BELANTARA TEMA DI RUANG SEMPIT

BELANTARA TEMA DI RUANG SEMPIT
Tengsoe Tjahjono

Cerpen tiga paragraf (disingkat pentigraf) kali pertama saya tulis di koran Suara Indonesia Malang pada tahun 1980-an. Sebenarnya bentuk cerita pendek yang pendek (short short-story) bukan hal baru di dunia sastra prosa. Sehubungan dengan cerita pendek yang pendek itu terdapat istilah flash fiction yaitu karya prosa fiksi yang sangat singkat, walaupun tidak ada ukuran baku tentang singkatnya itu, ada yang 250 hingga 1000 kata saja, bahkan ada yang hanya 144 huruf saja. Namun, juga dijumpai cerita mini yang mencapai 2500 kata. Ukurannya sungguh-sungguh sangat beragam.

Mengapa tiga paragraf? Pemilihan 3 paragraf ini memiliki beberapa alasan. Pertama, alasan kepastian panjang teks. Panjang teks hanya 3 paragraf memungkinkan penulis lebih leluasa menuangkan gagasannya, tidak dibatasi oleh jumlah kata atau jumlah huruf. Leluasa dalam mengatur laju alur dan penataan konflik dalam cerita. Kedua, kepadatan teks pentigraf ini seperti kepadatan dalam teks puisi. Penulis didorong untuk menulis secara padat, bercerita pada ruang sempit. Ada keleluasaan menata cerita, namun semuanya dilakukan pada ruang teks yang terbatas. Akibatnya, penulis harus memilih diksi yang tepat, memadukan seluruh anasir fiksi menjadi satu dan utuh, mengurangi jumlah dialog lalu mengubahnya ke narasi, serta menciptakan kejutan-kejutan pada paragraf ketiga. Hal tersebut menjadi tantangan bagi penulis, namun sekaligus daya tarik.

Kitab pentigraf “Pedagang Jambu Biji dari Phnom Pehn” ini merupakan muara dari aktivitas proyek menulis pentigraf yang dilakukan oleh Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias. Proyek yang dimulai pada Maret 2016 dan berakhir pada 31 Mei 2016 ini bisa mengumpulkan 650 pentigraf dari 75 penulis. Ini sungguh tidak terduga. Banyak alasan yang dikemukakan oleh para penulis mengapa tertarik menulis pentigraf. Di antaranya: bisa ditulis dengan cepat di mana saja, bisa sambil menunggu antrean di bank, sambil naik KRL, atau di sela-sela kesibukan lain. Di samping itu mereka tertarik karena bentuknya menyerupai puisi, prosa yang puitis atau puisi yang bercerita. Mereka yang ingin menulis teks puisi dan juga sekaligus prosa memilih pentigraf. Pentigraf juga bukan prosa liris, sebab prosa liris pasti memiliki ukuran yang sangat panjang.

Dan, dari 650 pentigraf itu terpilih 200 pentigraf yang sekarang berada di tangan Anda dalam wujud Kitab Pentigraf. Mengapa hanya terpilih 200 pentigraf? Ada 3 kategori yang saya amati saat membaca pentigraf-pentigraf tersebut. Kategori pertama sebatas bercerita. Alur dan persoalan jelas, sehingga pembaca mampu menangkap informasi namun tidak terhanyut dan terkesima. Kategori kedua bermain-main bahasa, asyik memilih dan merangkai kata indah, namun gagal bercerita dan mengungkapkan persoalan tokoh-tokohnya.  Sedangkan kategori ketiga sungguh-sungguh dengan menampilkan dunia baru, penuh kejutan, membuat pembaca hanyut dan terpaku. Bahkan, mungkin saja bahasanya sangat sederhana.  Kategori ketiga itu berjumlah sekitar 200.

LELUASA DALAM RUANG SEMPIT
Pentigraf merupakan cerpen yang amat terbatas, yaitu hanya 3 paragraf. Namun, dengan 3 paragraf tersebut para penulis leluasa bermain-main ekspresi secara bebas. Intinya mereka bercerita dengan caranya masing-masing. Perhatikan contoh berikut ini.

KISAH SEDIH
Sylvia Marsidi

"Kangen .."
"Maaf!"
"Aarrgggh ...

Dalam pentigraf di atas tampak sekali bahwa Sylvia Marsidi tidak memiliki halangan untuk bercerita. Bisa saja dialog itu terjadi pada pesan singkat yang disampaikan melalui smartphone. Relasi kausalitas dari pesan singkat tersebut mampu membangun cerita, menciptakan alur, bahkan konflik batin yang tegas. Tumpang tindih antara perasaan rindu, membaca fakta, dan geram berdebur dalam cerita yang menarik.

Atau contoh lain berikut ini.

CERITA
AM Lilik Agung

”Rangkaian kata-kataku menjadi sebuah cerita cinta telah pudar, justru ketika aku mulai mencintaimu.” Budiman membetulkan letak cangkir kopi panasnya.
”Ketika aku selesai mencintaimu, justru sebuah kisah cinta mulai aku tulis.” Agatha mengangkat tubuh, melangkah, meninggalkan Budiman.
”Agatha,” Budiman berkata sedikit keras, menghentikan langkah Agatha, ”sertakan kisah cintaku pada ceritamu!”

Pentigraf AM Lilik Agung ini hanya terdiri 5 kalimat. Paragraf pertama 2 kalimat, paragraf kedua 2 kalimat, dan paragraf terakhir 1 kalimat. Konflik percintaan antara Agatha dan Budiman mampu dikisahkan dengan menarik. Cinta yang tidak saling bersambut memang harus berakhir, untuk sesuatu yang indah atau sebaliknya. Dan, AM Lilik Agung juga mampu melukiskan detail keadaan ruang atau laku para tokoh. Kegelisahan Budiman dilukiskan dengan membetulkan letak cangkir. Bahwa Budiman merupakan lelaki yang tak berdaya digambarkan dengan adegan Agatha mengangkat tubuh, melangkah, dan meninggalkannya. Begitu efektif pemakaian anasir fiksi yang meliputi tokoh, alur, konflik, dan latar.

Atau contoh lain lagi berikut ini.

RUMAH PANTAI
Murnierida Pram
Dari cahaya lampu yang remang remang aku menatap siluet tubuh wanita yang sedang membereskan perlengkapan makan malam kami, mencucinya dan menatanya kembali di rak penyimpanan sederhana yang kami punya. Aku terus memperhatikan sosok wanita yang kini menjadi istriku. Wajahnya masih ayu seperti ketika aku mengenalnya pertama kali, meski wajahnya mulai menua, namun garis kecantikannya masih terlihat jelas.
Sesekali suara debur ombak yang menghantam bibir pantai terdengar sampai ke rumahku, rumah tepi pantai yang kini aku diami bersama wanita pujaanku. Belasan tahun lamanya aku berjuang untuk bisa memiliki hatinya, menunggunya dalam sekat harapan dan mimpi.
Kini saat usia senja mulai menyapa, wanita itu menitipkan hatinya padaku, seperti ombak yang menitipkan sisa-sisa airnya yang menyapa bibir pantai. Aku tidak mempermasalahkan meski dia hanya sesekali singgah menyapa dan memberikan deburan hatinya seperti deburan ombak yang menghantam karang dan meninggalkannya, seperti karang itu pula hatiku menyambut hatinya dan mendekapnya.

Pentigraf karya Murnierida Pram ini tampak lebih panjang dibandingkan pentigraf-pentigraf sebelumnya. Pentigraf ini diperkaya oleh kelihaian penulis memakai majas, entah metafora atau personifikasi. Hal ini yang membuat pentigraf ini memiliki gaya tutur yang berbeda. Bahasanya mampu mengaduk-aduk perasaan pembaca. ‘Percakapan batin’ yang terdapat dalam pentigraf itu memakai latar laut dengan ombak, pantai, dan batu karang. Suasana batin tokoh mampu dihadirkan dengan memakai pelambang laut dengan segala isinya.
Sesungguhnya ketiga pentigraf di atas memiliki satu karakter yang sama yaitu ketertakdugaan pada paragaf ketiga. Penataan alur dalam ruang teks sempit itu tidak mengurangi kiat para penulis membangun kejutan-kejutan yang manis atau sakit pada akhir paragraf. Seluruh pentigraf dalam Kitab Pentigraf ini mampu mengganggu emosi pembaca lewat kejutan-kejutan yang dicipta.

BELANTARA TEMA
Sebagai karya sastra, pentigraf tentu saja menulis tentang manusia dan segala persoalan yang dihadapinya. Manusia yang multidimensional ini memiliki aneka persoalan yang pelik dan rumuit juga. Itulah yang ditulis oleh para penulis pentigraf ini. Jadilah Kitab Pentigraf ini menjadi belantara tema yang beragam dan kaya.

Mari kita simak cerpen karya Johny Barliyanta berikut ini.

PEDAGANG JAMBU BIJI DARI PHNOM PENH
Johny Barliyanta

Dalam keterbatasan uang saku, aku duduk makan di  warung pinggir jalan. Warung itu menempel di trotoar sebuah gedung sekolah. Di warung itu, banyak sesama saudara cupet uang saku yang mampir untuk sekedar mengganjal perut. Aku lihat ke sekitar, tidak ada yang kelihatan punya uang. Termasuk, seorang ibu penjual jambu biji yang menuntun sepeda usangnya, menjajakan dagangannya. Termasuk, orang-orang yang membeli darinya. Aku merasakan suasana tidak punya itu. Sebuah tempat aman bagi orang-orang seperti kami.
Sejurus kemudian, seorang pembeli jambu biji datang melenggang; serta merta meraih sebiji, menimang-nimangnya dan tanpa basa-basi menggigitnya, sembari terus bicara dalam bahasa Khmer yang tidak aku pahami. Mereka berbagi cerita singkat, lalu lelaki itu pergi berlalu. Seketika, dahiku mengernyit tidak setuju. Bagaimana mungkin pembeli itu berlalu begitu saja tanpa membayar? Bukankah ibu penjual itu sudah terlihat sangat miskin?!
Aku memandang ibu penjual itu, mencoba membaca perasaannya. Dia tidak kelihatan marah atau frustasi atas apa yang baru saja menimpanya. Mendadak, Ibu itu berseru memanggil lelaki itu untuk datang kembali. Aku ingin tahu. Tertarik, mungkin lelaki itu akan mendapatkan pelajaran. Dan apa yang aku lihat kemudian, membuat rahangku jatuh. Ibu pedagang ini memberi lelaki itu dua buah jambu biji lagi, gratis.

Membaca judul pentigraf ini pembaca sudah banyak digiring untuk bertanya. Tentu dengan beragam pertanyaan di pikiran masing-masing pembaca. Tidak penting apakah pertanyaannya, yang jelas pembaca berusaha menemukan jawabannya dengan membaca pentigraf ini hingga tuntas. Dan, inilah keberhasilan judul itu menyihir pembaca. Karenanya, judul pentigraf ini dipakai sebagai judul Kitab Pentigraf ini.

Jika disimpulkan secara sederhana tema pentigraf ini: persembahan dari yang miskin, memberi dari kekurangan, memaafkan dengan penuh ketulusan, atau lainnya. Kurang lebih seperti itu. Hanya yang terpenting adalah bagaimana pentigraf ini mampu memberikan informasi kondisi sosial budaya di Phnom Penh, kondisi masyarakat yang ditulis dengan jelas ‘cupet uang saku’, atau ‘bersepeda usang’. Kemiskinan selama selalu dianggap identik dengan kekerasan atau kebodohan. Namun, dalam pentigraf ini justru ditonjolkan solidaritas dari para orang miskin sendiri. Sang aku mengatakan ‘rahangku terjatuh’ saat melihat ibu penjual jambu biji itu malah memberi dua jambu biji kepada laki-laki Khmer yang memakan jambu jualannya tanpa memberi uang. Mengapa rahangnya terjatuh? Inilah kritik keras terhadap orang-orang kaya yang justru tidak memiliki solidaritas tanpa pamrih kepada orang miskin. Tema ini sederhana, namun memiliki kandungan pesan yang dalam.

Mari kita nikmati tema yang lain lagi dalam pentigraf berikut ini.

MENEBANG POHON ARA
Siwi Dwi Saputra

"Aku nggak tahu harus bagaimana, Mbak," katanya terisak. Perempuan cantik itu bercerita tentang perkawinannya yang sedang diterpa badai. Secara tak sengaja dia mendapati bukti-bukti suaminya berselingkuh.
Pada suatu ketika, suaminya pamit pergi ke luar kota untuk urusan dinas. Sebagai istri yang baik dia percaya sepenuhnya. Sampai akhirnya tiga bulan kemudian, dia mendapati nota pembayaran di sebuah hotel di kota Y pada tanggal suaminya berkata dinas ke kota X. Dia limbung. Tak percaya.
"Haruskah aku meminta cerai?" tanyanya padaku. Sebagai orang luar aku hanya bisa memberikan nasehat yang kuanggap bijak. Kuminta dia bersabar, memperbaiki dulu keadaan dan tunggu beberapa waktu. Rajin-rajinlah menyiangi, menyirami dan memupuk. Tunggu apa dia mampu menghasilkan buah. "Jangan tebang dulu pohon aranya!"

Perselingkuhan pada hidup perkawinan dewasa ini sungguh menjadi bayang-bayang menakutkan bagi kelanggengan hidup berumah tangga. Perselingkuhan selalu berakhir pada kehancuran mahligai suci tersebut. Mengapa orang berselingkuh bukan pumpunan utama pentigraf ini. Yang menarik dari pentigraf ini justru nasihat yang diberikan ‘aku’ kepada tokoh perempuan yang mengetahui bahwa suaminya telah melakukan perselingkuhan.

“Jangan tebang dulu pohon aranya!” Begitu nasihat yang diberikan. Mengapa? ‘Aku’ meminta perempuan itu melakukan sesuatu, yaitu menyiangi, menyirami, dan memupuk, untuk mengetahui apakah pohon ara itu bisa berbuah. Ini mungkin merupakan nasihat bijak yang ideal yang tidak mudah dituruti oleh si perempuan. Dalam kondisi seperti itu pengampunan akan sangat sulit dilaksanakan.

Oleh karena itu pentigraf ini sengaja diakhiri dengan pola terbuka. Beranikah perempuan itu membiarkan pohon ara itu tumbuh, atau malah menebang dan membakarnya? Pembaca pun diajak memberikan jawaban sesuai dengan pandangan masing-masing. Ending seperti itu menjadi daya pikat lain dari pentigraf ini.

Jangan tebang dulu pohon aranya bisa bermakna jangan bunuh pohon ara tersebut. Bagaimana dengan aborsi? Kadang-kadang ada persoalan seperti itu dalam kehidupan masyarakat kita. Mari kita simak pentigraf berikut ini.

RAHASIA
Steven Yao

Retret itu masih membekas di kepala Thomas. Pemaparan tentang seks bebas dan aborsi seperti terus menerus bermain-main di mata Thomas.  "Ibu, bagaimana mungkin seorang ibu membunuh janinnya sendiri? Bukankah janin yang tak berdaya itu harus dilindungi?" tanya Thomas. Ini adalah pertanyaan kesekian kalinya pada ibunya. Seperti biasa, ibu cuma menjawab pendek, "Ah sudahlah,  ada banyak alasan kenapa orang melakukannya."
Masih merasa ngeri dengan tayangan aborsi di retret, keesokan paginya, Thomas bercerita lagi kepada ibunya.  “Aku sampai tidak bisa tidur, Bu, kalau ingat-ingat itu. Ngeri! Kejam sekali orang yang melakukan aborsi!” Lagi-lagi, ibu hanya diam. Melihat ibunya seperti enggan menanggapi ceritanya, Thomas memutuskan untuk masuk ke kamarnya.
Thomas tidak tahu, di belakangnya ibunya menumpahkan air mata. Teringat puluhan tahun lalu, ketika mereka masih sangat miskin, ketika suaminya harus bekerja keras di kota lain, ketika Thomas masih kecil dan masih membutuhkan dirinya. Ketika ia merasa tidak sanggup menanggung satu orang anak lagi yang sudah terlanjur ada di rahimnya….

Pentigraf ini dimulai dari peristiwa sederhana yaitu Thomas sedang mengikuti retret. Sebagaimana sebuah retret peserta diajak untuk membaca diri, membaca relasi diri dengan lingkungan, membaca pengaruh budaya pada manusia, dan sebagainya. Salah satu topik retret adalah seks bebas dan aborsi. Topik yang sangat aktual tentu saja.

Aborsi yang menjijikkan dan kejam itu ternyata pernah dilakukan oleh sang ibu ketika masih miskin dulu. Pertanyaannya adalah benarkah pilihan itu? Nah, kita diajak untuk menghindari pendekatan hitam-putih, salah-benar, berdosa-tidak berdosa, oposisi biner yang menafikan adanya ruang abu-abu dalam dua kontinum ekstrem itu. Pentigraf ini bukan hanya menampilkan fakta aborsi, tetapi juga melukiskan fakta-fakta lain yang menyebabkan aborsi itu dilakukan. Dan, sekali lagi, kita akan lebih gampang mengadili, daripada menunjukkan solusi, atau pilihan-pilihan lain yang menyelamatkan. Aborsi terjadi karena manusia tidak menemukan lagi pilihan lain yang bisa menyelamatkan kehidupannya.

Berikut ini tema tentang pembunuhan juga. Hanya saja dalam pentigraf berikut ini yang menjadi korban pembunuhan ialah buku yang dicap kiri. Mari kita simak pentigraf berikut.

MEMBUNUH BUKU
Oky Candra
Aku tidak pernah tahu apa salahku. Pria itu begitu bersemangat saat menciptaku. Dituangkannya segala gelisah yang membuncah. Digambarkannya buah pikir dalam susunan kata. Sebuah karya dari hasil perenungan dan pengamatannya pada apa yang terjadi di dunia, pada apa yang terjadi pada para jelata.
Kini, aku semakin tidak mengerti apa yang terjadi. Orang-orang mencapku berbau kiri. Aku terserak dari susunan buku di dalam rak. Dipisahkan dari teman-temanku yang dikategorikan netral. Lalu aku semakin terhenyak, sudah lama yang sepertiku tak naik cetak.
Seperti pesakitan, aku dikumpulkan dalam kardus sempit dan saling berjejal. Kata mereka, aku dan teman-teman siap untuk dibakar. Aku heran, apa orang-orang mulai hilang akal?

Judul “Membunuh Buku” memberikan pemahaman bahwa buku didudukkan sebagai entitas yang hidup, bukan entitas mati. Buku bukan sekadar benda, namun samudra pikiran atau gagasan yang dianggap berbahaya. Cap kiri diarahkan kepada sesuatu yang bertentangan dengan mainstream resmi. Tindakan membunuh buku dapat dikategorikan tindakan kejam dan kriminal. Begitulah kurang lebih yang dimaksudkan oleh judul tersebut.

Pentigraf ini menarik karena menugasi buku sebagai pencerita. Pilihan titik kisah ini penting karena Oky Candra berusaha menuliskan dunia batin buku, substansi dan eksistensi buku. Monolog yang dilakukan oleh buku merupakan cara cerdas mengritik tanpa harus melibatkan diri secara langsung dalam kritik itu sendiri. Mengritik dengan meminjam ‘mulut’ sosok lain.

Cara meminjam ‘mulut’ orang lain untuk bercerita juga terdapat dalam pentigraf berikut ini.

TEMPAT YANG INDAH UNTUK MATI
Sutriyono Robert

Ini tentang bukit itu. Awan-awan sering terlihat merunduk menyentuh ujung-ujung batu. Terasa benar, raga yang di bumi menyatu dengan jiwa di langit abadi bukan. Aroma pagi, kabut yang menelusup, lantas rama-rama yang terbang. Burung-burung berdendang. Dari sini, jiwaku bisa memandang lembah, tanah tempat kita membangun kemah. Aku bisa tersenyum memandang cucu-cucu, mengejar layang-layang ditingkah kupu-kupu. Tak perlu kau pasang payung di atasnya. Atau kau tabur bunga menghiasnya. Payungku adalah sekawanan kumbang yang lewat. Bungaku adalah aroma rumput yang menguap.
Ini tentang sebuah bukit. Tempat surga dan bumi saling berimpit. Sungai kecil mengalir mengitari. Alam masyuk bercanda malam dan siang hari.
Aku merasakan air mengembang di pelupuk mata. Untuk ke sekian kali. Kututup buku bersampul biru. Di luar kamar masih berdatangan tamu-tamu. Besok upacara tutup peti. Aku harus mencari cara, bagaimana menyampaikan kepada keluarga tentang wasiat ini.

Siapakah yang menulis tentang bukit tempat indah untuk mati? Membaca paragraf pertama pentigraf ini akan cepat menjawab bahwa yang menulis adalah ‘aku’. Namun, jika cermat membaca hingga paragraf ketiga baru diketahui bahwa dalam pentigraf ini ada dua ‘aku’. Yang pertama ‘aku- tokoh yang mati’ dan yang kedua ‘aku-pencerita’.

Paragraf pertama dan kedua merupakan tulisan yang terdapat buku (harian) bersampul biru yang saat kematian sang tokoh berada di tangan si ‘aku-pencerita’. Tulisan yang berisi pesan atau wasiat almarhum. Jadi, gagasan untuk memilih tempat yang indah itu dituliskan di buku, tidak disampaikan langsung. Cara bercerita Sutriyono Robert dalam pentigraf ini sungguh luar biasa. Lagi-lagi, seperti penulis lainnya, diciptakannlah ketakterdugaan di paragraf ketiga.

Sungguh, membaca Kitab Pentigraf ini, pembaca akan diajak berselancar di samudra luas dengan aneka riak dan gelombang persoalan manusia. Walaupun pendek pentigraf-pentigraf ini tetap mampu memberikan pesan-pesan humanistis dan ketuhanan yang kaya. Ternyata walaupun pendek, pentigraf ini masih memilih energi besar untuk menyampaikan gagasan dan pikiran.

Bagi pembaca, pentigraf ini akan bisa dibaca di mana dan kapan saja sebab pentigraf tidak menuntut ruang dan waktu khusus untuk nyaman dibaca. Di samping itu dalam bentuk yang pendek memberikan peluang kepada pembaca menyerap sari gagasan maupun pesan secara gampang dan mudah. Akhirnya, saya yakin bahwa menulis dan membaca pentigraf dapat dilakukan oleh siapa saja. Bentuknya yang pendek akan memudahkan orang mencoba mengekspresikan kegelisahan dan pengalamannya. Selamat menikmati pentigraf. Dan, mulailah menulis.

Seoul, 10 Oktober 2016

Ulang tahun ke-2 KPKDG

Anggota KPKDG di Gereja Maria Kerep Ambawara

Komentar

  1. wow.....luar biasa. Terimakasih banyak share-nya Pak Tengsoe. Sungguh ini pengetahuan baru bagiku, yang selama ini aku tidak mengenal tulis menulis sama sekali.

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas ilmunya Prof... Saya mulai mengikuti FBnya pada bulan ini. Saya menuliskan pentigraf di WAG Rumah Virus Literasi dari Pak Emcho UNESA.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi