Pergumulan Legenda, Mitos, Babad

Puisi-puisi Tjahjono Widarmanto:
PERGUMULAN LEGENDA, MITOS, BABAD
Tengsoe Tjahjono

sejarah itu bangun diam-diam.seperti hantu
memberi nafas baru; api yang dulu pernah nyala dalam puisi


Sebuah puisi ternyata bukanlah sebuah teks yang sungguh-sungguh bebas, sungguh-sungguh sebuah ciptaan baru. Puisi bukanlah produk kreasi yang lahir dari tiada lalu menjadi ada. Puisi sebagai sebuah teks, sebenarnya bukanlah teks yang bersih dari kehadiran teks-teks lain. Kehadiran teks-teks lain ke dalam teks puisi merupakan ‘garis hidup’ yang tak terhindarkan.
Suasana seperti itu juga terjadi dalam diri saya saat menziarahi puisi-puisi Tjahjono Widarmanto (TW). Saat saya harus mencebur ke dalam teks-teks puisi yang ditulisnya, saya berhadapan dengan aneka macam teks lain. Jadilah puisi tersebut asing, namun sekaligus hingar bingar.
Maka, seperti yang ditulisnya puisi itu adalah sejarah yang bangun diam-diam. Apa artinya? Sebuah puisi di samping berperan menciptakan sejarah, ia pun menuliskan sejarah. Teks puisi bagaimanapun adalah sebuah sejarah (pemikiran) yang ditulis berdasarkan teks sejarah (hidup dan kehidupan manusia). Dan, yang lebih penting lagi ia mampu memberi nafas baru dari api yang dulu pernah ada. Dari sini terlihat jelas relasi antara masa lalu – masa kini – masa mendatang, antara kenangan – kenyataan – harapan. Pola berpikir seperti itu tentu mengandaikan hadirnya berbagai teks dalam teks. Tampaknya inilah niatan TW dalam menulis puisi.


Legenda, Mitos, Babad
            Puisi TW mengusung tema-tema yang digali dari legenda dan mitos, walau konsep legenda dan mitos dalam konteks kekaryaannya tidak ditafsirkan secara harafiah. Baik legenda dan mitos sesungguhnya merupakan entitas kesadaran komunal yang dipercayai oleh sekelompok manusia. Legenda diciptakan (didasarkan pada keadaan alam tertentu) dan pada akhirnya justru diyakini sebagai sebuah kebenaran. Akhirnya legenda menjadi ritus sosial yang selalu dihidupi dari waktu ke waktu.
            Dalam puisinya “Kitab Legenda” TW menulis “Kutemukan kembali ibuku dengan rambut terurai/ di genggamannya ada empat tangkai daun surga serta sebutir apel/ bisiknya dengan gemetar/ : di sinilah duniamu bermula/ kupungut dari sebuah taman/ yang bunga-bunganya tunduk kelamin cuaca/ yang pada lebatnya tumbuh sebuah kerajaan ular/ hingga kelak seorang lelaki memanjatnya/ menyimpan liur dan lenguhnya di tiap sela dahan!” Membaca teks ini begitu mudah kita diajak untuk masuk ke teks kisah Adam dan Hawa. Relasi metaforis antara ibuku – rambut terurai – daun surga - sebutir apel – di sinilah duniamu bermula – tunduk kelamin – kerajaan ular gamblang sekali menjelaskan kepada pembaca tentang adanya teks lain.
            Frase kitab legenda mengisyaratkan adanya tautan antara yang religius dan yang profan, antara kebenaran langit dan kebenaran bumi. Kisah Adam dan Hawa yang dijumpai dalam kitab suci, baik dalam Alquran maupun Injil.  Dalam Alquran jelas tertulis Adam diberi tempat oleh Allah di surga dan baginya diciptakan Hawa untuk mendampingi, menjadi teman hidup, menghilangkan rasa kesepian, dan melengkapi fitrahnya untuk menghasilkan keturunan. Menurut cerita para ulama, Hawa diciptakan oleh Allah dari salah satu tulang rusuk Adam sebelah kiri sewaktu beliau masih tidur sehingga saat beliau terjaga, Hawa sudah berada di sampingnya. Allah berfirman kepada Adam: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu syurga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah [2]:35). Hal yang serupa juga terdapat dalam Kitab Kejadian. Hawa terbujuk rayuan setan dan memakan buah terlarang yang berdampak kejatuan mereka ke dalam dosa, lalu terusir dari firdaus.
            Jika kita tilik dari fakta tersebut, kisah Adam dan Hawa bukan termasuk legenda. Tentu TW tidak menggunakan pendekatan sesederhana itu. Konsep kreativitas TW sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pola babad. Babad merupakan pertemuan antara sastra dan sejarah. Realitas dalam babad telah menunjukkan wajah baru. Oleh karena itu  babad tidak  mutlak dipandang sebagai dokumen sejarah. Teks babad merupakan kenyataan yang diberi nilai dan makna lewat cerita. Babad selalu membawa kita ke dalam tegangan antara history dan story.
Oleh karena itu, menurut Teeuw (1988),  keobjektifan mutlak dalam babad tidak pernah tercapai karena beberapa hal, yaitu: (1) Fakta – fakta tidak pernah lengkap, selalu fragmentaris; (2) Penulis babad mau tak mau harus berlaku selektif, tidak semua fakta dan data sama penting dan relevennya. Ia harus memilih dan kriteria objektif untuk penyelesaian tidak ada sehingga cenderung menulis apa yang sebaiknya ditulis bukan apa yang seharusnya ditulis; (3) Penulis babad adalah manusia yang memiliki latar belakang, kecenderungan, pendiriannya bersifat subjektif, ditentukan oleh pengalaman, situasi, dan kondisi hidupnya sebagai manusia sosio – budaya pada masa dan masyarakat tertentu.
Membaca kisah Adam dan Hawa dalam teks puisi TW, kita diajak untuk tidak terperangkap ke dalam jejak Adam dan Hawa yang berada dalam teks kitab suci. Seperti yang ditulis TW “di sinilah duniamu bermula”. Mereka adalah mula. Hidup dimulai dari perjumpaan manusia (Adam dan Hawa) dengan setan dan sebuah pohon larangan. Dengan kata lain TW bukan hendak menulis kisah Adam dan Hawa namun menulis peziarahan panjang manusia dalam menjalani hidup di dunia setelah terusir dari firdaus. Hidup manusia adalah legenda, adalah mitos. Persis dengan sifat babad.
Babad memiliki beberapa sifat, antara lain sakral, religius, legendaris (berkaitan dengan alam semesta), mitologis (berhubungan dengan dewa – dewa), hagiografis (mengandung keajaiban yang  berbeda dengan hukum alam), simbolis, dan sugestif. Anasir-anasir babad tersebut terbaca jelas dalam puisi-puisi TW. Persoalan atau latar soal yang diangkat ke dalam puisi “Kitab Legenda” tersebut terasa sangat sakral, sangat religius, sangat legendaris, sangat mitologis, sangat hagiografis, sangat simbolis, dan sangat sugestif.
Dalam puisinya yang berjudul “Umayi” TW berhasil mendekonstruksi atau mengaktualisasikan sosok Umayi atau Durga ke dalam kehidupan saat ini. Durga adalah wujud buruk dari Dewi Uma, istri Bathara Guru. Dewi Uma sebenarnya amat welas asih. Ia menjadi buruk dalam rupa Bethari Durga karena amat membela anaknya yang sangat manja dan nakal yaitu Dewa Serani. Uma membela mati-matian, sampai-sampai berani melawan Bathara Guru. Mitologi ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam diri setiap manusia terdapat dua entitas penting: nurani dan nafsu. Dua hal itulah yang akan menjadi kendali hidup manusia.
TW menulis “namaku : Durga. sebut pula: Umayi/ berabad-abad  kusimpan/ dendam di peti ujung sangkala”. Dendam Durga seakan-akan tumbuh menjadi kutukan kepada umat manusia. Dosa Durga atau Uma kepada Bethara Guru akhirnya juga dirasakan dampaknya bagi manusia di bumi. Peristiwa ini mirip-mirip dengan apa yang dialami Adam-Hawa. Oleh karena ketakpatuhannya terhadap perintah Tuhan, mereka diusir dari surga. Akhirnya, manusia mau tak mau harus bekerja keras dan memeras keringat agar dapat melangsungkan hidup di dunia.
Adam-Hawa menerima takdirnya dengan tetap bersyukur, bukan dendam yang muncul. Penderitaan hidup di dunia adalah konsekuensi logis dari pilihan hidupnya. Tak mungkin mereka menolak. Mereka menjalaninya dengan selalu memohon perlindungan Tuhan. Namun, Durga sebaliknya. TW menulis “tak akan diam sendiri nikmati neraka/ mari hangusnya kubagi!” Maka, dikirimkannya balatentara setan sampai saat ini menggoda manusia, mencari kawan untuk bersama-sama menikmati panas neraka. Sebagai manusia kita diajak untuk memilih: mengikuti jalan Adam-Hawa atau menapaki jejak Durga.
Atau, seperti yang ditulis TW dalam “Malin Kundang” yang lantang berteriak: “kuputus akarku!” Aku lirik dalam puisi ini dengan sadar membangun dunia sendiri, dunia yang sama sekali dipenggal dari sejarah masa lalu. Bisa jadi Malin Kundang adalah prototipe anak muda masa kini yang tidak mau dikait-kaitkan dengan masa lalu kaum dewasa. Di sinilah terjadi tarik-ulur sikap budaya terhadap tradisi dan inovasi. Malin Kundang yang sejatinya tokoh legenda yang dikutuk menjadi batu karena durhaga kepada ibunya justru menjerit: “jangan panggil aku durhaka/ hanya kucari peta sendiri dan berucap :/selamat tinggal. selamat malam”. Anak muda yang dinamis tidak terjebak pada legenda atau mitos-mitos purba. Dia membangun mitos-mitos baru yang sesuai dengan konteks zaman yang nyata-nyata mereka hadapi dan hidupi. Malin Kundang menolak ibunya bukan  karena ingin berdurhaka, tetapi karena ia ingin membangun dan mencipta peta sendiri hidupnya.

Teks dalam Teks
            Dalam uraian di atas terbaca bahwa puisi-puisi TW berisi pergumulan antara legenda, mitos, dan babad. Tentu saja legenda, mitos, dan babad tersebut dapat hadir sebagai inspirasi atau sebagai pendekatan TW dalam menulis puisi. Puisi-puisi TW sebenarnya mengangkat kegelisahan penyair tentang peristiwa kini, bukan peristiwa masa lalu. Hanya, dalam bertutur TW memakai artikulasi legenda, mitos, atau babad.
            Maka, puisi-puisi TW bukanlah sebuah teks yang tunggal. Dalam teks puisi TW dapat dijumpai teks-teks lain. Dalam proses penulisan karya sastra sering terjadi karya sastra yang ditulis lebih kemudian mendasarkan diri pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya. Walau saja karya sastra yang kemudian bisa menerima, menolak, menghancurkan karya sastra yang terdahulu.
Kisah Adam-Hawa, Malin Kundang, Rama-Sita, Durga atau Umayi atau sosok-sosok yang disebut-sebut dalam teks puisi semisal Sutardji Calzoum Bachri dan D. Zawawi Imron adalah hipogram dari puisi-puisi TW. Wujud hipogram dapat berupa penerusan konvensi, sesuatu  yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983). Penerusan tradisi dapat juga disebut sebagai mitos pengukuhan, sedangkan  penolakan  tradisi  sebagai  mitos  pembebasan. Kedua hal  tersebut selalu hadir dalam penulisan teks sastra,  sesuai dengan hakikat sastra yang selalu berada dalam ketegangan  antara  konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos pembebasan.
Julia Kristeva berpandangan bahwa  tiap teks merupakan sebuah mosaik kutipan-kutipan, merupakan penyerapan  dan  transformasi  dari  teks-teks  lain. Hal itu berarti, bahwa tiap teks puisi TW mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks  sebelumnya, yang kemudian diolah berdasarkan tanggapan TW. Dengan demikian, walau puisi-puisi TW mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena diolah dengan  pandangan dan daya kreativitasnya sendiri,  dengan  konsep  estetika  dan pikiran-pikirannya, karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian TW.
Sebuah teks sastra yang dihasilkan dengan kerja yang demikian dapat dipandang sebagai karya  yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasikan karya-karya lain ke dalam karya sendiri. Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain tersebut, yang mungkin berupa konvensi, bentuk formal tertentu,  gagasan, tentulah masih dapat dikenali (Pradopo,  1987).
Membaca puisi “Malin Kundang” kita diajak melawan mitos yang sudah melegenda dalam bawah sadar pembaca, kesadaran tradisi mereka. TW menulis teks puisi dalam upaya membangun mitos baru tentang Malin Kundang. TW menulis: inilah sejarah yang kupahat/ jejak baru menetak rajah tangan sendiri// kupilih takdirku!/ mencipta legenda/ memilih panggung jadi sutradara sekaligus aktor/ berperan lakon sendiri/ air mata kusulap jadi batu/ dan kau boleh menziarahinya sepanjang waktu// kupotong rajah di tangan kiriku!. Puisi ini penuh perlawanan, atau juga pengingkaran. Baris kupilih takdirku adalah baris yang terkesan amat kontroversial. Benarkah manusia bisa memilih takdir ketika takdir sudah digariskan oleh Sang Mahakuasa?  Takdir dalam konteks puisi TW tidak serta merta ditafsirkan sebagai “ketentuan Allah” terhadap garis hidup manusia. Takdir bisa bermakna jalan hidup, terjadi penyempitan makna dalam hal ini. Sebenarnya yang terpenting dalam puisi ini adalah spirit perlawanan, pemberontakan, dan pembaharuan dalam diri aku lirik. Perubahan dapat  terjadi karena hadirnya tokoh-tokoh kontrovesi seperti itu, misalnya R.A. Kartini, Bung Karno, Gus Dur, dan sebagainya. Andai saja mereka berenang mengikuti arus mainstream yang berlaku, tidak akan terjadi perubahan apa pun di Indonesia, baik dalam tataran pemikiran maupun dalam tataran aksi. Kesadaran untuk memotong rajah di tangan kiri adalah kesadaran untuk melepaskan diri dari jeratan primodialisme dan romantisme palsu. Andaikata kita ini sudah dikutuk jadi batu oleh narasi sejarah bangsa, kita seharusnya melawannya dengan memahat batu itu menjadi porselen yang lebih memancarkan aura dan cahaya penuh takjub.
Sedangkan dalam puisi “Umayi” TW justru mengukuhkan mitos tentang Bethari Durga yang mengusung dendam dalam hidupnya. TW menulis: “anyir itu wangiku!/ kubalas segenap kutukan itu/ dengan bangkai daging/ menggelembung/ kubangkitkan peri-peri itu, arwah para pezina./ lendirnya kumantrai tumbuh jadi ulat/ kutiupkan pada rahim semua perawan/ nggerogoti liangnya.” Durga yang kita kenal dalam dunia pewayangan dihadirkan kembali oleh TW nyaris tanpa perubahan karakter dan spirit. Durga yang penuh dendam tetap membawa dendam itu di dalam teks puisi TW. Dan dendam itu memberi warna dunia yang hari demi hari semakin carut-marut, tanpa kendali hukum yang jelas yang berdampak pada tumbuhnya aksi kejahatan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Inikah isyarat kemenangan dan keberhasilan Umayi yang sangat antusias membalas setiap kutukan?
Di samping teks-teks legenda, mitos, maupun sejarah, teks-teks puisi TW juga dipenuhi oleh teks-teks peristiwa mulai dari kelahiran, perkawinan, sampai dengan kematian. Karena itu, puisi-puisi TW juga banyak mengungkapkan persoalan dimensi ruang dan waktu dalam hidup manusia.
Dalam puisinya “Senja di Akhir Tahun” TW merekam kebiasaan orang dalam merayakan pergantian tahun. TW menulis: “orang-orang meniup terompet/ tanpa bunyi/ hanya resah yang melengking-lengking/ menyelinap/ di dalam semak-semak.” Meniup terompet adalah lumrah terjadi. Namun, meniup terompet tanpa bunyi tentu amat menarik untuk dikaji. Sesungguhnya, terompet itu telah berbunyi, namun dikalahkan oleh lengkingan keresahan yang lebih tinggi nadanya. Seperti jeritan kanak-kanak yang terjebak pada kerumunan orang-orang dewasa yang juga sedang berteriak-teriak. Di sinilah kepiawaian TW untuk melihat kejadian empirik namun sekaligus mencoba membaca pergumulan batin yang tidak terindra. TW berhasil membawa teks budaya atau peristiwa ke dalam teks puisinya.
Mengembara pada rimba raya puisi TW tentu tidak akan pernah habisnya, tidak akan pernah ada akhirnya. Yang terpenting dalam menulis puisi, TW selalu berangkat dari teks-teks yang sudah ada. Teks-teks itu hadir sebagai sumber inspirasi, pintu, bahkan strategi ucapnya. Teks-teks dipilih karena jauh sebelum puisi-puisi TW lahir, teks-teks tersebut sudah akrab dalam kesadaran cultural pembaca. Dengan cara seperti itu TW menjadi mudah membangun komunikasi dengan pembaca. Walau, yang ditulisnya adalah puisi.

Malang, 8 Agustus 2012

Tjahjono Widarmanto dan Tengsoe Tjahjono

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi