Payung


PAYUNG

                                * demsi danial

bukan payung yang dibutuhkan ketika hujan jatuh, namun cara berteduh. begitu kata senja kepada murung ketika langit dekat kepada mendung. jelas itu bukan perselingkuhan, sebab kedekatan itu telah dirancang waktu. seperti batu dan luka betapa dekatnya. seperti  hidup dan maut begitu akrabnya.

kau pun pasti bertanya tentang cara berteduh. sambil memindahkan payung jauh-jauh. tampias dan kepala basah.  gigil tubuh dan getar bibir. air mengalir mencari liang, menitipkan pesan: nikmatilah. ia pun merasakan pipa-pipa mengalirkan dingin, merambat ke sumsum dan tulang. ia mencoba memisahkan matahari dari siang, dari malam

dengan terguyur dia pun terlindung  dari rasa dingin yang mual. gerak air selancar nafas mengalir. daki dan debu menemukan muara dimana angin menebarkannya jadi rabuk bagi hutan yang tak henti bertunas di kedua bahu dan punggung. begitulah ia, semakin tahu cara berteduh, semakin ngerti hakikat langit dan mendung

bukan payung yang dibutuhkan ketika hujan runtuh, tapi penampang tubuh yang sabar yang senantiasa menjadi rawa-rawa bagi kepiting, bakau, ular, dan akar tunjang. bukankah luka itu niscaya sebagaimana bumi itu penjara namun tak henti disetubuhi hingga lahir hutan di kedua bahu dan punggung. lalu segala buah menemukan kelelawar, tupai, dan burung-burung, sebelum berguguran membangun pohon-pohon baru.

di bawah hujan jatuh
begitulah ia berteduh

                                         seoul, 20 oktober 2014


                                                   Bersama keluarga di City Hall Seoul

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi