KISAH BUKU SASTRA

KISAH BUKU SASTRA
Oleh Tengsoe Tjahjono

/1/
Di sebuah Minggu pagi seseorang tiba-tiba mengunjungi rumah saya. Di meja teras rumah ia keluarkan tumpukan kertas dari tas punggungnya. “Ini novel pertama saya. Saya sudah senang menulis sejak SMA. Saya ingin novel saya ini diterbitkan. Apa Bapak bisa menolong saya?” Saya terdiam. Sungguh-sungguh terdiam. Saya amati wajah lelaki muda itu. Matanya penuh pancaran harap.
Bisa jadi dalam hatinya terbayang jutaan uang royalti, buku novelnya bertengger di rak-rak toko buku, foto wajahnya terpampang di poster-poster, sibuk memberi tanda tangan para penggemarnya, atau duduk di meja depan pada saat seminar proses kreatif. Mungkin ia tak membayangkan betapa rumitnya penerbit menghitung dana yang dibutuhkan untuk penerbitan buku sastra, tingkat kerugian finansial yang bakal muncul, tumpukan buku sastra di gudang yang tak terjamah pembaca, atau berapa persen modal yang akan kembali.

Saya sodorkan sebuah alamat penerbit kepada pemuda itu. “Coba saja kirimkan ke sini manuskrip novel Anda ke sini. Semoga lancar,” itu kalimat yang saya berikan kepada pemuda itu. Saya tahu ini bukan solusi sebab pemuda itu tak memiliki modal sendiri untuk menerbitkan melalui jalur indie. Saya tak ingin bercerita bahwa beberapa bulan lalu seorang kawan saya di Ponorogo membeli buku dari penerbit mayor dengan harga Rp2.000,00 setiap kilogram. Buku-buku sastra yang sangat bagus dijual kiloan karena terlalu lamanya buku-buku itu ngendon di gudang. Peristiwa itu sangat nyata sebagai bagian dari narasi buku sastra di Indonesia.

/2/
Ajip Rosidi (2011) mengutip pendapat penerbit bahwa “Sastra itu berat,” baik dari sisi materi maupun bahasa (Kompas, 6 Oktober 2016). Karena alasan itulah maka hanya 5 persen dari semua penerbit di Yogyakarta, yang menerbitkan buku-buku sastra ketika itu. Benarkah sastra itu berat? Atau, justru kitalah yang gagal memperkenalkan sastra kepada publik pembaca. Sastra semakin asing dari pembacanya karena dinilai ‘berat’ tersebut.
Kondisi seperti itu semakin diperparah oleh pembelajaran sastra di sekolah. Sastra yang berat itu justru menjadi semakin berat di tangan para guru yang memang sejak mula tidak begitu tertarik dengan sastra. Banyak guru yang mengajarkan sastra karena kebetulan mereka adalah guru bahasa Indonesia. Rata-rata mereka mengamini bahwa sastra itu berat karena karakter bahasa yang dipakai oleh pengarang. Maka, sering terjadi jika materi sampai kepada bagian sastra akan dilompati atau dipercepat tanpa pendalaman. Pembelajaran sastra hanya terbatas pada menyebutkan nama tokoh, latar tempat, atau bagaimana alurnya, tak menyentuh aspek terdalam dari sastra yaitu pengalaman hidup manusia yang bisa jadi merupakan pengalaman para siswa juga.
Novel Sitti Nurbaya karya Marah Rusli bisa jadi berat bagi siswa SD atau SMP. Memang, tak mungkin kita meminta siswa SD atau SMP membaca Sitti Nurbaya versi asli. Namun, sebetulnya sangat mungkin kita menerbitkan novel Sitti Nurbaya versi SD atau SMP, atau bahkan membuat serial komiknya. Dengan cara seperti itu sastra yang berat itu bisa dibuat menjadi lebih mudah. Dengan cara seperti itu pula para anak Indonesia mengenal dan mencintai khazanah sastra Indonesia.
Tampaknya pemerintah harus benar-benar memiliki strategi kesastraan nasional agar sastra yang ditulis oleh anak bangsa ini bisa hidup dan hadir di tengah-tengah bangsanya. Bukan hanya ngendon di gudang-gudang atau rak-rak buku, namun justru hidup dalam hati setiap orang Indonesia. Sudah saatnya diterbitkan buku-buku sastra agung ke dalam versi SD, SMP, atau komik. Dengan demikian tak ada alasan lagi bagi penerbit untuk abai terhadap penerbitan buku sastra karena dianggapnya berat.
Di samping itu sastra di sekolah harus berada di tangan para guru yang sungguh-sungguh tertarik dan memberikan perhatian tinggi kepada karya sastra. Dengan demikian sastra tidak sekadar ditempelkan di materi bahasa Indonesia dan mudah dicabut manakala dianggap merepotkan. Sesungguhnya guru-guru seperti itu bisa dilahirkan jika program-program peningkatan kualitas guru sastra benar-benar diselenggarakan dengan kurikulum yang jelas, terlaksana, dan terukur.

/3/
Perusahaan penerbitan bukanlah lembaga yang mau ‘coba-coba’ dalam menerbitkan sebuah buku. Bagaimana pun mereka berpikir temtang keuntungan yang didapatkan dari penjualan buku itu, atau sekurang-kurangnya bisa kembali modal. Setiap buku yang diterbitkan harus memiliki pangsa pasar yang jelas. Demikian pula untuk penerbitan buku-buku sastra.
Ingatan akan pembaca (Escarpit, 2005:77)  menjadi pertimbangan sebuah penerbit ketika akan menerbitkan sebuah buku. Ketika Gramedia akan menerbitkan karya-karya Ayu Utami Saman, Larung, Bilangan Fu dan lain-lain,  karya Fira Basuki Jendela-jendela, Pintu, Atap, Rojak, dan sebagainya, karya Djenar Maesa Ayu Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-main dengan Kelaminmu, dan sebagainya, karya Eka Kurniawan Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau, dan lain-lain, karya Oka Rusmini Kenanga, Sagra, Tempurung, dan Tarian Bumi, tentu sudah membayangkan kekuatan pasarnya. Hal yang yang sama juga dilakukan oleh Republika ketika menerbitkan karya Habiburrahman El-Shirazi Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Di Atas Sajadah Cinta, dan sebagainya serta karya Tere-liye Hafalan Shalat Delisa, Bidadari-bidadari Sorga, dan Moga Bunda Disayang Allah. Bahkan beberapa kali saya menerbitkan buku, pertanyaan yang harus saya jawab kepada penerbit adalah siapa pembacanya kelak, dan berapa jumlahnya kira-kira. Sungguh, potensi pasar menjadi bahan pertimbangan.

Banyak buku ditolak oleh penerbit bukan disebabkan oleh rendahnya kualitas karya tersebut, tetapi penerbit gagal menemukan atau membaca pangsa pasarnya. Bisa jadi buku sastra itu sangat bagus namun penerbit tidak mengerti siapa pembacanya kelak. Mungkin ada ahli mengatakan bahwa sebaiknya pengarang menciptakan pembacanya bukan justru mencari atau melayani pembaca. Hanya saja hal tersebut tidak mungkin dilakukan jika penulis itu ingin menerbitkan bukunya di penerbit mayor. Menciptakan pembaca sendiri sangat mungkin dilakukan jika penulis itu menerbitkan buku di penerbit-penerbit indie.
Saya maklum jika perusahaan penerbitan mayor memandang pentingnya kekuatan pangsa pasar sebab mereka memang sedang menjalankan sebuah kerja bisnis. Mereka hanya akan mencetak buku-buku sastra yang jelas laku di pasaran. Oleh karena itu tidak mengherankan karya-karya pengarang ternama di Indonesia sering diterbitkan oleh penerbit mayor tertentu atau cetak ulang buku-buku sastra yang memiliki jejak pembaca yang meyakinkan dari segi jumlah.
Jika ditolak penerbit mayor bukan lantas sastra tidak perlu ditulis lagi sebab pengarang bisa melirik kekuatan baru penerbitan sastra di Indonesia yaitu penerbit indie atau bahkan bisa swapenerbit (self publishing). Melalui para penerbit indie maupun melalui self publishing para pengarang bisa membangun citra diri melalui upaya membangun publik pembaca atas dasar karya sastra yang dihasilkan.
Prediksi tentang pangsa pasar pun seringkali tidak selalu benar. Banyak buku novel yang diterbitkan sebab buku itu merupakan salah satu pemenang lomba penulisan, ternyata setelah dicetak justru tak memperoleh sambutan hangat dari publik pembaca. Itulah sebuah ironi yang ada.
Anindita S Thayf pada 15 Oktober 2010 menerima penghargaan sastra dari Balai Bahasa Yogyakarta. Novelnya Jejak Kala dianggap layak memperoleh predikat "terbaik" dari puluhan karya sastra yang ditulis para penulis Yogyakarta dan diterbitkan oleh penerbit Yogyakarta.  Tetapi, ironi muncul bersamaan dengan malam "upacara" penerimaan penghargaan yang bertempat di arena Jogja Book Fair 2010. Seorang temanAnindita mengatakan bahwa Jejak Kala sudah masuk jajaran novel diobral. Artinya, novel itu tak laku di pasaran. Oleh karena itu menurut Anindita memilih menjadi sastrawan setidaknya memerlukan dua lapis ketabahan, yaitu tabah ketika manuskripnya ditolak penerbit, dan tabah tidak memperoleh royalti memadai walaupun bukunya berhasil diterbitkan sebab ternyata bukunya tidak laku sama sekali (Thayf, 2010).

/4/
            Sebenarnya persoalan penerbitan karya sastra oleh perusahaan penerbitan bukan hanya berpedoman pada pangsa pasar. Pasar hanya merupakan salah satu komponen yang menjadi bahan pertimbangan. Mahayana (1997) berpendapat bahwa sistem penerbit berurusan dengan beberapa hal seperti : (a) ideologi dan kepentingan penerbit; (b) peranan dan pengaruh penerbit terhadap struktur formal karya sastra; (c) sistem pangayoman yang dilakukan penerbit; (d) faktor sosial-politik-ekonomi yang mempengaruhi penerbit; (e) jaringan distribusi; dan (f) sasaran pembaca.
            Mengapa sastra Melayu-Tionghoa yang sudah hidup jauh sebelum Penerbit Balai Pustaka didirikan tidak bisa menembus Balai Pustaka sebagai penerbit mayor kala itu? Penerbit Balai Pustaka didirikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1918. Sebenarnya sejak pertengahan abad ke-19, karya sastra yang diciptakan oleh pengarang Cina jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah karya pengarang Indo-Belanda. Hanya saja karya mereka ditulis dengan memakai bahasa Melayu-Rendah. Bagi Pemerintah Hindia-Belanda karya mereka itu cenderung mengangkat seks dan kekerasan, pergundikan, cabul, dan sebagainya yang dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya kemerosotan moral, agama, bahkan politik. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka Balai Pustaka mengajukan syarat-syarat penerbitan buku sastra di lembaganya. Syarat-syarat itu dikenal sebagai Nota Rinkes. Nota tersebut berisi syarat karya yang bisa diterbitkan oleh Balai Pustaka yaitu (1) tidak mengandung unsur anti pemerintah kolonial, (2) tidak menyinggung perasaan dan etika golongan masyarakat tertentu, dan (3) tidak menyinggung perasaan suatu agama tertentu (Suwondo, dkk., 1997:2-3).
            Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1928 bisa diterbitkan setelah dilakukan revisi besar-besaran. Bahkan, novel Belenggu karya Armijn Pane ditolak oleh Balai Pustaka karena isinya dianggap tidak memberikan pendidikan moral yang baik sebagaimana ketentuan persyaratan Nota Rinkes. Kemudian novel tersebut di muat oleh Pujangga Baru dalam lustrumnya yang pertama tahun 1938. Sanusi Pane pun mengeluh bahwa persyaratan yang dikehendaki Balai Pustaka merupakan hambatan bagi kemurnian ilham dan penciptaan sewajarnya.

            Karena kekuatan dan kekuasaan Balai Pustaka yang begitu besar untuk menentukan kualitas sastra yang bisa diterbitkan maka tak mudah bagi pengarang yang memiliki idealisme maju untuk menerbitkan karyanya melalui penerbit mayor Balai Pustaka. Keadaan seperti itu memaksa lahirnya penerbit-penerbit lain di luar Balai Pustaka sebagai jawaban atas kondisi yang tidak memungkinkan penulis melakukan gerakan menulis.
            Di luar Balai Pustaka milik pemerintah Hindia-Belanda, terdapat pulapenerbitan milik kaum bumiputra, misalnya NV Javasche Boekhandel en Drukkerrij en Handel in Schrijfbehoeften “Medan Prijaji” pimpinan R.M. Tirto Adhi Soerjo,  percetakan Insulinde yang didukung oleh H.M. Misbach yang menerbitkan Mata Gelap (Mas Marco, 3 jilid, 1914) dan percetakan VTSP (Serikat Buruh Kereta Api dan Tram) yang menerbitkan Koran Si Tetap (Yusuf et.al. 2010:44).Penerbit-penerbit milik kaum bumiputra tersebut memelopori bacaan fiksi dan nonfiksi untuk mendidik bumiputra. Sehingga dalam kurun waktu 1920-1926 mulai menjamur ‘bacaan liar’ di kalangan bumiputra yang menumbuhkan semangat pergerakan (Ni’am, 2012).
            Bahkan Pramudya Ananta Toer tak mudah menerbitkan karya-karyanya selepas ia dibebaskan dari Pulau Buru. Bulan April 1980 selepas dari tahanan, Hasjim Rachman, mantan pemimpin redaksi Bintang Timur, dan Pramoedya menemui Joesoef Isak, mantan wartawan Merdeka yang belasan tahun mendekam di Rutan Salemba. Mereka bersepakat untuk menerbitkan karya eks-tapol yang selama ini tidak mendapat sambutan dari penerbit lain. Mau tak mau mereka harus membuat penerbitan sendiri. Bumi Manusia pun dipilih untuk diterbitkan. Akhirnya Hasta Mitra menerbitkannya. Dalam waktu 12 hari sekitar 5.000 eksemplar habis terjual. Hanya beberapa bulan setelah Bumi Manusia keluar, sejumlah penerbit di Hongkong, Malaysia, Belanda dan Australia mendekati Hasta Mitra untuk mendapat hak terjemahan. Pramoedya sebagai penulis tetap mendapat royalti sementara Hasta Mitra hanya bertindak sebagai perantara. Hanya sayang dengan tuduhan mempropagandakan ajaran-ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme, walaupun dalam buku ini tidak disebut-sebut mengenai ajaran tersebut kecuali Nasionalisme, buku ini dilarang oleh Kejaksaan Agung pada tahun 1981. Buku-buku kemudian terbit lagi pada masa reformasi hingga sekarang ini.
            Sungguh, penerbitan buku sastra sangat mempertimbangkan banyak aspek, yaitu aspek bisnis, politik, sosial, budaya, bahkan sosiologi pembaca. Manuskrip yang sudah ada di tangan sungguh-sungguh menunggu nasibnya, apakah ia akan diselamatkan oleh sebuah penerbit mayor, atau cukup digarap oleh penerbit indie maupun self-publishing.

/5/
            Seringkali orang berpikir bahwa setelah buku dicetak dan diterbitkan, selesai sudah tugas proses penerbitan tersebut. Padahal tidaklah demikian. Ada 3 hal penting yang harus diperhatikan dalam industri perbukuan yaitu penerbitan, pendistribusian, dan pemromosian. Tiga hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan bagi hidup sebuah buku. Hanya sering banyak dibaikan.
            Penerbit mayor pada umumnya sudah memiliki jaringan pendistribusian, bahkan sudah memiliki toko buku sendiri. Mereka pun sudah memiliki Divisi Promosi yang khusus menangani kegiatan promosi. Hal-hal seperti itulah yang menjadi mimpi setiap penulis. Naskah jadi, diterbitkan, lalu duduk manis, buku sudah bertengger di rak toko buku, royalti pun mengalir lancer. Mimpi yang indah, walaupun kenyataan tidaklah seindah mimpi. Menembus perusahaan penerbitan mayor tidaklah gampang.
            Bahkan, bagi Dewi Lestari hambatan justru dimulai begitu naskahnya jadi, yang berkaitan dengan  hal-hal teknis, misalnya produksi, promosi, distribusi, dan lain-lain. Cukup alot mencari penerbit yang bisa diajak join-production, karena menyangkut masalah trust, chemistry, dan kecocokan dalam bekerja (Harefa, 2007). Bagaimana dengan branding? Dewi Lestari berpendapat sebagai berikut.
Dengan gaya marketing dan tren pasar yang mengedepankan image seperti sekarang, branding memang jadi penting. Tidak lantas jadi segala-galanya, tapi bisa sangat menunjang kalau memang pas. Penulis sih pada dasarnya akan selalu kembali ke kualitas dan isi tulisannya. Jadi branding itu semata-mata strategi di level superfisial saja. Ada baiknya penulis itu tahu cara memposisikan diri dan memainkan image-nya, karena sekarang untuk bisa mempromosikan buku kita bisa kolaborasi brand dengan produk-produk komersial. Dan untuk bisa seperti itu, pihak sponsor pasti akan tanya dulu branding kita seperti apa, selaras atau enggak dengan produknya, dan sebagainya (Harefa, 2007).

Jadi, promosi sungguh-sungguh harus dirancang dan disusun dengan baik. Apalagi untuk buku yang diterbitkan secara self-publihing dan secara indie. Promosi itu bisa memakai banyak media, misalnya: memanfaatkan media sosial (Facebook, Instagram, web, dan lain-lain), acara peluncuran dan bedah buku, pertunjukan baca sastra, safari ke komunitas atau sekolah, atau bisa saja dengan memberi potongan harga, bonus, dan sebagainya. Nah, faktor-faktor teknis semacam ini yang sering merepotkan penulis yang tidak memiliki jaringan dengan komunitas, kafe, atau sanggar-sanggar tertentu, sebab promosi ini juga memerlukan dana yang tidak sedikit besarannya.

/6/
Penerbit mayor, indie, atau self-publishing? Ketiga jenis penerbitan ini yang selalu melintas-lintas di benak seorang penulis manakala manuskrip karyanya sudah siap.
            Penerbit mayor pada umumnya dimiliki oleh perusahaan penerbitan besar, memiliki modal cukup untuk menerbitkan buku. Penerbit mayor didukung oleh sumber daya manusia profesional dengan spesialisasi khusus seperti layouting, cover designer, editor, marketing, dan sebagainya. Karena itu penulis tidak perlu memodali sendiri, hanya perlu kirim naskah. Penulis tidak perlu pusing perkara pencetakan, promosi, maupun distribusi. Semua sudah diurus oleh penerbit.
            Kesulitan untuk menerbitkan buku di penerbit mayor adalah adanya seleksi yang ketat. Jawaban apakah manuskrip diterima atau ditolak memakan waktu panjang, bisa jadi bisa mencapai 3 bulan. Bahkan, andaikan diterima waktu yang diperlukan untuk editing, layouting, dan sebagainya juga tak kalah lama sebab penerbit memang harus cermat dan berhati-hati. Bahkan, yang paling menyedihkan terbit di penerbit mayor bukan jaminan untuk laku.

Sedangkan, penerbit indie rata-rata dimiliki oleh penerbitan atau percetakan yang bermodal kecil. Mungkin saja penerbit indie bisa memberikan fasilitas sebagaimana penerbit mayor, atau sekadar menjadi penyedia layanan penerbitan. Tentu, manuskrip buku lebih mudah diterima karena tidak melalui proses seleksi yang ketat, asal tidak membahas SARA atau politik. Dalam  penerbit indie untuk jasa layouter, designer cover buku dan editor, serta pengurusan ISBN biasanya penulis harus mengeluarkan dana atau sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Bahkan ada beberapa penerbitan yang menawarkan jasa Print on Demand, artinya buku dicetak sesuai dengan pesanan.
Kelemahannya, biaya produksi buku dalam jumlah sedikit sangatlah mahal sehingga akan mempengaruhi keuntungan penulis secara signifikan. Dan, buku-buku indie jarang dijumpai di toko-toko buku besar. Walaupun kelemahan distribusi itu bisa diperkecil jika penulis memiliki jaringan bagus dengan komunitas-komunitas buku atau komunitas penulis.
Sesuai dengan namanya self-publishing maka penulis memiliki tanggung jawab penuh dalam penerbitan karyanya, menyangkut pendanaan, penerbitan, promosi, dan penditribusian. Hal ini banyak dilakukan oleh penulis yang memiliki modal kuat, jaringan pembaca yang cukup, maupun kemampuan mengelola perputaran peredaran buku. Mereka akan meminta bantuan jasa pembuat cover, lay-out, dan sebagainya kepada pihak lain untuk mengeksekusi karyanya agar menjadi buku yang layak.
Penerbit mayor, indie, atau mandiri merupakan pilihan. Laku tidaknya sebuah buku ternyata bukan ditentukan oleh jenis penerbit yang menerbitkan buku tersebut, namun lebih kepada kekuatan promosi dan pembaca. Saya melihat justru penerbit indie yang mampu membidik pembaca secara tepat. Cetak terbatas namun mempunyai pembaca yang jelas. Risiko buku numpuk di gudang dan lalu dijual kiloan tidak begitu dirasakan oleh penerbit-penerbit indie.

/7/
            Penerbitan buku memang sebuah keniscayaan. Buku merupakan jembatan antara gagasan penulis dan pembaca. Tanpa buku mustahil pikiran-pikiran pengarang hadir di dalam ruang hati pembaca. Walaupun di dunia serba maju ini buku cetak harus bersaing pula dengan buku-buku online atau e-book, bahkan dengan medsos yang membanjir dalam aneka wujud dan fungsi, namun buku cetak tak lantas mati begitu saja.
            Penerbitan buku sastra bukan hanya menyangkut persoalan teknis cetak-mencetak, namun juga menyangkut filosofi dan ideologi perusahaan penerbitan mengenai eksistensi sastra dan kontribusinya bagi kemanusiaan. Penerbit mayor, indie, atau mandiri memiliki pandangan yang saling berbeda tentang sastra yang akan berpengaruh terhadap kebijakan mereka tentang perlu-tidaknya mendukung atau menjadi penyokong aktif penerbitan buku-buku sastra.
            Karya sastra bagi sebuah bangsa besar sangat diperlukan sebab ia menjadi bagian dari budaya, model, atau cermin bagi mewujudkan suatu bangsa beradab, penuh cinta kepada sesama dan lingkungan serta patuh dan hormat kepada Tuhan. Maka, pemerintah tak boleh membiarkan penulis tertatih-tatih berjalan sendiri memenuhi panggilan luhur sebagai sastrawan. Pemerintah harus hadir. Oleh karena itu pemerintah harus mempuyai strategi kesastraan yang berisi visi, misi, dan program-program yang berkaitan dengan kesastraan Indonesia. Ada beberapa pertanyaan yang bisa dijawab, atau sekurang-kurangnya direnungkan.
1.      Bagaimana kedudukan sastra Indonesia dalam konteks kebudayaan nasional?
2.      Bagaimana pembelajaran sastra di sekolah? Sudahkah sastra diajarkan oleh guru-guru yang sungguh-sungguh memiliki kompetensi dan kualifikasi sebagai guru sastra?
3.      Bagaimana strategi pengembangan sastra Indonesia? Sudahkah ada upaya menerbitkan buku-buku sastra dengan subsidi pemerintah dan kemudian mendistribusikannya ke sekolah-sekolah?
4.      Sudahkah ada keharusan setiap satuan pendidikan mengundang sastrawan, baik sebagai guru tamu atau pengajar insidental?
5.      Sudahkah ada ketentuan bahwa setiap tahun sebuah penerbit mayor sekurang-kurangnya menerbitkan 20 buku sastra, baik puisi, novel/cerpen, atau drama misalnya?
6.      Sudahkah direncanakan penerbitan versi SD/ SMP atau komik untuk karya sastra kanon Indonesia untuk mendekatkan par siswa dengan khazanah sastra negeri sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan itu bisa saja ditambahkan lagi. Intinya penerbitan buku sastra tak mudah dilakukan oleh penerbit mayor. Maka perlu penataan yang cermat agar buku-buku sastra yang sesungguhnya berisi mutiara-mutiara gagasan bisa sungguh-sungguh dihadirkan. Oleh karena itu perlu tercipta kerja sama yang baik antara penulis, sekolah, komunitas, maupun pemerintah demi kemajuan sastra melalui penerbitan buku yang layak dan memadai.

                                                                       Surabaya, 18 April 2016

REFERENSI

Escarpit, Robert. 2005. Sosiologi Sastra. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh
Ida Sundari Husen. Jakarta: Obor.
Harefa, Andrias, 2007.  Dewi Lestari (Dee): Tulisan Saya Harus Mencerdaskan. http://www.pembelajar.com/dewi-lestari-dee-tulisan-saya-harus-mencerdaskan. Diunduh 18 April 2017.
Mahayana, Maman S. 1997. Sastra dan Pengajarannya : Strategi dan Isu-isu Kontemporer dalam Penelitian Sastra : Lahan yang Luas dan Berlimpah. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Ni’am, Maulin. 2012. Sejarah dan Problematika Industri Buku di Indonesia. https://www.academia.edu/7906309/Sejarah_dan_Problematika_Industri_Buku_di_Indonesia. Diunduh 17 April 2017.
Rosidi, Ajip. 2011. Sastra itu Berat. https://rubrikbahasa.wordpress.com/2011/01/22/sastra-itu-berat/. Diunduh 17 April 2017.
Suwondo, Tirto, dkk. 1997. Karya Sastra di Luar Penerbitan Balai Pustaka. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Thayf, Anindita S, 2010. Penulis Sastra dan Kuis.http://nasional.kompas.com/read/2010/10/25/12233046/function.file-get-contents. Diunduh 17 April 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi