Puisi yang Terus Ditulis

PUISI YANG TERUS DITULIS
Oleh Tengsoe Tjahjono

hanya sebongkah kuasah
menjadi kupu-kupu
sayapnya patah
melukai mata bocah
musim telah berubah
kini batu menjadi buah
(TANDA- Widodo Basuki )


Dalam berbagai peristiwa lomba sastra yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Jawa Timur kehadiran para dewan juri atau dewan pengamat mutlak diperlukan. Para dewan juri tersebut bukan hanya berkutat pada persoalan menilai para peserta yang sedang berlomba, namun sekaligus melakukan silaturahmi dengan sesama juri itu. Dalam pertemuan yang berlangsung di saat-saat istirahat seringkali muncul spirit untuk merajut karya bersama. Maka, tak jarang lahirlah beberapa karya antologi.

Aming Aminoedhin, Ayomi Tyas Wening, Bagus Putu Parto, Herry Lamongan, Ida nurul Chasanah, Jack Parmin, Lennon Machali, R. Djoko Prakoso, R. Giryadi, Tengsoe Tjahjono, Tjahjono Widarmanto, dan Widodo Basuki kali ini menerbitkan sebuah antologi puisi yang diberi tajuk “Dendang Kecil Jalan Sunyi”. Sebagaimana sebuah dendang, mereka ini ingin bernyanyi, menyanyikan tafsir kritis mereka terhadap realitas yang mereka jumpai dalam hidup mereka sehari-hari.

Seperti yang diungkapkanWidodo Basuki di awal tulisan ini bahwa puisi itu pada hakikatnya ialah tanda. Tanda itu bisa berarti sasmita atau isyarat akan terjadinya suatu peristiwa. Puisi bukan hanya menuliskan masa lalu dan masa kini, namun mampu pula membaca tanda-tanda zaman: meramalkan yang akan terjadi. Puisi hanya sebongkah kata yang diasah menjadi kupu-kupu. Sesuatu yang sederhana yang diolah menjadi ekspresi luar biasa.

Dan, puisi-puisi para penyair yang tergabung dalam antologi ini adalah batu yang mampu melahirkan buah, kekuatan kata-kata yang mampu mengubah, mampu memberikan daya gugah.

Mari kita simak puisi Herry Lamongan berikut ini.

DENDANG KECIL

: kepada istri
anak-anak tidak balik ke rumah
pada jam-jam pulang sekolah
pada malam-malam usai siang yang tergesa
juga saat liburan yang tak seberapa

tiada terkata dalam hitungan
sudah berapa lama mereka pergi dewasa, jauh
berguru atau menikah
mereka lepas masa kecil yang bersahaja
meninggalkan dongengmu sebelum pulas
lalu menulis sejarahnya sendiri
di lembar kusut pakeliran masa depan

seperti kata Gibran, anak-anak
bisa engkau bikinkan rumah tubuhnya
tetapi tidak bagi jiwanya

 karenanya anak-anak pergi dari hangat pelukanmu
membiar kita berdua kembali
membasuh umur kian kusam tanpa mereka

ya, selusin sajak engkau lahirkan
selusin pula meninggalkan rumah ini
diam termangu digergaji sepi

(Herry Lamongan, 2015)

Dalam puisi “Dendang Kecil” tersebut Herry Lamongan menuliskan perihal relasi anak dan orang tuanya. Anak-anak yang lahir, tumbuh besar, dan dewasa di tengah-tengah asuhan orang tua, pada akhirnya pasti pergi untuk belajar atau bekerja. Hal seperti itu sudah lumrah terjadi sebagai hukum alam.

Demikian pula puisi. Puisi lahir dari daya kritis penyair ketika bertemu dengan segala macam peristiwa dan fenomena. Puisi merupakan tafsir penyair atas kehidupan. Puisi sebagai anak penyair tak pelak akan membawa citra penyair ke dalam tubuh dan jiwa teks puisi. Oleh karena itu, ada relasi resiprokal antara penyair dan puisi yang ditulisnya. Hal tersebut sangat jelas terbaca pada puisi-puisi karya 12 penyair yang sering jadi juri lomba sastra ini.

Namun, ketika puisi selesai ditulis, penyair mau tak mau harus ikhlas berpisah dengannya. Puisi tak bisa lagi menjadi miliknya sepanjang masa. Puisi harus menjadi milik publik. Puisi akan berbaur dengan massa pembaca, lalu berdialog di antara mereka. Ini merupakan hakikat puisi yang lain. Dengan sangat tepat Herry Lamongan pun menulis: ya, selusin sajak engkau lahirkan/
selusin pula meninggalkan rumah ini/ diam termangu digergaji sepi. Bisa saja puisi menjadi sangat sepi ketika tak dijumpainya pembaca dalam dunia di luar diri penyair.

Walaupun puisi diam termangu digergaji sepi, puisi tetap terus ditulis. Sebab, melalui puisi penyair bisa berlatih daya peka sosial dan daya kritisnya, belajar membaca dan mencatat peristiwa-peristiwa, mengawetkan nilai-nilai yang ada dan tumbuh dalam kehidupan manusia, dan sebagainya. Ayomi Tyas Wening pun menulis: ajari aku mengeja aksara/ a-y-o-m-i t-y-a-s w-e-n-i-n-g / ayomi di hati, ayomi di jiwa, ayomi di raga/  wening di hati, wening di jiwa, wening di raga/ ajari aku membaca bahasa/ ajari aku membaca dunia.

Belajar mengeja aksara berarti belajar menyusun artikulasi atas kegelisahan dan sikap kritis saat bersemuka dengan persoalan. Tak mudah memang sebab artikulasi memerlukan taktik dan kejujuran yang seringkali bertolak belakang. Puisi yang baik selalu lahir dari jiwa yang jujur, hati bersih, batin hening, dan niat yang baik. Dengan puisi kita diajak untuk bisa membaca peristiwa atau fenomena dengan lebih bijak dan lebih benar.

Buku Puisi "Dendsang Kecil Jalan Sunyi"


Bisa saja puisi sekadar mencatat kisah waktu (“Kukirim Sajak Buatmu”-Jack Parmin),  pembawa berkah sebagaimana sebuah doa (“Aku Baca Puisi Sunan Giri”-Lennon Machali), hiburan (“dari Siti”-R. Djoko Prakoso), gemuruh hati (“Tentang Kemarau”-R.Giryadi), atau bahkan pembakar semangat (“Dendang Abu Nawas”-Bagus Putu Parto). Banyak yang bisa ditulis dan disuarakan melalui puisi. Syaratnya hanya satu: kejujuran. Seperti yang dinyatakan oleh Aming Aminoedhin dalam puisinya “Malam Sunyi Ini” bahwa: lantaran puisi ini hanya suara hati/ dengar, sekali lagi dengarkan!

Puisi lahir dari suasana jiwa yang hening. Penyair bisa jadi mirip-mirip pertapa yang memperoleh wahyu dengan mengosongkan diri dari godaan duniawi. Puisi pun hendaknya bebas dari penjajahan kepentingan, misalnya pengaruh rasa benci, dendam, marah, dan sebagainya. Puisi adalah tempat cinta ditumbuhkan, juga simpati dan empati.

Puisi bisa menjadi persembahan yang indah bagi Tuhan. Pada akhirnya setiap puisi yang ditulis, penyair harus mempertanggungjawabkannya kepada Sang Maha Pencipta. Dan, ini tugas yang sungguh tidak mudah. Tampaknya ke-12 penyair yang tergabung dalam proyek antologi ini menyadari hal tersebut.

Begitulah puisi terus ditulis, bukan sekadar sebagai catatan, namun sebagai daya gugah untuk menyadarkan manusia akan keberadaannya sebagai makhluk pribadi, sosial, dan ciptaan Tuhan yang tak berdaya. Tulisan ini akan saya tutup dengan penggalan puisi Widodo Basuki “Sesaji Puisi”. Inilah doa, inilah harapan.

kukirim sekumpulan puisi
sebagai sesaji
permohonan pada yang mbaureksa hidup
agar rejeki tak pernah redup
sesaji pada sangkan paraning dumadi
agar hidup penuh eksistensi
...


Malang, 13 Agustus 2015

Bersama Sosiawan Leak, Antok Yunus, Aming Aminoedhin, Rakhmat Giryadi,
dan  beberapa penyair lain di rumah Bagus Putu Parto Blitar

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi