Tengsoe Tjahjono:
15 Pengalaman Pemula Belajar Menulis Puisi

Puisi menjadi jalan efektif untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan akan suatu hal, peristiwa, pengalaman, atau keadaan tertentu. Puisi yang cenderung ‘monolog’ membuat setiap orang bisa secara cepat memberikan komentar, kesan, atau tanggapan atas hal atau sesuatu yang dijumpainya. Tak harus menjadi penyair jika ingin menulis puisi. Siapa pun boleh menulis puisi. Predikat penyair sebenarnya merupakan bentuk penghargaan pembaca atas puisi yang kita tulis. Maka, tulislah puisi, ciptakan pula pembaca dengan cara mempublikasikan karya Anda. Ruang publik puisi sangat luas, bukan hanya koran atau buku. Anda bisa memakai media online, entah itu website, media sosial, atau lainnya.

Sebenarnya tidak ada tips menulis puisi karena menulis puisi itu sebenarnya sangat personal, masing-masing memiliki gaya dan cara sendiri. Dalam tulisan pendek berikut ini saya hanya akan berbagi pengalaman bagaimana saya menulis puisi. Semoga pengalaman saya ini bisa berguna bagi para pembaca yang tergoda ingin menulis puisi.

1. Jangan memiliki keinginan untuk menulis puisi yang baik.
Tentu ini pernyataan yang mengagetkan. Apa salahnya ingin menulis puisi yang baik. Tentu saja keinginan itu tidaklah salah. Hanya saja jika kita ingin menulis yang baik, akibatnya justru kita tidak berani menulis. Kita takut puisi kita tidak baik. Bahkan, banyak yang ragu-ragu apakah yang ditulisnya puisi atau bukan.

2. Jangan ingin menulis puisi seindah penyair yang sudah ‘jadi’.
Nah, ini juga pernyataan yang sangat kontroversial. Apa salahnya ingin menulis puisi seindah Chairil Anwar, Rendra, Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohammad, dan lain-lain. Tak ada yang salah dengan keinginan itu. Hanya saja keinginan itu bisa menjadi penghambat saat kita belajar menulis puisi. Kita akan merasa gagal ketika menyadari bahwa puisi kita tak seindah karya mereka. Dampaknya kita pun enggan menulis.

3. Jangan berpikir bahwa puisi itu harus berbahasa indah.
Wah, apa memang begitu? Bukankah selama ini kita beranggapan bahwa sastra, termasuk puisi, merupakan teks yang memakai bahasa indah. Dampak jika kita berpikir bahwa bahasa puisi itu harus indah ialah kita sibuk menata kata-kata indah, melupakan gagasan apa yang harus kita sampaikan. Atau, kita justru merasa gagal menulis puisi sebab mengira bahwa bahasa yang kita pakai belum indah.

4. Jangan membaca buku tentang teori menulis puisi.
Teori adalah teori. Ia akan terasa sangat teknis. Kita akan belajar bahwa bangunan puisi itu terdiri atas bait, baris, irama, pilihan kata, dan sebagainya. Saat kita menulis puisi kita terpaksa memikirkan bagaimana diksi kita, bagaimana irama puisi yang kita tulis, bagaimana temanya, dan lain-lain, yang amat menguras energi dan memusingkan. Dari teori itu kita akan berkesimpulan bahwa menulis puisi itu ternyata sulit. Kita akhirnya menyerah untuk tak usah menulis puisi.

5.  Membaca, membaca, dan membaca.
Ternyata yang harus kita baca bukanlah buku teori menulis puisi, tetapi puisi para penyair yang sudah mengenyam asam-garam dalam dunia penciptaan puisi. Dari puisi mereka kita akan belajar mengenai bahasa puisi itu, bagaimana mengolah kata menjadi sangat bertenaga, bagaimana gaya pribadi mereka, dan sebagainya. Kita membaca puisi mereka bukan karena kita akan menjiplaknya -- walau pada awalnya bisa saja kita terpengaruh --  namun untuk menimba pengalaman mereka dalam menulis puisi melalui puisi-puisi mereka. Membacalah sebanyak-banyaknya puisi dari banyak penyair, dari angkatan sastra yang berbeda, bahkan dari puisi-puisi para penyair dunia.

6. Setiap orang bisa menulis puisi.
Benarkah demikian? Ya, benar. Sebab pada dasarnya modal utama menulis puisi ialah kemampuan menulis kalimat. Padahal, setiap orang bisa menyusun kalimat. Bukankah kita setiap hari kita selalu berbahasa dengan memakai kalimat? Kalimat yang kita ucapkan bisa dirangkai menjadi puisi.

7.  Menulis puisi tidak harus berangkat dari tema.
Mungkin kita pernah membaca atau belajar di bangku sekolah dulu bahwa sastra itu ditulis berdasarkan tema tertentu. Tema ditentukan lebih dahulu, baru kita mulai menulis. Hal seperti tidaklah mutlak adanya. Kita boleh menulis berdasarkan tema, bisa juga menulis puisi berdasarkan apa saja yang kita jumpai: hal, peristiwa, atau kejadian tertentu. Misalnya saja kita melihat pohon seperti gambar di atas.

Banyak yang bisa kita tulis atas fenomena itu dengan berbagai gaya penulisan.
a.       Hanya deskripsi
Dalam hal ini kita hanya menulis apa yang kita indra apa adanya. Kita tulis sesuai apa yang kita amati

POHON
Sebuah pohon
Berdiri di atas tanah penuh batu
Berlatar langit biru

POHON ITU
Pohon besar itu
Daunnya tak begitu lebat
Tak banyak juga rantingnya
Langit biru dan tanah penuh batu
Di sekitarnya

b.      Deskripsi dan komentar
Bisa saja kita memberi komentar atas hal yang kita amati itu.

SAJAK POHON TUA
Sebatang pohon
Tegak di atas tanah berbatu
Ia terasa sepi

Daun-daunnya tak lagi rimbun
Bisa jadi gugur karena waktu

Baris ‘ia terasa sepi’ dan ‘bisa jadi gugur karena waktu’ merupakan komentar penulis atas fenomena pohon yang dijumpai.

c.       Deskripsi dan daya bayang
Melihat satu fenomena bisa kita membayangkan fenomena itu sebagai apa.

KISAH POHON
Pohon itu tegak sendiri
Di atas tanah bebatu
Bagai raksasa yang menanti mangsa
Hanya burung-burung yang singgahi rambutnya

Raksasa yang sendiri dipanah sepi
Roboh di tanah bebatu
Ya, akhirnya begitu

Dalam puisi di atas penulis membayangkan pohon sebagai raksasa dengan berbagai karakternya. Kita bisa membayangkan apa saja yang berkaitan dengan pohon, mungkin gedung, tombak, manusia, dan lain-lain.

d.      Deskripsi dan aku
Bisa saja kita memasukkan unsur ‘aku’ ke dalam fenomena itu. Pengalaman-pengalaman diri disenyawakan ke dalam hal yang kita amati.

POHON DI ATAS TANAH BEBATU
Memandang pohon di atas bebatu
Memandang diriku yang beku
Menancap pada bumi keangkuhan
Yang abadi di jiwa

Ingin kutebang sendiri pohon itu
Sebelum dibakar oleh-Mu

e.      Simbolik
Pada tingkat tertentu, kita akhirnya akan mampu mengangkat fenomena sebagai simbol dari sesuatu yang lain, bahkan dari tema tertentu. Misalnya dalam puisi berikut ini saya mencoba mengangkat pohon sebagai simbol usia.

SAJAK TENTANG USIA
Usia itu ibarat pohon. Dia punya akar, punya pula ujung.
Ia dipenuhi cabang-cabang peristiwa, ranting-ranting nestapa.
Tapi ingat, ia juga memiliki daun, juga bunga, juga buah. Dan pohon
selalu tengadah ke langit, memandang Tuhan dan hujan yang
sesekali bertandang bersama kupu-kupu dan pelangi

mari panjat pohon usia, tengoklah tubuh yang hari
demi hari sekuat baja, atau malah merapuh seperti batang
mati membusuk dikeroyok jutaan ngengat. Kita panjat saja,
catatan-catatan yang tertulis di kelopak bunga
siapa tahu bisa membuat kita makin dewasa,
kejatuhan yang membikin diri makin waspada

pohon tua, daun-daunnya merimbun seluas angkasa
burung-burung bercumbu dan bertelur di ruang-ruang hangat
bunga anggrek melekat erat menyerobot kapiler-kapiler makanan
biarkan saja, jangan usir mereka, olehnya pohon itu makin bermakna

usia itu ibarat pohon, bila saatnya tiba
ditebang pula

Seoul, 031015

8. Bahan puisi ada di mana saja
Di mana bahan puisi? Di mana saja, dalam kehidupan kita. Inti sastra sebenarnya ialah manusia dan hidupnya. Relasi Tuhan-manusia, manusia-alam/budaya, manusia-manusia lain, dan manusia-dirinya sendiri ialah bentangan bahan yang amat tak terbatas. Inspirasi tak bisa turun begitu saja. Inspirasi lahir karena keterlibatan atau kedekatan penulis dengan peristiwa atau hal yang dialaminya. Maka, seorang penulis harus: (1) akrab dengan peristiwa dengan cara mengalami langsung, membaca koran, menonton televisi, dan lain-lain, (2) memiliki cakrawala pengetahuan dunia yang cukup dengan terlibat dalam aktivitas membaca buku (agama, politik, hukum, tradisi, budaya, filsafat, sosial, dan lain-lain), dan (3) memiliki pengetahuan sastra dan bahasa yang cukup dengan membaca karya-karya sastra yang ada.

9. Puisi bukan hanya ungkapan perasaan
Banyak orang mengaitkan puisi dengan perasaan. Puisi ditulis oleh orang yang sedang jatuh cinta, begitu konon katanya. Ungkapan itu tak sepenuhnya salah, namun juga tak sepenuhnya benar. Dalam puisi juga terdapat pikiran-pikiran. Sesederhana puisi yang ditulis ora para penyair terkandung pikiran di sana. Kita nikmati saja puisi-puisi berikut ini.

GENESIS
Puisi Subagio Sastrowardoyo

pembuat boneka
yang jarang bicara
dan yang tinggal agak jauh dari kampung
telah membuat patung
dari lilin
serupa dia sendiri
dengan tubuh, tangan dan kaki dua
ketika dihembusnya napas di ubun
telah menyala api
tidak di kepala
tapi di dada
--aku cinta--kata pembuat boneka
baru itu ia mengeluarkan kata
dan api itu
telah membikin ciptaan itu abadi
ketika habis terbakar lilin,
lihat, api itu terus menyala

LA CONDITION HUMAINE
Puisi Abdul Hadi WM

Di dalam hutan nenek moyangku
Aku hanya sebatang pohon mangga
-- tidak berbuah tidak berdaun –
Ayahku berkata, “Tanah tempat kau tumbuh
Memang tak subur, nak!” sambil makan
buah-buahan dari pohon kakekku dengan lahapnya

Dan kadang malam-malam
tanpa sepengetahuan istriku
aku pun mencuri dan makan buah-buahan
dari pohon anakku yang belum masak

1975

EPISODE
Puisi WS Rendra

Kami duduk berdua
di bangku halaman rumahnya.
Pohon jambu di halaman rumah itu
berbuah dengan lebatnya
dan kami senang memandangnya.
Angin yang lewat
memainkan daun yang berguguran.
Tiba-tiba ia bertanya:
”Mengapa sebuah kancing bajumu
lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
Lalu ia sematkan dengan mesra
sebuah peniti menutup bajuku.
Sementara itu
aku bersihkan
guguran bunga jambu
yang mengotori rambutnya

SUNGAI KECIL
Puisi D Zawawi Imron

sungai kecil, sungai kecil! dimanakah engkau telah kulihat?
antara cirebon dan purwokerto ataukah hanya dalam mimpi?
di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-
daun bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam doaku

sungai kecil, sungai kecil! terangkanlah kepadaku, di manakah negeri asalmu?
di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani
mudah melintasimu dan akan kubersihkan lubukmu agar
para perampok yang mandi merasakan sejuk airmu

sungai kecil, sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku
dan kalau kau payah, istirahatlah ke dalam tidurku!
kau yang jelita kutembangkan buat kasihku

1980

MATAAIR
Puisi Joko Pinurbo

Di musim kemarau semua sumber air di desa itu mengering.
Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah sendang di bawah pohon beringin di celah bebukitan.
Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di dinding-dinding tebing,
pecah di padang-padang gersang.

Setelah berjalan lima kilometer jauhnya, mereka pun sampai di mataair
yang tak pernah mati itu. Mereka ramai-ramai menuai air membuncah-buncah,
menuai airmata yang mereka tanam di ladang-ladang karang.

Bulan sering turun ke sendang itu, menemani gadis kecil
yang suka mandi sendirian di situ. Langit sangat bahagia
tapi belum ingin meneteskan airmata. Nanti, jika musim hujan tiba,
langit akan memandikan gadis kecil itu dengan airmatanya.

(2002)

IBUNDA TERCINTA
Puisi Umbu Landu Paranggi

Perempuan tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya

Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia

Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya

(1965)

JAKARTA 1977
Puisi Eka Budianta

di bawah silang-silang kebosanan
tubuhku terlentang menghindari gemuruhmu
deru jeram yang akhirnya tak usah kurisaukan
adalah bising nadimu

SONNET BUAT IKA
Puisi Hartojo Andangdjaja

Siapakah kau, mengikut daku dari bukit ke bukit
tidakkah tahu, dari puncak ini tinggal nampak gugusan alit
rumah yang dulu berkilau
kebun yang dulu menghijau

Pulanglah. Jangan lagi kaubisikkan kisah
tentang dua anak berlarian di kebun rumah
menangkap nyanyi indah
memburu mimpi putih di pagi merah

Engkau yang asing bagiku
tidakkah tahu, di bukit lain itu
biru puncak memanggil daku

Pulanglah. Bila canang bertalu
di kotamu engkau ditunggu
rindu ibu dan raih kasihmu

1973

CINTAKU TIGA
Puisi Toeti Heraty

cintaku tiga, secara kanak-kanak
menghitung jari
kusebut satu per satu kini
yang pertama serius dan dalam hatinya
tidak terduga
bertahun-tahun ku jadi idaman
mesraku membuat pandangannya sayu mungkin
ia merasa iba padaku
ingin aku membenam diri, melebur
dalam mesra rayu, iba dan sayu
pandangnya yang begitu sepi, tapi
ia paling mudah untuk dikelabui—

yang lain, berfilsafat ringan dan kesabaran
tak pernah kulepas ia dari pandangan
petuah orang, — lidah tak bertulang —
tak kupedulikan karena ia
kata-katanya tepat untuk setiap peristiwa
sesudah akhirnya mengecap bibirnya
ia tinggalkan aku dan sesudah itu?
ah, biasa saja, tak ada sesuatu terjadi
memang ia tidak begitu peduli —

pelu pula kusebut yang ketiga, bukannya
lebih baik dirahasiakan saja, karena
ia datang hanya malam hari, engsel pintu pun
telah diminyaki
suaranya tegang, berat, menghe;a
ke sorga tirai-ranjang
pandang pesona tajam memaksa, akhirnya
menghitung hari setiap bulan

meskipun itu urusan nanti
ketiga cinta yang aku miliki
kapan kujumpai pada satu orang?

SAJAK SEPOTONG BATU KELUD
Puisi Diah Hadaning

Sepotong batu di lereng kelud
Menguat makna celah misteri
Abu-abu kehitaman
Benarkah sembunyikan getar gebu
Karana telah janji setia pada sri prabu
Di antara celah abad
Di antara misteri takdir dan nasib
Musim-musim berlari sendiri
Memanggili berjuta nama tersisa
Di dinding-dinding purba
Tersisip akhirnya dalam sepotong batu
Di tangan ku ruh mu menyapa:
Simak, ingsun sembunyikan windu penuh karat
Kupenjara ruhnya sampai bertobat
Kau pasti cucu suto legowo yang lama luka
Bermentralah ingsun sambutan tangan mu
angin berhembus di lereng kelud, lembut
kubisik pada batu hitam kelabu
aku mau hidup ku tak batu
aku ingin hati ku tak batu
kutimang SANG yang tembus ruang dan waktu

lereng kelud, juli 2008

CIWULAN
Puisi Soni Farid Maulana

aku mendengar suara ricik air sungai yang ngalir
di antara batu-batu dan batang pohonan
yang rubuh ke ciwulan

aku mendengar suara itu mengusik jiwaku
bagai alun tembang cianjuran
yang disuarakan nenekku di gelap malam

1979

1946 : LARUT MALAM SUARA SEBUAH TRUK
Puisi Taufiq Ismail

Sebuah Lasykar truk
Masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
'Sudah Bebas Negeri Kita'
Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun terjaga :
'Ibu, akan pulangkah Bapa,
dan membawakan pestol buat saya ?'

(1963)

AKULAH SI TELAGA
Puisi Sapardi Djoko Damono

akulah si telaga: berlayarlah di atasnya;
berlayarlah menyibakkan riak-riak kecil yang menggerakkan
bunga-bunga padma;
berlayarlah sambil memandang harumnya cahaya;
sesampai di seberang sana, tinggalkan begitu saja
— perahumu biar aku yang menjaganya

YANG TAK MENARIK DARI MATI
Puisi Goenawan Mohammad

adalah kebisuan sungai
ketika aku
menemuinya.

Yang menghibur dari mati
adalah sejuk batu-batu,
patahan-patahan kayu
pada arus itu.

2012

SURAT KERTAS HIJAU
Puisi Sitor Situmorang

Segala kedaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh

Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
Mengimbau dari seberang benua

Mari, Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan

Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan

1953

TENTANG KEMERDEKAAN
Puisi Toto Sudarto Bachtiar

Kemerdekaan ialah tanah air dan laut semua suara
Janganlah takut kepadanya

Kemerdekaan ialah tanah air penyair dan pengembara
Janganlah takut kepadanya

Kemerdekaan ialah cinta salih yang mesra
Bawalah daku kepadanya

1953

EPISODE
Puisi Ajip Rosidhi

Di luar alam gerimis
karena kau menangis
dan airmatamu
membasahi dadaku.

Padang ilalang bergelombang
dan angin semilir,
rumpun bambu berkesiur, burung terbang,
gemuruh airterjun, menghilir
Adalah mimpi yang jauh
adalah harapan yang jauh
dalam cinta yang rapuh.

Yang abadi
di dunia sebelum mati
hanya kenangan
yang muncul sesekali

1963

Setelah membaca puisi para penyair Indonesia di atas coba renungkanlah pikiran-pikiran apa yang terkandung di dalamnya. Pikiran-pikiran itu dikemas dalam bahasa yang sederhana sebetulnya, namun membuat kita bergetar. Yang membuat kita tergetar sesungguhnya ialah kekuatan pikiran dan bahasanya itu. Kita bisa mencobanya.

10. Berapa panjang puisi?
Keindahan puisi tak ditentukan oleh panjang-pendeknya, namun bergantung kepada ketuntasan kita dalam menuangkan gagasan ke dalam puisi tersebut. Jika gagasan itu sudah dirasa cukup dengan satu atau dua baris ya selesailah puisi itu. Banyak pemula yang ingin menulis sejelas-jelasnya dalam puisi sehingga selalu tak puas dengan satu bait saja. Ditambah lagi dan terus ditambah lagi. Akhirnya puisi tersebut menjadi terlihat kedodoran, tidak padat berisi.

Berikut ini dua contoh puisi yang pendek dan yang sangat panjang.

MALAM LEBARAN
Puisi Sitor Situmorang

Bulan di atas kuburan

NYANYIAN ANGSA
Puisi Rendra

Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).

Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)

Jam satu siang.
Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)

Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)

Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.
Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).

Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.

(Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.

Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)


Puisi Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran hanya sebaris saja. Bisa jadi ketika itu ia ingin mengungkapkan kesan selintas atas keadaan yang dijumpai. Kesan selintas tak mungkin ia deskripsikan secara berpanjang-panjang. Sedangkan puisi Rendra yang berjudul Nyanyian Angsa sangat panjang karena ia ingin menuliskan balada hidup seorang pelacur yang bernama Maria Zaitun, sangat naratif.

11. Bacalah ulang dan suntinglah
Setelah menyelesaikan sebuah proses menulis puisi, bukan berarti puisi itu benar-benar rampung. Jangan terburu-buru dipublikasikan. Simpan dan endapkan dulu. Baca lagi, berulang-ulang. Kita bisa memoles karya kita itu dengan coba-coba kita baca. Bisa jadi kata yang kurang tepat, baris yang terlalu panjang, gagasan yang perlu dipertajam, dan sebagainya. Setelah itu lakukan revisi. Revisi itu bagian penting dalam proses menulis karya, walau mungkin ada penyair mengatakan bahwa ia selalu menulis sekali langsung jadi, tanpa revisi. Bagi saya revisi itu ibarat finishing dalam setiap kita membangun rumah. Pekerjaannya tampak kecil namun sangat diperlukan agar kita bisa menghasilkan karya yang sungguh memuaskan.

12.  Publikasikan
Puisi tanpa pembaca, apa artinya. Dia tak akan bermakna. Publikasi karya tak mesti melalui koran, karena halaman koran serba terbatas, bahkan banyak koran yang menjauhkan puisi dari halaman korannya. Kita bisa memanfaatkan media online yang ada, entah facebook, website, blog, dan lain-lain. Ruang diskusi bisa tercipta di group-group facebook, whatsapp, BBM, dan lain-lain. Kita bisa saling mengasah di sana. Publikasi karya melalui media online sekarang ini justru sangat efektif, bahkan mendunia, tidak hanya lokal atau regional.

13.   Menulis puisi itu sebuah proses panjang
Menulis puisi itu merupakan sebuah proses panjang. Orang tak bisa serta-merta mampu melahirkan puisi yang sangat wah begitu. Saya pun terus belajar. Mengikuti perkembangan para penyair muda yang semakin canggih dalam menulis. Pendek kata kita diminta untuk terus membaca dan terus menulis. Membaca membaca membaca. Menulis menulis menulis. Jika kita ingin hadir di dunia kepenyairan, yang dituntut dari kita hanyalah kesetiaan. Terus menulis, tak kenal lelah dan bosan.

14.   Terbukalah terhadap kritik
Kritik itu masukan yang sangat baik kepada kita, sepedas apa pun kritik tersebut. Terbukalah terhadap kritik, namun jangan terganggu oleh kritik. Jika menurut kita kritik itu mengandung kebenaran, lakukan perubahan pada proses kepenulisan kita; jika menurut kita kritik itu tidak sesuai dengan pikiran kita, ya jangan diikuti. Begitu cara bijak menerima kritik. Tak perlu marah atau sedih atau malah patah arang lalu tak mau menulis lagi.

15.  Benarkah tak bisa hidup dari puisi?
Seringkali orang berpikir untuk apa menulis puisi sebab puisi tak bisa dijual. Kita lupa bahwa banyak iklan memakai bahasa puisi, lagu memerlukan lirik yang bagus, slogan layanan masyarakat juga memakai puisi, dan lain-lain. Sebenarnya peluang ‘bisnis’ puisi itu ada. Hanya kita tak bisa membuktikan bahwa puisi sangat diperlukan untuk kepentingan seperti itu.

Di samping itu puisi bisa menjadi pilihan bentuk rekreasi yang murah setelah kita suntuk bekerja pada tugas utama kita. Nonton filem, jalan-jalan, shoping, dan lain-lain memerlukan anggaran yang luar biasa. Rekreasi dengan cara menulis puisi di rumah tentu akan lebih murah, namun memiliki manfaat bagi upaya menyejukkan hati kita yang capek setelah seharian bekerja. Dalam hal ini puisi bisa menjadi nutrisi jiwa bagi kita, menghidupkan semangat dan menumbuhkan energi serta kreativitas baru.

Begitulah serba singkat pengalaman saya menulis puisi sebagai seorang pemula dulu. Saya telah menulis sejak 1978 hingga sekarang. Tanpa berpikir lagi untuk apa saya menulis puisi. Saya menulis karena saya senang melakukan pekerjaan itu. Begitu saja jika saya dimintai pendapat tentang alasan saya menulis puisi. Tentu pengalaman masing-masing penyair akan sangat berbeda. Tak apa sebab memang proses berkesenian selalu personal sifatnya. Semoga pengalaman ini bermanfaat.

Seoul, 3 Oktober 2015


Tengsoe Tjahjono di Songdo Beach Busan





Komentar

  1. terima kasih atas pencerahan ilmunya, sangat bermanfaat

    BalasHapus
  2. Sebuah inspirasi yang wow.

    BalasHapus
  3. Bacaan yang luar biasa kerennya

    BalasHapus
  4. Ilmu yang bermanfaat. Kadang saya sering berpikir penulis puisi seperti sudah punya bakat alam. Memang semua orang bisa menulis puisi tapi puisi yang dihasilkan akan berbeda dari puisi orang yang berbakat. Penulis puisi berbakat itu memang sudah sebuah anugerah tuhan.

    BalasHapus
  5. Keren pak. Terima kasih ilmunya. Sungguh saya membutuhkan informasi ini. Sekali lagi terima kasih.

    BalasHapus
  6. Izin share ya Pak. Sangat mengispiratif sekali.

    BalasHapus
  7. Bnyk ilmu yang di dpt..trimkih pk ..atas ilmunys

    BalasHapus
  8. Kereen....Trimakasih ilmunya Pak...

    BalasHapus
  9. Terimakasih ilmunya pak Tengsoe.. Mantap

    BalasHapus
  10. Terima kasih yang tak terhingga atas ilmunya pak Tengsoe.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi