HAKIKAT  SASTRA

Tengsoe Tjahjono

 
/1/
Apa itu karya sastra? Begitulah seseorang bertanya kepada saya melalui inbox di akun FB saya. Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Merumuskan sebuah teks sebagai karya sastra tidaklah gampang. Mengapa demikian? Karena dewasa ini batas-batas antara sastra dan bukan sastra sangatlah tipis.

Saat melintas di jalan kita bertemu dengan kain rentang bertuliskan: Kecipir mrambat nok pinggir kali/ Wetan desa akeh wit klapa// Sampeyan  nyopir sing ati-ati/ Lek sembrana bakal cilaka. Itu merupakan tulisan yang berisi pesan kepolisian kepada para pengendara di jalan. Sastrakah yang demikian?  Tulisan di kain rentang itu jelas memakai pola kidungan atau pantun. Dia patuh sekali pada ketentuan penulisan pantun. Bahasanya juga sangat memperhatikan irama. Ada tema dan pesan di dalamnya. Serta yang tidak kalah pentingnya tulisan itu ditujukan pada publik pembaca yang sangat luas. Tulisan itu memakai bahasa sastra. Namun, apakah sastra hanya dipakai sebagai alat komunikasi? Tentu, tidak mudah itu menjawabnya.

Seorang pemuda menulis surat kepada gadis idamannya dengan bahasa yang berbunga-bunga. Sastrakah yang demikian? Jika dilihat dari aspek bahasa yang digunakan terlihat memakai gaya sastra. Namun, pembaca surat adalah pembaca yang sangat personal, bukan publik luas. Padahal, seharusnya sastra ditulis bukan hanya semata-mata untuk seseorang saja. Dan, surat hanya memiliki fungsi komunikasi personal dan terbatas.

Sebuah teks disebut sastra bila: (1) memakai bahasa yang khas, estetik, (2) imajinatif, sebuah dunia baru, dunia simbol, (3) interpretatif, (4) mengandung amanat tersirat maupun tersurat , dan (5) memiliki pembaca yang luas. 

/2/
Sastra bersifat imajinatif. Imajinasi bukanlah daya khayal, bukan pula fantasi. Sastra ditulis berdasarkan inspirasi yang lahir karena persinggungan sastrawan dengan dunia sekitarnya. Sastra bukan berangkat dari kekosongan.

Imajinasi berarti kemampuan pengarang dalam menata dan menjahit mozaik atau perca-perca pengalaman menjadi sebuah teks yang utuh dan padu. Sastrawan yang tidak memiliki pengetahuan dunia yang cukup tidak mungkin memiliki inspirasi untuk menulis. Inspirasi tidak datang dari langit, inspirasi lahir dari keterlibatan pengarang dengan dunia nyata.

Pengalaman itu diperoleh dari: (1) banyak membaca, (2) banyak menulis, (3) banyak mengamati, dan (4) banyak terlibat dengan kehidupan. Tanpa itu semua tidak mungkin rasanya seseorang menjadi pengarang besar.

/3/
Binatang apakah sastra itu? Jawaban dari pertanyaan ini sudah sering kita baca. Yang perlu saya tegaskan adalah bahwa sastra itu bukan sekadar produk estetika, tetapi juga produk pemikiran. Sastra bukan semata-mata rangkaian kata indah, tetapi juga gudang gagasan para kreatornya. Bisa jadi saat membaca kita tidak mampu menangkap keindahannya, tetapi justru mampu menangkap pesan dan amanatnya. Atau sebaliknya.

Karena sastra mengandung gagasan atau pemikiran, sastra memiliki daya gugah atau pengaruh bagi pembacanya. Dalam cerpen “Sepi” karya Putu Wijaya pembaca diajak bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan, apa pun wujud, bentuk, dan mutu nikmat itu. Dalam cerpen “Tunggu Aku di Pojok Jalan itu” karya Iwan Simatupang, pembaca diajak memahami makna kesetiaan secara benar dan bijaksana. Dalam puisi “Seonggok Jagung di Kamar” karya Rendra kita diajak merenungkan model pendidikan yang justru membuat anak didik asing dengan persoalan dirinya. Dalam drama “Sumur Tanpa Dasar” karya Arifin C. Noer pembaca diajak mengamati konflik psikologis saat berhadapan dengan dunia yang serba tidak dapat diduga.

Sastra berbicara tentang manusia. Itu artinya sastra sesungguhnya membicarakan diri kita. Hal itulah yang menarik. Sastra bisa hadir sebagai cermin bagi kita. Dalam sastra kita dapat membaca wajah kita yang bopeng-bopeng, atau halus mengkilat, atau kuyu oleh deraan waktu. Sastra juga bisa hadir sebagai jendela. Melalui jendela kita dapat melihat dunia lain, pengalaman baru, cakrawala yang memperkaya. Pengalaman itu mungkin saja pengalaman yang mengharukan, yang tragis, atau yang lucu.

Belajar tentang agama, filsafat, budaya, pendidikan, sosio-politik, hukum, tradisi, dan sebagainya dapat dilakukan dengan cara membaca sastra. Kita akan mudah menyerapnya karena sastra dikemas tidak secara akademik, tetapi mengalun berirama seperti dalam puisi, melalui konflik para tokoh dalam cerpen, novel, atau drama. Kesadaran kritis kita digugah, cakrawala pengetahuan kita diperluas dengan cara yang indah dan menyenangkan.

Nah, dengan mengenali kekhasan sastra dan tahu nilai manfaat membaca sastra, insya allah kita terbuka untuk membangun budaya membaca sastra dalam diri kita. Dari situlah CINTA itu bersemi dan tumbuh. Tugas  kita berikutnya adalah  setia memupuknya. Bukan hanya itu, karena CINTA kita termotivasi untuk mengenalkan dan menebarkan virus sastra kepada yang lain.

Apa manfaat sastra bagi manusia? Pujangga besar Yunani, Horatius dalam bukunya Ars Poetica menyatakan bahwa tujuan penyair menulis sajak adalah menghibur dan berguna (dulce et utile). Kata dulce artinya manis, menghibur, memberikan kesenangan; sedangkan utile berarti memberikan sesuatu manfaat. Persoalannya adalah karya sastra itu menghibur terlebih dahulu lalu berguna, atau berguna lalu menghibur. Atau, bukan untuk kedua-duanya.

Yang jelas setiap sastrawan dalam menulis tentu memiliki tujuan. Entah tujuan itu diarahkan kepada dirinya sendiri, maupun kepada pembaca. Tujuan sastra ditulis itu bermacam-macam. Oleh karena itu, fungsinya pun bermacam. Sastra itu memiliki fungsi rekreatif, yaitu berfungsi memberikan hiburan atau kesenangan kepada sastrawan dan penikmatnya.  Sastra juga memiliki fungsi didaktik, yaitu memberikan nilai-nilai pendidikan bagi penikmatnya. Baik itu pendidikan religius, moral, sosial, politik, dan sebagainya. Di samping itu sastra memiliki fungsi estetis, yaitu memberikan keindahan bagi pembacanya. Dengan keindahan itu pembaca dibawa ke dalam suasana yang menyenangkan dan membahagiakan. Dan, acapkali sastra juga memiliki fungsi terapi, terutama terapi jiwa. Dalam hal ini, sastra berfungsi membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi, yang oleh Aristoteles disebut dengan katarsis (catharsis); pelepasan jiwa dari tekanan-tekanan emosi.

/4/
Apa manfaat membaca sastra bagi kita?  Pertanyaan yang mendasar seperti ini sering muncul saat seseorang tergoda untuk berkenalan dengan sastra. Manfaat membaca sastra kurang lebih sebagai berikut.

  1. akrab dengan teks sastra melalui aktivitas penikmatan
  2. memperluas wawasan pengetahuan
  3. memperhalus budi pekerti
  4. meningkatkan kemampuan berbahasa
  5. menghargai dan membanggakan bahasa dan sastra Indonesia yang berujung pada cinta bahasa, bangsa, dan tanah air Indonesia, serta
  6. memahami khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

/5/
Sesungguhnya, ada banyak ragam sastra. Namun, secara garis besar ada 3 ragam sastra, yaitu: puisi, prosa fiksi, dan (teks) drama. Dari segi subtansi isi ketiga jenis sastra itu tidaklah berbeda. Ketiga-tiganya mengangkat persoalan manusia dan problema kehidupannya. Yang membedakan ketiganya adalah bentuk ungkapnya.

Secara umum puisi cenderung monolog, penyair menyapa langsung pembaca melalui ‘aku lirik’ dalam puisinya. Bahasanya cenderung singkat, padat, mantap, penuh irama, dan sarat makna. Sedangkan prosa cenderung naratif. Teks prosa tidak bisa meninggalkan unsur tema, alur, tokoh, dan latar. Sedangkan (teks) drama pada umumnya berbentuk dialog, dan belumlah lengkap jika belum dipentaskan. (Teks) drama ditulis rata-rata memang untuk dipentaskan.

Demikianlah, uraian sekilas mengenai hakikat sastra, fungsi, dan ragamnya. Semoga uraian sederhana ini mampu memberikan inspirasi bagi kita untuk semakin terdorong mengenalkan sastra kepada siapa saja, karena di dalam karya sastra dijumpai banyak nilai yang berfungsi membangun karakter bangsa.

Semoga.

Seoul, 11 Oktober 2014

 
Abia Kana, Maruto, Tengsoe Tjahjono, Arief, dan Antok Yunus saat pengenalan album "Sengaja Lupa", Dirgantara-Malang, 3 Mei 2013 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi