MENGAPA AKU GAGAL MENULIS CERPEN?
Tengsoe Tjahjono
Mengapa aku gagal menulis cerpen?
Begitulah pertanyaan yang sering muncul saat seseorang belajar menulis cerpen.
Jawabannya dapat menyangkut persoalan substansi dan persoalan teknis. Pemahaman
dan kemahiran mengenai dua hal tersebut mutlak harus dimiliki oleh seorang
cerpenis.
PERSOALAN
SUBSTANSI
Apa cerpen itu? Cerpen atau cerita
pendek merupakan jenis tulisan narasi fiktif. Kata “pendek” menyangkut beberapa
hal: panjang tulisan terbatas, jumlah tokoh terbatas, alur hanya mengangkat
hal-hal kecil atau sebagian kisah hidup tokoh, segala persoalan tidak harus
tuntas terjawab pada bagian akhir cerita.
Karena serba pendek, maka pemilihan
unsur-unsur cerpen harus amat efektif dan bermakna. Sebagai sebuah teks, cerpen
itu selalu memiliki judul dan paparan cerita. Dalam cerita selalu ada tema,
tokoh, alur, latar, titik kisah, dan kejutan atau tegangan. Semua itu
memerlukan bahasa sebagai media ucap dan sekaligus penanda eksistensi sastra.
Nah, unsur-unsur tersebut harus diolah secara baik dan cermat.
JUDUL
Judul merupakan gerbang pertama memasuki
wilayah teks. Judul bukan sekadar tajuk cerpen, namun ia telah memberikan
sinyal awal tentang apa yang “mungkin” akan terjadi dalam cerpen tersebut. Oleh
karena itu menulis judul bukan hanya berindah-indah saja tetapi harus mampu
mengundang ketertarikan, pertanyaan, dan daya bayang pembaca.
Seno membuat judul cerpennya “Pelajaran
Mengarang”. Membaca judul tersebut terbersit kesan unik karena seperti judul
makalah, membangkitkan pertanyaan: Isinya apa ya? Serta pembaca pun membayangkan
“suatu hal” sesuai dengan tafsirnya. Ada pula judul “Burung-Burung pulang ke
Sarang “ (Harris Effendi Thahar), “Titin Pulang dari Saudi” (Radhar Panca
Dahana), “Arloji Sumiani” (Gde Aryantha Soethama), “Tamu dari Jakarta”
(Jujur Prananto), “Telinga Rustam” (Adek
Alwi), “Bromocorah” (Mochtar Lubis), dan lain-lain. Apa yang Anda bayangkan
setelah membaca judul-judul tersebut.
TEMA
Tema merupakan substansi hal atau
persoalan yang ditulis. Tema itu dirangsang oleh pergumulan pengarang dengan
pengalamannya, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman dari hasil mengindra
dan membaca. Tanpa pergumulan dan pergaulan hidup secara terus-menerus dan
intensif tak mungkin lahir cerpen yang bagus dari penulis.
Banyak topik berserak di sekitar kita.
Pengarang yang baik memiliki kepekaan dan daya kritis menangkap
peristiwa-peristiwa tersebut menjadi sumber ilham bagi cerpennya.
Peristiwa-peristiwa itu boleh jadi peristiwa sederhana, tidak perlu yang besar
dan hebat. Cerpen “Pelajaran Mengarang” karya Seno Gumira Ajidarma ditulis
berdasarkan kebiasaan guru meminta murid-muridnya menulis dengan judul yang
sudah ditentukan. Dalam cerpen tersebut digambarkan seorang anak kecil bernama
Sandra kelas V yang dengan sedih mencoba melakukan refleksi terhadap kehidupan
di rumahnya melalui pelajaran mengarang di kelas. Betapa susah ia mengkonstruksi pengalamannya
mengenai “Keluarga Kami yang Berbahagia”, “Liburan ke Rumah Nenek”, dan “Ibu”.
Dalam cerpen “Sepi” karya Putu Wijaya
digambarkan seorang tokoh bernama Merdeka yang merasa sayang melihat jasad
ayahnya dikubur begitu saja. Maka, ia berkeinginan mencangkok alat vital sang
ayah kepada tubuhnya dengan segala risiko yang akan disandangnya. Cerpen yang
unik walau diilhami dari peristiwa keseharian. Iwan Simatupang dalam cerpen
“Tunggu Aku di Pojok Jalan” berkisah mengenai seorang perempuan yang menunggu
suaminya di pojok jalan, walau bertahun-tahun dilalui si lelaki tak kunjung datang.
Tema bersifat abstrak, peristiwa/pengalaman/topik bersifat konkret. Cerpenis pada umumnya
terinspirasi dari peristimewa/ pengalaman tersebut. Tema yang Anda
miliki bisa saja dikembangkan menjadi cerpen asal saja dikonkretkan ke dalam
peristiwa/pengalaman/topik.
TOKOH
DAN NAMA TOKOH
Tokoh merupakan motor penggerak alur.
Hanya tokoh dengan karakter kuatlah yang mampu menggerakkan alur. Tokoh Merdeka
dalam cerpen “Sepi” adalah pribadi yang disemangati oleh jiwa bebas, tak mau
dikungkung. Tokoh Sandra dalam cerpen “Pelajaran Mengarang” adalah pribadi
kecil yang tersandera oleh kultur prostitusi di tempat ia tinggal.
Pribadi-pribadi dengan persoalan kuat seperti itulah yang akan mampu
menggerakkan alur menjadi unik dan menarik.
Nama tokoh cerpen pun harus dipilih
dengan cermat pula. Mengapa tokoh itu bernama Srintil, Sandra, Merdeka,
Sawitri, Juminten, dan sebagainya tentu bukanlah tanpa alasan. Nama bukan sekadar tanda bahwa seseorang
berbeda dengan orang lain, namun sekaligus menggambarkan karakter, latar sosial,
pemikiran, dan lain-lain.
Bahkan, nama kota, nama tempat, nama
jalan, dan sebagainya harus dipilih yang gayut dengan persoalan dan suasana
yang dikehendaki muncul dalam cerpen. Dengan demikian, seluruh aspek tersebut
mampu membangun bangunan cerita secara utuh dan menarik.
PLOT:
KONFLIK APA?
Plot merupakan rangkaian peristiwa,
lebih tepatnya adalah rangkaian konflik. Tak ada cerpen tanpa konflik. Konflik
tersebut dapat berupa konflik antara manusia dengan manusia,manusia dengan
dirinya sendiri, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Plot tanpa
konflik hanya akan menjadi laporan perjalanan atau laporan pandangan mata.
Dalam cerpen “Rambutnya Juminten” karya
Ratna Indraswari Ibrahim dikisahkan seorang laki-laki Panuwun yang menginginkan
Juminten istrinya berambut panjang seperti rambut Nawang Wulan. Semula Juminten
menolak, tapi karena desakan suami yang meminta ia bersolek untuk suami,
akhirnya rambutnya dipanjangkan. Juminten menjadi cantik, banyak lelaki
mendekatinya. Persoalan pun muncul gara-gara rambut itu. Panuwun pun meminta
Juminten memotong rambutnya pendek-pendek. Juminten tak kuasa menolak walau ia
sudah amat mencintai rambut panjangnya karena ia harus bersolek untuk suaminya.
Nah, konflik yang amat sederhana antara panjang rambut dengan kehidupan pribadi
Juminten.
Kadang-kadang kita cenderun menginginkan
konflik yang hebat, padahal hidup kita sehari-hari pun sudah dipenuhi dengan
konflik-konflik kecil yang berdampak besar pula. Hanya kita kurang peka.
TEGANGAN
DAN KEJUTAN
Pada saat membaca selalu ada horizon
harapan pada diri pembaca. Bagus sekali kalau cerpenis mampu memainkan horizon
harapan pembaca ini sehingga pembaca selalu berada kesadaran bertanya-tanya
saat membaca cerpen dan terkejut ketika dugaannya ternyata tidaklah benar.
Pada cerpen “Pelajaran Mengarang” betapa
susahnya Sandra menulis cerita dengan judul “Keluarga Kami yang Berbahagia” dan
“Liburan ke Rumah Nenek”, akhirnya ia menulis “Ibuku”. Pada ending cerpen
tersebut ditulis sebagai berikut.
Di rumahnya, sambil nonton RCTI, Ibu Guru
Tati yang belum berkeluarga memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah membaca
separo dari tumpukan karangan itu, Ibu Guru tati berkesimpulan, murid-muridnya
mengalami masa kanak-kanak yang indah.
Ia memang belum sampai pada
karangan Sandra, yang hanya berisi kalimat sepotong:Ibuku seorang pelacur ….
Ending cerpen itu penuh kejutan. Boleh
jadi tak terbayangkan sama sekali oleh pembaca.
BAHASA
Bahasa dalam sastra bukan hanya berperan
sebagai alat komunikasi, tetapi sekaligus warna dan karakter karya sastra itu.
Dalam membuat cerpen seringkali kiat terjebak pada keinginan berindah-indah
dalam berbahasa. Dalam penulisan karya sastra keindahan bukanlah tujuan tetapi
dampak dari penataan kalimat secara tepat dan berdaya.
Dalam cerpen “Burung-Burung Pulang ke
Sarang” Harris Effendi Thahar menulis sebagai berikut.
Burung-burung pulang ke sarang, karena
sebentar lagi gelap ‘kan datang. Sisa bukit yang menjulur ke laut masih
kelihatan rimbun seperti sediakala karena memang dijaga kelestariannya untuk
paru-paru kota. Rombongan burung-burung itu umumnya menuju ke sana, di
pepohonan yang rimbun, tempat mereka bersarang. Sisa panas siang hari masih
tersisa di pasir pantai. Tetapi cahaya matahari yang beberapa detik lagi
tenggelam di balik lautan, mulai melembut. Beberapa anak-anak dan orang tuanya
masih bermain ombak, dan berpuluh pasangan perlahan-lahan meninggalkan pantai
di tepi kota itu menghindari gelap yang sebentar lagi tiba.
….
Jika kita perhatikan cerpen di atas
tidak ada kata yang rumit, kata-kata itu adalah kata keseharian yang ditata
secara apik oleh penulis, bahkan ada kesan irama yang sengaja dibangun. Dan
yang tidak kalah penting adalah deskripsi di atas menjadi hidup karena penulis
mampu menulis detail secara lengkap dan dekat. Dari situ dapat diduga bahwa
penulis amat akrab dengan situasi tersebut.Menangkap objek secara detail inilah yang seringkali kurang diperhatikan oleh para pembelajar saat menulis.
Itulah beberapa hal yang membuat kita
gagal menulis cerpen. Karena itu dengan terus menulis kita berupaya memperbaiki
bagian-bagian yang sering muncul sebagai kesalahan saat berproses. Ayo,
terus menulis.
Komentar
Posting Komentar