskan, sebab kebahagiaan menemani derita Yesus di palang salib adalah anugerah luar biasa. Maka, yang terpenting ialah mengenang kebaikan orang-orang yang sudah meninggal. Atau, tinggalkan jejak penuh kesan positif saat manusia harus pergi menghadap Sang Khalik. Sehingga ketakabadian usia disongsong dengan indah: Tahun-tahun berjatuhan, daun-daun mengering/ Tinggal tawamu saja yang selalu hijau di mataku. Betapa tepatnya ungkapan tentang kehijauan sebuah tawa. Jika usia bisa menguning lalu mencoklat dan gugur, tawa tidak akan mengalami proses itu. Selalu hijau, selalu hidup sepanjang segala abad.

Karena itulah antologi ini dipenuhi dengan ungkapan kasih penyair kepada orang-orang tercinta, yang selalu dikenangnya karena keterlibatan mereka dalam membentuk kekokohan sesosok manusia menjadi sebuah pribadi.

Orang-orang Tercinta
Ibu banyak menginspirasi penyair dalam menulis puisi. Misalnya saja terdapat puisi berjudul Aku Menciptakan Ibu, Hari Lahir, Tulisan Ibu, Aku Ingin Menjadi Malam, Arti Kata Ibu, Aku Mau Jadi Televisi, Teringat Ibu, dan Di Jalan Pulang. Mengapa Ibu menjadi sangat istimewa di mata penyair? Jawabannya terdapat dalam puisi berikut ini.

TULISAN IBU
: Luci

Dirimu adalah huruf-huruf dan tanda baca sederhana
Yang membentuk kalimat indah hidupku

Penyair, sebagaimana bayi-bayi lain di dunia, lahir sebagai sebuah kertas putih. Dan, ibulah yang setia menulis di atas kertas putih itu. Tulisan penuh cinta. Maka, betapa tak terkira jasa seorang ibu dalam mengantarkan seorang anak manusia menjadi sebuah pribadi yang mandiri dan unggul. Ibulah yang membentuk kalimat indah dalam hidup seseorang. Kesuksesan seorang anak jika kita tarik garis lurus ke belakang nyata benar karena laku kasih seorang ibu.

Maka, dengan amat indah penyair menulis dalam puisinya Aku Menciptakan Ibu baris: Lalu kutunjukkan pada teman-temanku dan kuceritakan pada mereka bahwa ibukulah yang merawat/ rembulan hingga mahir purnama dan mengajari bintang-bintang di langit hingga manis mengerling. Baris ini menunjukkan betapa besar kekaguman aku lirik terhadap sosok ibu dalam hidup dan kehidupannya. Mengapa penyair mengatakan “aku menciptakan ibu” lalu memamerkan kepada khalayak luas? Ibu merupakan pribadi yang selalu hadir dalam hidup seseorang, dari detik ke detik. Dalam situasi semacam itu seringkali sosok ibu menjadi tidak istimewa; apa yang dikerjakannya terkesan bukan sesuatu yang luar biasa. Inilah yang sering terjadi. Oleh karena itu, penyair merasa perlu mengonstruksi kembali sikap benar terhadap eksistensi ibu. Dan, itulah yang sebenar-benarnya tentang ibu: figur yang merawat rembulan dan bintang-bintang, figur yang memberikan cahaya dalam kegelapan dan sekaligus memberikan harapan.

Siapakah tokoh lain selain ibu? Tentu saja tokoh lain itu ialah ayah. Ayah tak kurang perkasanya sebagai laki-laki yang ikut mengantarkan anak menuju gerbang kedewasaan. Simak puisi berikut ini yang saya ambil secara utuh.

AYAH YANG MENGANTONGI BATU

tak ada uang dalam sakuku, nak
ini cuma batu-batu
kupunguti dari jalan
supaya kantongku tak kosong-kosong amat
ambilah barang satu atau dua
mungkin bisa kau pakai untuk bermain

kau tahu aku sangat menyayangimu, nak
tapi hari ini hanya batu-batu yang kudapatkan
Barangkali bisa kubuat jadi mobil-mobilan atau untukmu bermain dampu
ambilah barang satu atau dua
semoga bisa kau pakai bermain

nak, ayah pulang
mana senyummu?
Berikan pada ayah barang satu atau dua

Puisi itu berjudul sangat satir Ayah yang Mengantongi Batu. Ayah sebagai kepala keluarga bertugas mencari nafkah demi anak dan istrinya. Penghasilannya akan sangat menentukan kualitas hidup keluarga yang bersangkutan. Namun, ayah itu hanya mampu membawa pulang batu di kantongnya, betapa menyedihkannya. Batu bisa jadi merupakan spirit hidup yang kuat. Di atas batu karang ini akan kubangun istana, kurang lebih begitu. Jadi, walau berada dalam segala keterbatasan, ayah itu masih memiliki semangat, bukan patah arah, bagai batu yang tak gampang dihancurkan. Hal itulah yang melahirkan senyum pada diri anggota keluarganya. Batu dan senyum bukan dua hal yang saling bertentangan, namun dua hal yang memiliki relasi kausalitas, dan saling mengisi.

Ayah selalu membawa kenangan akan anak-anaknya, walaupun anak-anaknya telah jauh pergi meninggalkannya, dan dia harus disergap sunyi di panti jompo pada usia tua. Mencintai anak dengan sungguh bagi seorang ayah ialah anugerah yang tak kan mudah dilupakan. Cinta tanpa pamrih, cinta yang hanya memberi. Simak penggalan puisi Kepada Masa Lalu berikut ini.

...
Kepada masa lalunya ia berkata, "aku telah menyelesaikan tugasku sebagaimana seharusnya seorang ayah...." Lalu airmatanya jatuh membasahi kenangan, hingga akhirnya ia tertidur pulas, diiringi suara dering bell sepeda BMX milik masa lalunya, di kamarnya yang kecil, di panti jompo.

Bagi Fidelis kehadiran ibu dan ayah bukanlah kehadiran biasa. Mereka berdua telah berhasil membangun pondasi dalam hidupnya sehingga ia berkembang menjadi sosok pribadi seperti saat ini. Mereka berdua merupakan orang-orang tercinta yang bekerja karena cinta dan demi cinta. Ketulusannya dalam menjaga dan mendidik anak-anaknya seringkali tak bisa dipahami oleh anak-anak mereka sendiri. Seorang ibu bisa merawat 10 anaknya dengan baik, namun bisa terjadi 10 anak tak bisa merawat dengan baik seorang ibunya. Dan, Fidelis R. Situmorang bukan pribadi yang melupakan orang-orang yang telah mencintainya dengan sungguh.

Kenangan akan Waktu
Waktu berjatuhan bagai daun, begitu menurut Fidelis. Namun, pada waktu selalu tersimpan kenangan. Maka, aku lirik dalam antologi ini acapkali ingin menerobos lorong waktu, mencari masa lalunya. Romantisme masa lalu tampaknya diperlukan sebagai cara untuk menghibur diri di masa sulit sekarang ini, atau bisa saja justru mampu membangkitkan harapan menapaki jalan hidup di masa depan. Perhatikan puisi berikut ini.

MENCARI MASA KECIL

Seorang sahabat terlihat sangat senang begitu bertemu denganku
"Ayo, temani aku," ajaknya dengan penuh semangat
"Kemana?" tanyaku
"Mencari masa kecilku!" jawabnya cepat
"Masa kecil? Ada apa denganya?" tanyaku heran
"Aku ingin memintanya mengembalikan kegembiraanku bermain hujan dulu," katanya dengan mata berbinar-binar.

Puisi ini begitu menarik. Seseorang mencari masa kecilnya karena:  "Aku ingin memintanya mengembalikan kegembiraanku bermain hujan dulu," katanya dengan mata berbinar-binar. Mengapa aku lirik merindukan masa kecilnya? Bisa jadi saat ini dia : (1) tidak mengalami kebebasan, dan (2) tidak memperoleh kegembiraan. Dua hal itu sebenarnya merupakan dunia anak-anak. Namun, secara hakiki manusia dewasa pun memerlukannya demi membangun kreativitas, inisiatif, dan partisipasi dalam hidup, baik sebagai makhluk pribadi maupun makhluk sosial. Tanpa kebebasan dan kegembiraan mustahil rasanya seseorang menjadi pribadi unggul dalam menghadapi segala persoalan hidupnya.

Anak kecil senang bermain hujan. Di situ terlihat betapa akrab antara anak kecil dengan alam. Bahkan, alam pun yang mengguyurkan hujan, tak ditakutinya akan mengirimkan pula demam, flu, maupun batuk. Mengapa hujan? Perhatikan kutipan puisi yang berjudul Masa Kecil berikut ini.

...
Kuhidupkan kamera ponselku, lalu kumasukkan hujan kedalamnya. Keindahan abadi yang dicurahkan untuk bumi.

Sebab, ketika pepohonan mulai keriput dan gunung-gunung mulai sakit batuk diterjang sang waktu, hanya hujan saja yang selalu setia datang kembali, dengan membawa keceriaan masa kecil.

Ada fakta yang menarik dalam puisi ini, yaitu: masa kecil, ponsel, dan hujan. Ponsel merupakan wakil dari masa kini yang modern. Ponsel telah membuat manusia tercerabut dari komunitas sosialnya, tumbuh menjadi sosok yang sangat individual. Manusia tercerabut dari lingkungannya, tumbuh menjadi pribadi yang sakit dan kesepian. Maka, kerinduan pada masa kecil menjadi sangat wajar. Anak-anak yang bermain selalu memiliki banyak kawan. Di situlah mereka bisa bergembira dan bahagia. Dan, hujan merupakan jembatan yang mengantarkan seseorang meninggalkan masa kininya menuju masa lalunya, karena hanya hujan yang setia hadir pada rentang masa tersebut. Hujan dan gerimis selalu dipilih penyair untuk mewakili suasana hati yang romantis dan damai. Bisa jadi suasana seperti itulah yang menjadi gerbang memasuki kehidupan masa kecil. Hal tersebut dikuatkan dalam baris: Lalu di senja matanya, kulihat waktu berjalan tergesa setengah berlari, dan seorang anak kecil sedang asyik mengumpulkan gerimis di kedua telapak tangannya, dalam puisi yang berjudul Maret.

Begitulah sepintas telaah saya terhadap puisi Fidelis R. Situmorang. Secara umum puisi-puisinya mengangkat tema mengenai orang-orang tercinta dan sikap penyair terhadap orang-orang tercinta tersebut. Orang-orang tercinta yang berada dalam bingkai ruang dan waktu merupakan orang-orang istimewa. Sedangkan dari aspek bentuk, puisi-puisi Fidelis banyak mengambil format narasi dan monolog. Pilihan bentuk seperti itu didorong oleh keinginan Fidelis untuk bercerita. Justru pilihan format seperti itu membuat puisi-puisi Fidelis memiliki karakter unik. Proficiat, Penyair.


Seoul, 28 Mei 2015
Tengsoe Tjahjono di pinggir Sungai Han Seoul

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi