Antara Minat Baca dan Selera Baca
ANTARA MINAT BACA DAN SELERA BACA
Oleh Tengsoe Tjahjono
Membaca merupakan salah satu kegiatan bahasa yang amat
vital dalam masyarakat modern dan lebih-lebih di kalangan akademisi. Dalam
masyarakat setiap hari puluhan koran, majalah, bahkan buku-buku selalu
diproduksi dan dipasarkan. Di dalam semua jenis media itu akan dijumpai
informasi mengenai pengetahuan, berita, lapangan pekerjaan, iklan, dan
sebagainya, yang mau tak mau harus diserap oleh masyarakat modern tersebut.
Kecuali, jika masyarakat modern tersebut, hanya modern dalam dimensi waktu,
bukan modern dalam dimensi kultural. Membaca, seharusnya, menjadi kebutuhan
hidup masyarakat ini.
Rosidi (1983:86) menegaskan bahwa pengetahuan sebagian
besar tidaklah didapatkan dari bangku sekolah, melainkan melalui buku. Banyak
orang mengatakan bahwa buku itu sesungguhnya merupakan universitas yang paling
baik. Sedangkan di kalangan akademisi membaca menjadi jantung kehidupan mereka.
Informasi yang diberikan guru atau dosen tentu amat terbatas. Untuk memperluas
cakrawala akademik mereka buku merupakan sarana yang mesti diakrabi. Tanpa
membaca buku seorang akademisi akan berjalan di lorong gelap. Analisis yang
mereka lakukan terhadap segala persoalan hanya akan bersifat intuitif tanpa
teori yang telah diuji kebenarannya melalui pelbagai penelitian. Akibatnya
pembahasannya hanya akan seperti orang berbincang di warung kopi atau di tengah
padang penggembalaan. Acapkali terjadi ‘debat kusir’ karena masing-masing
pribadi hanya akan menonjolkan subjektivitas intuisinya. Hal itu disebabkan
tidak adanya referensi yang mendukung atau menunjang kajiannya. Di situlah
kegiatan membaca diperlukan oleh para akademisi.
Finochiaro dan Bonomo (1973:21) menjelaskan bahwa membaca
berarti mengambil atau memahami arti dari bahan cetakan atau tulisan. Karena
itulah membaca memang memerlukan persyaratan tertentu bagi pembaca agar ia
dapat memahami makna tersebut. Menurut Nurhadi (1987:123) untuk memperlancar
proses membaca, seorang pembaca harus memiliki modal: (1) pengetahuan dan pengalaman,
(2) kemampuan berbahasa (kebahasaan), (3) pengetahuan tentang teknik membaca,
dan (4) tujuan membaca.
Ada satu batasan membaca yang amat komprehensif yaitu:
“Membaca adalah proses pengolahan bacaan secara kritis-kreatif yang dilakukan
dengan tujuan memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh tentang bacaan itu,
dan penilaian terhadap keadaan, nilai, fungsi, dan dampak bacaan itu.” (Oka,
1983:17). Oleh karena itu membaca bukan sekadar ‘melafalkan huruf-huruf’,
tetapi lebih pada kegiatan jiwa untuk mengolah apa yang kita baca. Mengolah
dalam arti kita tidak harus menyerap begitu saja isi bacaan tersebut. Kita
dituntut memiliki sikap kritis-kreatif. Jadi kita harus menerima secara
kritis-kreatif apa yang kita baca. Kita harus memikirkan nilai apa yang
terkandung dalam bacaan, apa fungsinya, dan yang terpenting apa dampaknya bagi
diri sendiri dan bagi masyarakat pembaca secara luas.
Menurut Smith (1973:36) membaca bukan semata-mata proses
visual. Ada dua macam informasi yang terlibat dalam kegiatan membaca. Pertama,
informasi yang datang dari depan mata. Kedua, informasi yang terdapat di
belakang mata. Informasi yang terdapat di depan mata ialah huruf-huruf.
Sedangkan, informasi yang terdapat di belakang mata ialah isi dan pesan yang
terkandung dalam bacaan itu. Memahami isi bacaan itu menuntut pembaca untuk
memiliki kemampuan berpikir dan bernalar. Edward L. Thorndike pun mengatakan
bahwa reading as thingking dan reading as reasoning.
Sudahkah Kita
Membaca?
Selama ini selalu ada pernyataan bahwa kita belum
mempunyai budaya baca. Atau, dengan kata lain minat baca kita rendah. Benarkah
demikian?
Ketika saya berjalan-jalan di toko-toko buku, entah di
Gramedia, Togamas, atau lainnya, selalu saya lihat berjubel orang di sana.
Berjubel untuk memilih dan membeli buku. Anak-anak, remaja, dan kelompok usia
dewasa ada yang mengerumuni buku-buku komik terjemahan dari Jepang juga
novel-novel anak muda. Saat berada di dalam bus, kereta api, atau pun pesawat
udara, acapkali kulihat banyak penumpang yang membaca di tempat duduknya.
Panorama itu sekilas membuktikan bahwa minat membaca buku sudah ada.
Bahkan, jika kita sempat anjangsana ke
perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi, kita juga akan melihat para
mahasiswa yang hilir-mudik mencari buku di rak-rak. Sementara, di meja-meja
baca pun terlihat mahasiswa sedang suntuk menghadapi beberapa buku. Fenomena
itu sepintas menunjukkan bahwa di kalangan mahasiswa pun membaca buku sudah
menjadi kebutuhan.
Tetapi, benarkah itu merupakan indikasi bahwa minat baca
telah tumbuh di antara mereka? Tampaknya kita harus secara kritis
menanggapinya.
Jika kita perhatikan secara cermat yang banyak dikerumuni
orang di dalam toko buku itu ialah gerai komik dan novel-novel teenage.
Anehnya, segala umur terdapat dalam kerumunan itu. Komik dan novel teenage
telah menjadi booming sekarang ini. Pembaca Doraemon, Sinchan, Detektif Conan,
dan sebagainya bukan anak-anak atau remaja saja, mahasiswa pun tampak
keranjingan dengan bacaan jenis itu. Hal itu tentu merupakan fenomena yang unik
dan menarik di Indonesia.
Jadi, jika kita bicara mengenai minat baca, minat baca
telah tumbuh di antara mereka. Tetapi, bagaimana dengan selera baca mereka?
Selera baca tampaknya berjalan dengan trend bacaan yang ada. Artinya, pembaca
kita dalam memilih bacaan bagai memilih makanan sejenis pizza, fried chicken,
hot dog, dan sebagainya. Tanpa pernah berpikir apakah makanan itu sesuai dengan
anatomi lambungnya yang diciptakan untuk hidup bertahan di daerah tropis. Tanpa
pernah mengkaji apakah gizi yang terkandung dalam makanan itu sesuai dengan
kebutuhan gizi masyarakat kita yang selalu diterpa sinar matahari.
Membaca dapat dianalogikan dengan makan. Makanan yang
kita pilih tentu makanan yang penuh kandungan gizi, mineral, protein, vitamin,
dan sebagainya sehingga mampu menyehatkan kita. Bacaan pun harus mampu
menyehatkan jiwa kita. Bacaan itu setidak-tidaknya harus mampu memperluas
cakrawala pengetahuan kita serta lebih jauh harus bisa mencerdaskan kita
sebagai pembaca.
Fungsi bacaan tentu bukan sekadar untuk menghibur.
Anderson (1972:214) mencatat beberapa tujuan membaca sebagai berikut.
1.
Membaca untuk menemukan rincian atau fakta
(reading for details or facts). Jadi, dalam hal ini membaca bertujuan untuk
memperoleh gambaran objek atau fakta secara rinci dan akurat. Misalnya membaca
perihal keadaan kota Sumenep pada waktu malam minggu.
2.
Membaca untuk menemukan gagasan utama (reading
for main ideas). Dalam hal ini membaca bertujuan untuk memahami gagasan atau
pikiran-pikiran yang disajikan penulis melalui karyanya. Misalnya membaca
artikel yang berjudul “Sudah Siapkah Kita Melaksanakan Pilkada secara
Langsung?” Dengan membaca artikel itu kita berharap menemukan pikiran-pikiran
penulis perihal sisi negatif pilkada secara langsung misalnya.
3.
Membaca untuk mengetahui urutan dan organisasi
sebuah teks tertulis (reading for sequence or organization). Apabila kita akan
membeli buku, sebaiknya kita membaca lebih dahulu daftar isi buku tersebut.
Daftar isi itu merupakan gambaran garis besar buku tersebut. Dari situ akan
terlihat urutan bahan dan sekaligus penataannya. Organisasi berpikir pengarang
akan tercermin oleh daftar isi itu.
4.
Membaca untuk menyimpulkan (reading for
inference). Hal ini bisa kita lakukan manakala kita telah menyelesaikan satu
teks bacaan sampai tuntas. Dalam sebuah buku yang terdiri atas beberapa bab
atau subbab proses inferensi bisa dimulai pada akhir setiap subbab, bab, dan
pada akhirnya setelah kita membaca secara menyeluruh isi buku itu.
5.
Membaca untuk mengelompokkan (reading for
classify). Jika kita bekerja di perpustakaan kita dituntut untuk mengelompokkan
buku secara benar, mana yang buku filsafat, kebudayaan, sains, sejarah, dan
sebagainya. Indikasi pengelompokan itu dapat dilihat dari judul buku atau baru
dapat ditentukan kelompoknya bila kita telah membacanya.
6.
Membaca untuk menilai (reading to evaluate). Hal
ini biasa dilakukan dalam kegiatan meresensi buku. Ketika meresensi buku
seorang peresensi akan membaca dengan tujuan untuk menilai isi, bahasa yang
dipakai buku itu, dan sistematika penyajiannya. Pada akhirnya peresensi akan
memberikan rekomendasi atas dasar hasil penilaiannya terhadap buku itu: apakah
buku itu layak dibaca atau justru tidak usah dibeli, apakah buku itu mengandung
pesan moral yang baik atau justru kebalikannya, dan seterusnya.
7.
Membaca untuk membandingkan atau mencari
perbedaannya (reading to compare or contrast). Dalam setiap bacaan tentu akan
dijumpai banyak hal atau peristiwa. Dalam buku kesehatan misalnya kita harus
bisa menentukan apakah polio itu sejenis penyakit karena virus atau bukan.
Untuk itu kita dituntut membandingkan polio ini dengan penyakit lain dan jika
diperlukan mencari perbedaannya.
Jika kita mencermati tujuan membaca menurut versi
Anderson itu, kita berhak bertanya kepada mahasiswa yang gemar membaca Sinchan:
tujuan yang mana yang hendak digapai? Jawabannya hanya satu: hiburan. Kalau itu
jawabannya maka mahasiswa itu tidak akan pernah dicerdaskan oleh bacaan sejenis
Sinchan tersebut. Gizi apa yang diperolehnya untuk kepentingan jiwanya setelah
membaca Sinchan? Mungkin ia akan mengatakan bahwa gizi akan diperolehnya dari
buku lain, bukan Sinchan. Dengan Sinchan ia hanya ingin dihibur. Tapi, benarkah
ia membaca buku jenis lain?
Memang benar bahwa perpustakaan banyak dikunjungi
mahasiswa. Hanya saja mahasiswa yang berkunjung ke perpustakaan rata-rata
mereka yang sedang mengerjakan tugas makalah dari dosennya atau tugas akhir
berupa skripsi. Untuk menulis skripsi pun mereka membaca skripsi yang sudah
ada, kemudian mengutip beberapa bagian kajian pustaka dan metode penelitian.
Andaikan tidak harus menulis makalah atau skripsi, mereka akan terlihat mojok
memegang HP bersms-ria. Jadi, motivasi yang benar untuk membaca ternyata belum
begitu tampak.
Adakah mahasiswa atau kita secara umum dengan penuh
kesadaran membeli buku untuk memperkaya khazanah pengetahuan kita? Mungkin
jawabannya: ada, tetapi tidak banyak. Dan yang tidak banyak itu akan berkilah
bahwa sekarang ini harga buku mahal. Benarkah mahal? Sebab di sisi yang lain
mereka dapat membeli pulsa telepon seluler 100 ribu rupiah tiap bulan. Hal itu
berarti bahwa penyebab utama bukan pada mahalnya buku tetapi justru pada
motivasi yang tidak ada, serta tampaknya buku belum menjadi prioritas dalam
hidup mereka.
Subsidi Pemerintah
untuk Buku
Peningkatan minat baca memerlukan sarana-prasarana.
Sarana penting dan harus tersedia ialah BUKU itu sendiri. Bagi masyarakat kelas
menengah ke atas, seperti yang saya sebutkan di atas, harga buku tentu bukanlah
alasan. Tetapi, bagi masyarakat kelas menengah ke bawah buku menjadi benda yang
amat mewah. Oleh karena itu, pemerintah harus menyediakan subsidi bagi
pengadaan buku murah tersebut.
Saat saya bersekolah pada tahun 1970-an buku bukanlah
sesuatu yang mempersulit kehidupan keluarga saya. Semua buku pelajaran
disediakan di perpustakaan sekolah, saya tinggal meminjamnya. Sehingga setiap
awal tahun ajaran baru kami tak pernah merasa khawatir mengenai keuangan untuk
membeli buku. Mengapa di masa sekarang ini hal itu tak dapat dilakukan? Bagi
saya ini merupakan sebuah kemunduran.
Di samping buku-buku pelajaran di perpustakaan juga
tersedia buku-buku referensi lain. Misalnya: novel, ensiklopedia, kamus, buku
pengerahuan umum, filsafat, dan sebagainya, yang jumlahnya tidak hanya 1 atau 2
eksemplar, tetapi cukup untuk klas yang beranggotakan 40 siswa. Dengan cara
demikian peningkatan minat baca bukan sekadar slogan kosong tetapi dibarengi
dengan penyediaan sarana-prasarana.
Menurut Rosidi (1983:18) rendahnya minat baca bangsa
Indonesia sekarang ini disebabkan terutama oleh rendahnya daya beli. Rendahnya
daya beli itu disebabkan oleh rendahnya penghasilan umumnya bangsa kita. Oleh
karena itu, jika perlu pemerintah membangun toko buku murah di setiap kota yang
diperuntukkan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah itu.
Peningkatan Minat
Baca
Minat baca itu hendaknya ditumbuhkan sejak anak usia
dini, terutama melalui lembaga pendidikan. Kegemaran membaca bukanlah aktivitas
yang tumbuh dengan sendirinya dalam diri setiap anak. Membaca merupakan
kebiasaan yang harus ditanamkan, dipupuk, dibina, dibimbing, dan diarahkan.
Pembinaan tersebut hendaknya diarahkan bukan hanya pada teknik membacanya
tetapi juga pada pemilihan bahan bacaan. Anak harus dilatih untuk memilih
bacaan dengan memperhitungkan aspek moral, bahasa, dan kesesuaiannya dengan
kebutuhannya.
Luwarsih Pringgoadisurjo (1974) menyebutkan ada 3
klasifikasi buku untuk anak, yaitu: (1) buku referens (buku untuk memperoleh
informasi), (2) buku studi (buku untuk membina pengetahuan), dan (3) buku
rekreasi (buku untuk menikmati dan menghayati pengalaman). Jadi, anak hendaknya
dilatih untuk memilih jenis-jenis buku tersebut yang akan memperluas cakrawala
pengetahuan dan pengalaman mereka.
Kegiatan itu sangat bisa dilakukan di sekolah. Persoalan
yang muncul adalah: (1) tersediakah buku-buku di perpustakaan sekolah secara
memadai, baik secara kualitas maupun kuantitas, dan (2) sudah siapkah guru-guru
(bukan hanya guru Bahasa Indonesia, karena membaca merupakan keharusan setiap
mata pelajaran) mendampingi siswa membaca?
Memang, diakui atau tidak, ada beberapa penghambat
kegiatan peningkatan minat baca ini, antara lain:
1.
Orang dewasa (baik guru maupun orang tua) tidak
menunjukkan kegemaran membaca yang pantas diteladani anak-anak atau siswa.
2.
Kurang tersedianya buku-buku bermutu, bahkan
koran atau majalah, terutama di rumah, yang mendorong anak rindu membaca.
3.
Banyak orang tua menganggap buku bukan merupakan
prioritas penting, sehingga tidak merasa perlu membelinya untuk anak-anaknya.
Peningkatan Selera
Baca
Tak ada salahnya anak-anak membaca Sinchan, Kobo-Chan,
Doraemon, dan sebagainya. Tetapi, orang tua harus mengimbangi minat baca
anak-anak itu dengan menyediakan buku-buku pengetahuan populer (buku
pengetahuan yang ditulis dengan cara sederhana, bahasa yang mudah dipahami
anak, penuh dengan gambar warna-warni, dan sebagainya) yang juga tersedia di
toko-toko buku. Dengan cara demikian, selera baca anak-anak diarahkan ke
pelbagai dimensi baca yang membuat anak diperkaya jiwanya.
Di usia SMP anak-anak di samping komik mulai
diperkenalkan dengan novel-novel teenage. Artinya, anak mulai diajak untuk
berpindah dari wilayah gambar ke wilayah lambang verbal. Hal ini penting sekali
untuk melatih daya abstraksi mereka. Untuk mendapatkan pengetahuan umum anak
sudah diarahkan untuk mampu membaca ensiklopedia secara cepat dan akurat
misalnya. Setahap demi setahap bobot buku yang dibaca anak harus berubah,
sehingga di SMA atau perguruan tinggi mereka tidak lagi kecanduan Sinchan.
Sinchan sudah menjadi masa lalu mereka seharusnya.
Itulah sepintas pemaparan saya mengenai minat baca. Bagi
saya minat baca sebenarnya sudah tumbuh dalam diri kita. Hanya saja minat baca
tersebut tidak diimbangi dengan pertumbuhan selera baca secara benar.
Akibatnya, walau kita sudah membaca, kita tetap tidak dicerdaskan oleh bahan bacaan
kita. Kita harus mau menumbuhkan kesadaran diri memilih bahan bacaan yang
sungguh bergizi.
Di samping itu budaya baca bisa tumbuh bila tersedia
buku-buku bacaan dan perpustakaan. Karena itu, campur tangan pemerintah dalam
bentuk pemberian subsidi terhadap penyediaan buku murah sangat dinantikan.
Tanpa itu semua peningkatan minat baca hanya akan menjadi sebuah utopia.
DAFTAR RUJUKAN
Anderson, Paul S., 1972, Language Skills in Elementary
Education. New York: Macmillan Publishing Inc.
Finnocchiaro, Nary & Michael Bonomo, 1973. The
Foreign Language Learner: A Guide for Teacher. New York: Regents Publishing
Company Inc.
Oka, I Gusti Ngurah, 1983. Pengantar Membaca dan
Pengajarannya. Surabaya: Usaha Nasional.
Rosidi, Ajip, 1983. Pembinaan Minat Baca, Bahasa dan
Sastra. Surabaya: Bina Ilmu.
Smith, Frank, 1973. Psycholinguistics and Reading. New
York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Terima kasih tulisannya sangat bermanfaat bagi saya, yang konsen mengajarkan keterampilan membaca pada anak di bimbel saya. Salam hormat untuk Bapak.
BalasHapus