Teknik Menulis Naskah Drama Anak


TEKNIK MENULIS NASKAH DRAMA ANAK
                                                                          Tengsoe Tjahjono

 
Naskah drama merupakan bagian tidak terpisahkan dari pementasan drama. Pementasan drama modern selalu dimulai dari naskah drama. Pementasan drama merupakan produk tafsir sutradara dan aktor terhadap teks sastra yang berupa naskah drama.

Para komunitas teater sering kali mementaskan drama berdasarkan naskah drama yang sudah ada maupun naskah drama yang ditulis sendiri. Hanya kenyataannya tidak banyak ditemukan naskah drama anak. Oleh karena itu, para guru (kesenian/ bahasa Indonesia) ditantang untuk menulis naskah drama anak manakala naskah drama itu tidak tersedia. Persoalannya uba-rampe apa yang harus dipunyai agar bisa menulis naskah drama dan bagaimana teknik menulisnya.

Hal yang harus diperhatikan pada aktivitas menulis naskah drama anak adalah: (1) bahan, (2) pengolahan ide dan penceritaan, (3) bahasa, dan (4) format penulisan. Mari kita bahas hal-hal tersebut satu persatu.


BAHAN
Menurut Indra Tranggono menciptakan  naskah drama, tidak dapat hanya berangkat dari ruang kosong alias mengandalkan khayalan, ilham dan lainnya. Meskipun bagian dari fiksi, naskah drama merupakan dunia penciptaan yang disangga oleh data, fakta sosial, logika dan imajinasi.  Yang dimaksud data adalah bahan-bahan yang dikisahkan. Fakta sosial adalah kenyataan yang tumbuh dan hidup di masyarakat yang dapat dikenali, dirasakan dan dihayati. Logika adalah jalan pikiran yang dapat diikuti dan dirunut sebab-akibatnya. Sedangkan imajinasi adalah daya fantasi yang menjandikan sebuah karya memiliki jarak estetis dengan realitas, atau karya itu menjelma menjadi jagat estetis, sebuah dunia kemungkinan yang sarat dengan keindahan. Meskipun terkait dengan data dan fakta sosial, namun karya fiksi bukan merupakan “laporan kering dari lapangan”, di mana data dan fakta itu berhenti sebagai unsur yang membeku. Data dan fakta itu harus diposisikan sebagai materi cerita yang diolah, di-create secara maksimal sehingga dapat menarik untuk dikisahkan kepada publik. Untuk itu dibutuhkan kemampuan imajinasi dan kemampuan logika, sehingga karya itu tidak hanya ditopang data dan fakta yang kuat (baca: sosiologis), tetapi juga make sense (logis) dan indah. Sehingga karya itu tidak mengada-ada, karena gagal mengenali realitas sosial yang dikisahkan.


Drama anak harus berangkat dari persoalan dalam hidup anak dalam segala level sosial. Di sinilah sebagai penulis naskah kita ditantang untuk melakukan eksplorasi secara sungguh-sungguh. Anak yang setiap kali pulang ke rumah sehabis bersekolah tidak pernah bertemu dengan kedua orang tuanya, anak pemulung yang menganga memandang es krim yang sedang dikulum seorang anak di sebuah mobil, anak yang tidak memiliki teman karena orang tuanya penarik becak, dan sebagainya adalah fakta-fakta sosial yang mampu memberikan ide bagi kita untuk menulis naskah drama.


MENGOLAH IDE
Bahan yang berupa fakta-fakta sosial tersebut adalah bahan mentah yang mampu merangsang daya kritis dan kreatif penulis, melahirkan ide-ide yang menggerakkan tangan penulis untuk mencipta. Ide apa yang berkembang dalam diri kita saat kita bertemu dengan fakta sosial  seorang anak yang setiap pulang ke rumah sehabis bersekolah selalu tidak bertemu dengan kedua orang tuanya? Mungkin akan berkembang dalam diri kita bahwa anak itu akan SEPI. Apa yang akan dilakukan anak tersebut karena sepi? Bisa saja mulai menyentuh narkoba atau boneka atau buku diary atau mencari sahabat. Banyak kemungkinan memang, maka kita harus menyeleksinya. Narkoba? Mungkin terlalu vulgar, biasa, tidak mendidik, dan tidak unik. Kita pilih saja BONEKA. Anak itu hampir setiap waktu berbicara dengan bonekanya. Akibatnya, ia malah tidak dapat berkomunikasi dengan lingkungannya, bahkan kelihatan asosial, soliter, orang-orang mencapnya tidak waras.


Contoh di atas merupakan ide sosial. Di samping itu ada ide estetik. Misalnya saja apakah drama nanti akan kita visualisasikan dalam bentuk monolog atau drama pada umumnya yang menampilkan beberapa tokoh. Pilihan pendekatan itu akan berpengaruh misalnya pada penggarapan latar, karakter tokoh, dan sebagainya.


Jika kita mengambil bentuk monolog, maka hanya akan kita tampilkan satu protagonis  dalam naskah. Kita bayangkan anak itu duduk di ayunan di taman belakang rumah sambil menggendong boneka di pelukannya. Ia pun bercakap-cakap dengan boneka tersebut. Inilah contoh ide estetik tersebut. Dalam hal ini kita diminta untuk memilik imajinasi yang bagus.


MEMBANGUN KONFLIK
Dalam sebuah narasi atau cerita, tokoh memiliki kedudukan sentral. Karena tokoh maka alur pun bergerak. Tokoh merupakan motor penggerak alur. Kita pun harus memiliki tokoh dengan karakter yang kuat. Siapakah tokoh dalam naskah drama yang akan kita susun berdasarkan ide yang sudah berkembang itu?


Misalnya tokoh itu kita bernama Anjani. Ingat, dalam sebuah karya sastra, nama bukan sekadar tanda, namun ia juga memiliki makna. Anjani berusia 14 tahun, kelas II SMP swasta yang terkenal di kotanya. Ayahnya adalah seorang importir besar, ibunya seorang direktur perusahaan manufaktur besar pula. Gadis itu berwajah cantik, rambutnya sebahu. Namun, wajahnya selalu murung, matanya penuh pandangan kosong. Hanya pada boneka yang dibawanya ia terlihat gembira, berbicara, dan tertawa.


Tokoh dengan karakter kuat seperti itu tanpa kita rancang pun akan membangun  alur sendirinya.  Dan, dalam alur sebuah cerita, konflik merupakan elemen yang amat penting. Tak ada drama tanpa konflik. Dengan karakter seperti itu konflik apa yang akan dialami Anjani? Dan, bagaimana cara tokoh tersebut berjuang untuk menundukkan konflik tersebut.


Misalnya saja konflik batin yang dialami adalah tentang sikapnya terhadap orang tuanya: membenci atau mencintainya; sikapnya terhadap orang-orang di sekitarnya: acuh tak acuh atau terganggu; sikapnya terhadap dirinya sendiri: masih bersemangat atau putus asa, dan sebagainya. hal-hal itu lalu kita kembangkan ke dalam monolog bersama boneka sebagai teman bicara.


BAHASA
Bagaimanakah bahasa yang dipakai dalam penulisan naskah drama? Dalam sebuah teks drama terdapat petunjuk latar, dan kadangkala petunjuk laku, di samping dialog/monolog para tokoh. Dialog/ monolog pada dasarnya bahasa lisan karena itu memakai ragam lisan. Oleh karena itu pemakaian bahasa daerah/ bahasa asing sangat memungkinkan. Dengan memakai ragam seperti itu suasana latar sosial akan mudah diwujudkan.

Sedangkan untuk petunjuk latar atau petunjuk laku adalah bahasa yang mampu mendeskripsikan latar atau adegan secara jelas. Ragam bahasanya pun sangat subjektif, bergantung dari gaya masing-masing penulis naskah drama.

FORMAT PENULISAN
Secara konvensional teks drama selalu berisi bagian yang bernama BABAK, ADEGAN, dan DIALOG.  Babak ditandai dengan perubahan latar, adegan ditandai dengan perubahan topik dialog/ monolog atau jumlah tokoh di atas panggung. Lalu, pada masing-masing adegan tersebut tergelar kejadian yang dilukiskan melalui dialog.

Namun, secara modern, seringkali drama ditulis mirip cerpen, tanpa petunjuk latar dan petunjuk laku. Babak dan adegan pun tidak dinyatakan secara eksplisit. Semua bergantung pada penafsiran sutradara atau aktor yang membaca naskah tersebut.

Begitulah, penjelasan serba pendek tentang teknik menulis naskah drama. Semoga bermanfaat.

                                                                                       Malang, 28 Februari 2012

 

 

Drama Pendek

ANJANI

Tengsoe Tjahjono

 Sore hari. Menjelang jam tiga. Langit senjakala. Taman belakang rumah. Bunga mekar di sana-sini. Anjani, seorang gadis sekitar 14 tahunan, duduk di ayunan. Sesaat dia berayun pelan, sesaat pula diam membeku. Sebuah boneka erat dipeluknya.

“Orang-orang memanggilku Anjani, tahukah mengapa sebabnya? Tentu kamu tidak tahu. Aku pun hanya tahu bahwa nama itu pemberian orang tuaku. Selama ini aku tidak pernah bertanya mengapa papa memilih nama itu. Dulu memang aku pernah bertanya, namun papa tidak pernah menjawab. Dia selalu tidak memiliki waktu cukup untuk berbincang denganku. Apalagi mama, sampai aku lupa bagaimana wajahnya. Kami selalu berselisih waktu. Dia sampai di rumah saat aku tidur, aku pun berangkat sekolah ketika mama masih mendengkur. Tentu kamu menyangka aku sangat kesepian. Tentu kami kasihan melihat hidupku. Tentu kamu bergumam ‘sedih benar kamu anak malang’. Tentu kamu berniat untuk menghiburku. Terima kasih Ribka. Hanya kamu yang mengerti aku.”

Terdengar guntur di langit. Kelam.

“Kamu dengar guntur itu? Ya, benar, tampaknya sore akan hujan. Dulu aku pernah berpikir di mana papa dan mama hujan-hujan begini. Bahkan, aku merasa kasihan membayangkan mama-papa kehujanan mencari nafkah untuk aku. Itu dulu. Ketika keluarga ini belum sekaya sekarang ini. Saat keluargaku masih miskin, betapa eratnya hubungan kami. Erat sekali. Suka duka kami rasakan bersama. Kami saling mencintai. Sekarang, setelah kaya raya, segalanya berubah. Kami semakin berjarak. Tak ada perbincangan, tak ada canda tawa. Segalanya menjadi formal dan kering. Kekayaan telah memisahkan kami satu dengan yang lain. Kadang-kadang aku pengin menjadi kembali miskin.”

Gerimis perlahan turun. Anjani membuka payungnya. Ayunan masih berayun.

“Kuharapkan kamu tidak kedinginan. Temani aku di bawah payung ini. Sungguh, aku bosan di dalam kamarku. Sangkar emas tanpa jiwa. Aku ingin di sini. Bersamamu, bersama gerimis, bersama dingin, bersama bunga-bunga. Justru di sini aku merasa hangat. Kehangatan cinta yang sebenarnya. Di antara papa dan mama, cinta hanyalah kata-kata. Kini aku tidak pernah merasakannya. Aku ingin menari di bawah gerimis, dilindungi payung dan cinta dari kamu, dari langit, dari bunga-bunga, dari becek tanah, dari dingin yang menggigilkan tubuhku.”

Anjani menari. Mengalun bersama angin. Payung berkelebatan di udara. Gerimis.

“Ayo, menari. Gerakkan tanganmu. Ikuti irama gerimis. Ikuti alunan angin. Biarkan aku nikmati hidupku dengan tarian. Lihatlah kakiku ringan menapaki basah tanah. Lihatlah jemariku sejuk menyentuh ujung gerimis. Apa katamu? Kamu capek menari? Bukankah kamu yang justru memberi semangat aku untuk melawan sepi dengan menari. Menari agar hidupku masih berarti. Oh, ya, memang papa kelihatan pulang. Tapi ia pasti tidak mencari aku. Papa sudah terbiasa tanpa aku. Papa tidak akan mengkhawatirkan aku. Bukankah aku akan baik-baik saja? Pasti sekarang pasti di depan tv, menonton berita sambil tertidur. Papa pun tidak mungkin menunggu mama. Mereka sudah saling memaafkan karena tidak bisa sering berjumpa. Ayo, menarilah bersama aku. Ayo menari.”

Anjani terus menari. Kakinya ringan melayang. Sebelum tubuhnya rubuh, telungkup di bangku ayunan. Payung menutup kepala. Tangannya erat memegang boneka.

 

SELESAI

 
 

Drama Pendek

ANJANI

Tengsoe Tjahjono

 

Adegan 1

Seorang anak perempuan. Sekitar 14 tahunan. Duduk di ayunan bersama sebuah boneka di pelukannya. Rambutnya tergerai tertiup angin saat ayunan berayun lembut. Hanya tampak punggung. Langit mendung. Senandung.

 

Adegan 2

Beberapa anak sebaya memandang jauh dari balik pagar. Kepala mereka timbul tenggelam. Pakaian mereka sederhana. Mungkin anak pemulung. Mungkin pengamen. Bahkan, mungkin pengemis.

 

Anak:

Kasihan anak itu.

Anak:

Dengarkan dia bersenandung.

Anak:

Senandung sedih.

Anak:

Mengapa sedih?

Anak:

Dia kesepian.

Anak:

Karena apa?

Anak:

Hidup sendiri.

Anak:

Siapa bilang sendiri? Aku lihat ayahnya tiap pagi keluar dengan sedan bagus sekali.

Anak:

Aku juga pernah lihat ibunya. Pergi juga dengan mobil pribadi.

Anak:

Nah, itu artinya hidup sendiri.

Anak:

Enak kita, ya. Selalu bersama. Sebagai satu keluarga.

Anak:

Ya, keluarga. Kita punya keluarga.

Anak:

Ya, kita punya cinta. Punya cinta.

Anak:

Bagaimana kalau kita berikan cinta pada gadis itu?

Anak:

Bagaimana caranya?

Anak:

Jangan-jangan kita ditolaknya. Lihat pakaian kita?

Anak:

Gembel. Kita gembel.

Anak:

Tapi gembel yang memiliki cinta.

Anak:

Bagaimanapun kita harus memberikan cinta kita?

Anak:

Kalau gitu kamu saja yang ke sana?

Anak:

Nggak, ah. Ini adalah proyek bersama. Mari kita maju bersama.

Anak:

Ayo.

 

Adegan 3

Anak-anak itu saling memegang punggung temannya, berjalan beriring bagai ular panjang. Melingkar-lingkar sebelum sampai ke dekat gadis dalam ayunan itu.

 

Anak:

Ssttt, jangan dekat-dekat dulu. Lihat gadis itu sedang berbincang dengan bonekanya.

Anak:

Dia perlu teman bicara.

Anak:

Dia kesepian.

Anak:

Kita harus menjadi teman.

Anak:

Teman bicara.

Anak:

Teman bercanda.

 

Anak-anak itu mendekat. Membentuk tapal kuda di punggung gadis itu. Lalu bersama-sama berucap: “Selamat sore, Bidadari Manis.”

 

Adegan 4

Gadis itu terperanjat. Berdiri sambil menoleh. Wajahnya muram dan kuyu.

 

Gadis:

Selamat sore. Siapa kalian?

Anak:

Kami ingin jadi temanmu. Bolehkah?

Gadis:

Oh, tentu boleh. Boleh. Ini adalah anugerah yang dikirimkan Tuhan padaku. Aku sungguh memerlukan teman. Namaku Anjani.

Anak-anak:

A n j a n i…..

(Bertepuk tangan)

Gadis:

Boleh aku ikut kalian? Ajak aku kemana saja. Aku bosan di penjara ini.

Anak:

Rumahmu di sini, Anjani. Kamu tidak perlu meninggalkan tempat ini.

Gadis:

Ini bukan rumah. Ini penjara. Kering tanpa jiwa.

Anak:

Berarti kamu salah memandang. Salah merasakan.

Gadis:

Aku tidak salah merasakan. Aku mengalaminya tiap hari. Hidup dalam kelimpahan, namun tanpa jiwa. Cinta hanya kata-kata. Prakteknya kering, di sini tidak ada saling sapa.

Anak:

Kamu harus mendoakan ayah-ibumu.

Gadis:

Dan syukuri apa yang aku terima. Nasihat itu sudah sering aku dengar. Bahkan dari mama-papaku sendiri. tapi, aku tetap kesepian.

Anak:

Kami berjanji tiap hari akan ke taman ini. Menemanimu membunuh sepi.

Gadis:

Baiklah. Temani aku menari. Ayo, menari. Gerakkan tanganmu.  Ikuti alunan angin. Biarkan aku nikmati hidupku dengan tarian. Lihatlah kakiku ringan menapaki basah tanah. Lihatlah jemariku sejuk menyentuh daun gugur.

 

Anak:

Ayo. Kita menari bersama. Menari bersama Anjani.

 

Gadis:

Apa katamu? Kamu capek menari? Bukankah kamu datang untuk memberi semangat aku untuk melawan sepi dengan menari. Menari agar hidupku masih berarti. Oh, ya, memang papa kelihatan pulang. Tapi ia pasti tidak mencari aku. Papa sudah terbiasa tanpa aku. Papa tidak akan mengkhawatirkan aku. Bukankah aku akan baik-baik saja? Pasti sekarang pasti di depan tv, menonton berita sambil tertidur. Papa pun tidak mungkin menunggu mama. Mereka sudah saling memaafkan karena tidak bisa sering berjumpa. Ayo, menarilah bersama aku. Ayo menari.

 

Adegan 5

Anjani terus menari. Kakinya ringan melayang. Sebelum tubuhnya rubuh, telungkup di bangku ayunan. Payung menutup kepala. Tangannya erat memegang boneka. Anak-anak riuh rendah tengadah ke angkasa.

 

 

SELESAI

 
Di Museum Seoul Station

Komentar

  1. Mohon izin untuk saya gunakan sebagai bahan pembelajaran.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi