MUSIKALISASI PUISI: APA DAN BAGAIMANA?
Tengsoe Tjahjono
Apakah musikalisasi itu? Ternyata batasan mengenai
musikalisasi puisi melahirkan perdebatan panjang. Ada banyak perbedaan pendapat
tentang musikalisasi puisi. Perbedaan itu misalnya saja: (a) bahwa dalam
musikalisasi puisi tidak boleh ada aktivitas membaca puisi; jika ada pembacaan
puisi di dalamnya, kegiatan tersebut bukanlah musikalisasi puisi, (b) bahwa
dalam musikalisasi puisi boleh saja terdapat kegiatan pembacaan puisi, sebab
tidak semua baris atau frase dalam puisi bisa dimusikalisasikan, (c) bahwa
membaca puisi dengan iringan alat musik bukanlah musikalisasi puisi, dan (d) bahwa
membaca puisi dengan alat musik juga merupakan kegiatan musikalisasi puisi.
Bagaimana sesungguhnya
musikalisasi puisi itu?
HAKIKAT
MUSIKALISASI PUISI
Ada dua hal esensial yang
mesti kita cermati saat kita hendak mendefenisikan musikalisasi puisi, yaitu:
(1) hakikat performansi puisi adalah pembacaan, dan (2) musik tidak sejajar
dengan lagu.
Performansi Puisi adalah Pembacaan
Setiap kali seorang penyair menulis puisi, yang ia
bayangkan adalah bagaimana kelak jika puisi itu dibacakan, bukan untuk
dinyanyikan. Oleh karena itu musikalisasi puisi pun harus berangkat dari ikhwal
pembacaan ini.
Pembacaan puisi itu sesungguhnya sudah sangat mengandung
unsur musik karena puisi dicipta dengan memperhatikan faktor irama. Namun apa
salahnya jika pembacaan puisi itu dipadukan dengan unsur nada dan melodi.
Pembacaan puisi yang dipadukan dengan unsur tersebut dapat memperkuat suasana
dan karakter puisi, memperjelas makna dan ikut membantu memperjelas amanat puisi tersebut. Untuk memperkuat puisi tidak
harus pembaca puisi memaksakan bangunan utuh puisi tersebut menjadi lagu.
Apalagi jika upaya tersebut justru dapat
merusak dan menghancurkan totalitas puisi itu.
Adakalanya intonasi, modulasi dan jeda dalam pembacaan
puisi justru akan hancur manakala dilagukan. Intonasi, modulasi dan jeda itu
hanya menemukan kekuatannya saat dibacakan. Dalam satu bait puisi boleh jadi
seorang pembaca puisi akan secara berganti-ganti memakai tekanan dinamik,
tempo, dan nada secara bergantian. Jika hal itu diubah ke dalam melodi, justru
akan terasa monoton. Suasana kontemplatif, sugestif, dan afektif justru
terkendala dengan birama misalnya saat dilagukan.
Sedangkan tempo pada lagu terdapat pada satu konstruksi
bait, yang ditentukan oleh kecepatan ketukan nada dalam tiap-tiap notasi. Bahkan
pada keseluruhan lagu tersebut tempo sudah ditentukan lebih dahulu, misalnya
dengan forte, piano forte, allegro,
adagia dan sebagainya.
Irama pada lagu umumnya bersifat permanen dan telah
ditentukan sebelumnya oleh pencipta lagu tersebut. Sedangkan irama, modulasi,
dan jeda pada puisi dipengaruhi oleh dua hal, yaitu suasana konkret puisi dan ditentukan
oleh interpretasi masing-masing pembaca.
Irama, modulasi, dan jeda adalah bagian dari kegiatan pembacaan puisi
yang sulit untuk dilagukan. Jika pun dipaksa untuk dilagukan akan terjadi disharmoni
irama lagu itu sendiri. Oleh karena itu, dalam kegiatan musikalisasi puisi, jika
terdapat bait dan bagian-bagiannya yang memiliki karakter kuat untuk dibacakan,
disarankan untuk tetap dibacakan, tidak perlu dilagukan. Untuk membangun kesan
kuat cukup diberi dentingan piano, gesekan bola, atau sebagainya, pada bagian
tersebut.
Belum lagi jika kita harus memperhatikan enjambemen dan
tipografi dalam puisi. Enjambemen adalah pemenggalan baris dan hubungan antara
baris. Pemenggalan baris ini pun memiliki makna tersendiri bagi penyair.
Pembaca puisi adalah duta penyair untuk menyampaikan pesan kepada pendengar.
Jika saat melagukan puisi persoalan enjambemen dirusak hanya untuk kepentingan
melodi, tentu akan mengganggu pesan tersebut.
Misalnya jika ada penggalan puisi:
Aku percaya pada-Mu Tuhan
Tak ingin berpaling
Pemenggalan dalam lagu nanti
hendaknya: Aku percaya pada-Mu Tuhan/ Tak
ingin berpaling. Jangan sampai terjadi: Aku
percaya pada-Mu/ Tuhan tak ingin berpaling. Pemenggalan yang salah akan
berdampak pada makna yang kurang atau tidak tepat.
Dalam penulisan puisi, penyair selalu memperhatikan
bentuk visual puisi, entah itu pemakaian huruf kapital atau huruf kecil, tanda
baca, dan grafis penataan huruf-hurufnya. Segala hal yang menyangkut tipografi
itu juga mengandung makna tertentu. Hal tersebut sulit untuk diwujudkan ke
dalam partitur lagu.
Pada dasarnya musikalisasi puisi jangan sampai merusak
kodrat puisi. Puisi adalah puisi, dengan segala kekhasan yang dipunyainya. Musikalisasi
puisi harus tetap mendudukkan puisi sebagai teks sastra, bukan hanya menjadi sebuah
lirik lagu. Puisi pada hakikatnya ditulis sebagai teks sastra bukan sebagai
teks lagu. Banyak puisi yang memiliki kemungkinan kecil untuk dapat dilagukan. Artinya
tidak semua puisi dapat dilagukan. Bahkan, boleh jadi dalam sebuah puisi, hanya
beberapa bait saja yang dapat ditampilkan ke dalam tataan lagu.
Musik Tidak Sejajar dengan Lagu
Terdapat pandangan salah kaprah mengenai musik. Kita
sering menyamakan antara musik dan lagu. Musik antara lain dimaknai sebagai
nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama yang
harmoni. Merujuk pada pengertian tersebut jelas sekali dalam setiap puisi sudah
mengandung unsur musik.
Sedangkan lagu
(dari bahasa Arab; al laghwu) dimaksudkan
sebagai teks yang dengan sengaja dan sadar dinotasikan dengan nada-nada
tertentu dan dibentuk oleh melodi. Dalam lagu memang terdapat unsur musik.
Tetapi musik bukanlah lagu. Tanpa lagu pun sebuah konstruksi musik tetap dapat
terbangun. Musik ada yang bernotasi, ada pula yang tidak bernotasi. Suara
gemercik air hujan, debur angin, tiupan angin menyentuh dauh-daun, dan
sebagainya merupakan contoh musik tanpa notasi. Kentongan yang ditabuh
berkali-kali, lonceng gereja, bunyi bedug di masjid, dan sebagainya juga
merupakan musik yang tanpa notasi.
Dengan demikian musikalisasi
puisi sebenarnya tidak berarti melagukan puisi. Musikalisasi puisi sejatinya
upaya menguatkan potensi musik yang sudah ada dalam puisi itu, dengan
menambahkan unsur musik yang lain, misalnya tangga nada, melodi, dan birama.
Dengan catatan jika bait-bait tertentu memang sangat kuat ketika dibacakan,
jangan dipaksa untuk dilagukan.
LANGKAH-LANGKAH MUSIKALISASI PUISI
Memilih Puisi
Sudah disebutkan di atas bahwa
tidak semua puisi dapat dimusikalisasikan. Puisi yang dapat dibacakan pada
umumnya memiliki konstruksi bait yang relatif sama antara bait pertama, kedua,
dan seterusnya. Di samping itu bagus sekali jika puisi yang dipilih adalah
puisi yang memiliki pola persajakan yang relatif konsisten. Puisi-puisi lirik
memang akan lebih bagus jika dimusikalisasikan.
Perhatikan contoh puisi
berikut ini.
Mendekatlah. Adakah yang masih tersisa
bila semuanya telah diruntuhkankenangan pun suatu saat akan musnah
dan kehidupan akan pucat tanpa masa silam
Tak ada yang kekal memang. Tak ada
Yang tiba dan yang pergi silih berganti
hari demi hari memanjang menjadi kenyataan
kehidupan memberikan sukaduka dan bahagia
Biarlah yang lampau tenggelam
catatlah apa saja yang kau perlukanbiarlah matahari tenggelam
menghapus lelah dan menyajikan impian
Kehidupan ialah estafet panjang
Kau harus menerima dan kemudian memberikanMendekatlah. Adakah yang masih tersisa
bila semuanya telah diruntuhkan
Tataplah. Wajah tua renta dan tak terawat
kini rata dengan tanah. Siapa pernahterbaring di sana. Nanti ada
seorang anak membuka buku sejarah dan bertanya
Betapa asing kehidupan bila kenangan
telah kehilangan makna. Ia bukakan kelopaksemangat yang mendatang. Tapi pada malam dingin begini
siapa yang akan bicara. Siapa?
Puisi di atas bersifat liris, sebuah ungkapan perasaan terhadap suatu hal. Sifat liris itu memiliki peluang besar untuk ditata ke dalam partitur, melodi, atau birama tertentu.
Menyusun Partitur Musikalisasi Puisi
Partitur musik adalah teks lagu yang berisikan puisi-puisi yang diaransemen ke dalam bentuk lembaran musik yang berupa melodi, irama/ritme, dan harmoni. Partitur musikalisasi puisi tentu tidak seketat partitur musik pada umumnya. Partitur musikalisasi puisi dapat lebih longgar atau fleksibel.
Dengan bantuan petikan gitar atau denting piano kita bisa mencoba-coba mencari melodi yang pas atas penafsiran kita pada puisi yang sudah kita pilih. Baru kemudian kita mencatatnya dengan tanda-tanda nada atau not tertentu. Semata-mata agar kita tidak lupa.
Sebelum menyusun partitur secara lengkap dan utuh, sebaiknya kita membaca puisi yang akan dimusikalisasikan secara cermat. Kita pilih bait-bait mana yang memiliki peluang untuk dinyanyikan dan bait-bait mana yang justru kuat ketika dibacakan.
Misalnya, bait terakhir puisi Rumah Sakit Simpang karya Rudi Isbandi di atas akan lebih baik dan kuat jika dibacakan, bukan dinyanyikan, sebab dalam bait tersebut terbaca jelas simpulan dan pesan puisi. Dalam bagian ini pembaca puisi akan lebih leluasa memberikan tekanan pada bagian-bagian baris yang dianggap mengandung pesan dan suasana kuat. Sedangkan bait-bait lain boleh atau berpeluang untuk dinyanyikan.
Jangan sekali-kali memakai lagu penyanyi atau kelompok musik tertentu untuk sebuah aktivitas musikalisasi puisi. Bayangkan apa yang terjadi bila puisi "Hujan Bulan Juni" karya Sapardi Djoko Damono dengan meminjam melodi lagunya Wali. Hal semacam sering saya lihat pada setiap lomba Musikalisasi Puisi.
Karena musikalisasi puisi merupakan upaya memaksimalkan kekuatan musik dalam puisi, kita tak perlu terjebak pada membuat lagu dengan bahan puisi. Sehingga terkesan menjadi sebuah band atau menjadi boyband/girlband. Alat musik elektronik acapkali justru mengurangi jiwa puisi karena rekayasa teknik, bukan ekspresi jiwa pembawa musikalisasi puisi. Peranti musik akustik lebih mampu mewakili kekuatan dan roh puisi karena dimainkan tanpa bantuan elektronik.
Menampilkan
Musikalisasi Puisi
Keberhasilan
musikalisasi puisi terletak pada bagaimana unsur-unsur musik dalam puisi dapat
disajikan secara maksimal. Artinya, musikalisasi puisi merupakan seni auditif,
bukan seni visual. Keindahannya terletak pada kemampuan bunyi membangun imaji
auditif dan estetik dalam diri pendengarnya.Maka, penampilan musikalisasi puisi tidak harus terjebak pada dramatisasi/teatrikalisasi puisi, yang lebih menonjolkan gerak daripada bunyi. Gerak boleh saja ditampilkan asal memberikan kontribusi terhadap lahirnya/ terciptanya bunyi musik dalam musikalisasi puisi, tidak justru menenggelamkan kekuatan musik itu sendiri.
Saat di atas panggung mau tak mau kita harus mematuhi hukum panggung. Lampu, kostum, koreografi, dan blocking memang penting. Harus pula disiapkan secara cermat dan baik. Tetapi, tentu saja dari semuanya itu yang terpenting ya bagaimana musik puisi tersebut bisa kita perdengarkan dengan baik, sehingga imaji auditif penonton dipuasi.
Seoul, 13 Oktober 2014
Komentar
Posting Komentar