Gagasan Menemu Raga

GAGASAN MENEMU RAGA
Tengsoe Tjahjono                 


                  lebah-lebah itu
                  membangun sarang ayat
                  di lubuk batin kita
                  agar jiwa kerasan wirid di sana

   (Lebah 3 – Djoko Saryono)

Djoko Saryono (kemudian disingkat DS) dikenal sebagai guru besar Universitas Negeri Malang. Tulisan-tulisannya berkisar pada masalah-masalah pendidikan, budaya, dan kritik sastra. Dalam konteks seperti itu DS selalu bergelut dan bergulat dengan gagasan. Gagasan-gagasan DS sering terkesan unik, bahkan banyak yang amat kontroversial.
Bagaimana jika tiba-tiba di hadapan Anda disodori tulisan DS yang tidak berupa tulisan akademik namun berupa puisi? Mungkin saja terbersit rasa antara percaya dan tidak percaya. Tetapi, rasa tidak percaya itu lenyap begitu cepat saat saya mulai membaca puisi demi puisi yang ditulis DS. Di hadapan saya tergelar merjan-merjan gagasan yang ditulis dengan bangunan sederhana, namun justru eksotis dan puitis. Tampaknya indah tidak harus ‘neka-neka’ (Jawa, artinya aneh-aneh). Dalam kesederhanaan puisi DS, justru memancar keunikan.
Sebagai pribadi yang terbiasa hidup dalam atmosfer akademik, ruang-ruang seminar, konsultan pendidikan, dan sebagainya, keseharian DS adalah gagasan. Puisi DS pun terkesan bermula dari gagasan. Gagasan-gagasan itu bergerak dan mengalir mencari bentuk ekspresi, menemu raga puisi.
Bagi DS puisi sejajar dengan lebah: punya daya sengat dan sekaligus madu. Maka, tidak heran DS menulis: lebah-lebah itu/ membangun sarang ayat/ di lubuk batin kita/ agar jiwa kerasan wirid di sana. Suara puisi ibarat gumam lebah, mendengung penuh irama, ada yang bisa memahami, banyak pula yang tidak mengerti. DS ingin puisi membangun kalimat-kalimat bijak di hati setiap orang agar kesadaran keilahian hidup dalam setiap jiwa. Puisi itu manis dicecap, namun sekaligus diharapkan memiliki daya gedor pada telinga yang tuli, mata yang buta, mulut yang gagu, kaki yang lumpuh, tangan yang lunglai, saat ketidakadilan, keserakahan, dan penindasan terbaca dalam hidup sehari-hari. Puisi mengajak manusia peduli.

Puisi: Ruang Theo-humanitas
            “Saya merasakan, maka saya ada.” Demikianlah paradigma theo-humanitas. Pernyataan itu amat berkaitan dengan persoalan humanitas, emosional, dan spiritualitas. Paradigma theo-humanitas itu terasa sekali pada puisi-puisi DS. Prinsip bahwa “Saya merasakan (kesedihan, kemenderitaan, kesia-siaan, kesesakan orang lain, maka saya (menjadi) ada” membangun relasi interpersonal dan solidaritas; merefleksikan hidup keilahian di antara sesama.
            Tema-tema yang diusung DS pun bergerak dari persoalan Gaza, Bosnia, kezaliman, kerusuhan, sampai ke persoalan makrifat. Simak puisi berikut ini.

GAZA 1

                                langkah lars itu terus berderap dalam pikiran
                                menuju piring-piring di meja makan
                                dan menghidangkan: darah dan kematian

                                lalu kau kunyah bersama teve
                                yang menyanderamu di ruang tamu
                                hingga kau lalai waktu yang terus bergerak
                                menapak gurat jejak kematian di napasmu
                                                 
Malang, Maret 1995

            Gaza adalah sebuah kawasan yang terletak di pantai timur Laut Tengah, berbatasan dengan Mesir di sebelah barat daya, dan Israel di sebelah timur dan utara. Di Jalur Gaza drama konflik Israel-Palestina tidak kunjung reda. Namun, puisi DS tidaklah bicara tentang Gaza dalam realitas sejarah. Gaza dalam puisi DS merupakan realitas metaforik. Dalam bait pertama puisi ditulis: langkah lars itu terus berderap dalam pikiran/ menuju piring-piring di meja makan/ dan menghidangkan: darah dan kematian. Persoalan kekerasan menjadi makanan kita setiap hari, menjadi sesuatu yang biasa, yang tidak lagi memprihatinkan. Bahkan, yang amat menyedihkan realitas seperti itu justru dirayakan di layar televisi sebagai bagian dari ornamen-ornamen budaya popular.
Matinya kemampuan ‘merasakan’ dalam diri manusia terjadi karena sudah menjadi lumrahnya kekerasan dan ketidakadilan. Solidaritas tereduksi menjadi pragmatisme. Maka, sungguh masuk akal jika DS menulis: menapak gurat jejak kematian di napasmu. Manusia telah mati-rasa dan mati-peduli.
Dalam puisi Bosnia 1 DS menulis: dan lihat, lihatlah, dunia terbata-bata mengeja/ bahasa yang telah lunglai makna dan daya/ apa nama tindak keji dan bengis Serbia/ (boleh jadi, di sini bahasa telah dimangsa kuasa). Dalam puisi ini pun Bosnia menjadi latar-metaforik. Yang paling penting justru bagaimana manusia membahasakan ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya. Ketika bahasa dimaknai secara politis, maka bahasa justru tidak memiliki kuasa-diri. Bahasa menjadi bagian dari kuasa-lain, kuasa dari manusia yang menggunakan. Bahasa tidak lagi sekadar menjadi sarana komunikasi, namun menjilma menjadi sarana kekuasaan. Ketika kekerasan dimaknai sebagai pembelaan diri, ketika kekejian diartikan sebagai upaya pemenuhan hak, lalu apa sebenarnya kuasa-bahasa? Tidak ada. Sungguh: dunia terbata-bata mengeja.
Secara eksplisit DS merumuskan pengertian bahasa melalui puisi berikut ini.

BAHASA 1

benar, benar, tak ada apa-apa di sini
kecuali kokang senapan dan sedikit amunisi
biasa dipakai para politisi atau petinggi
meledakkan lidah yang bersekutu hati nurani
demi ketunggalan kenyataan dan kebenaran
demi kelanggengan rezim makna yang selalu alpa

akan kemajemukan suara

maka, apa yang bisa diharap dari bahasa
-- yang bersemayam di geraham kuasa --
yang tiap hari terus berbiak di media massa?
yang tiap saat terus berkembara lewat mulut, kabel,
gelombang inframerah, dan satelit di luar angkasa?

Malang, Januari 1996

Dalam konteks puisi di atas bahasa hadir secara antagonis yaitu menjadi sarana untuk menakut-nakuti kelompok yang termarginalisasikan agar kuasa tetap berada pada tangan kelompok tertentu. Pola-pola ideologi marxis yang mengelompokkan masyarakat menjadi dua bagian: yang menguasai alat produksi dan yang tidak menguasai alat produksi kekal sampai saat ini, juga di sini. Dan, bahasa menjadi sarana ampuh untuk menciptakan oposisi biner: yang mengusai-yang dikuasai, rajin-pemalas, pandai-bodoh, rasional-mistik; yang pada akhirnya yang mengusai, rajin, pandai, dan rasionallah klas unggul yang boleh bermain apa pun, tanpa bisa disalahkan, tanpa bisa dikalahkan.
Apalagi teknologi komunikasi berpihak pada mereka. Lewat bahasa yang dikonstruksi sedemikian rupa, lalu disalurkan melalui gelombang suara dan gambar ke ruang-ruang publik dan privat, kuku-kuku kekuasaan pun semakin tajam mencengkeram. Ternyata tidak mudah ‘merasakan’ kegelisahan orang lain. Mereka lebih banyak memenangkan diri sendiri melalui rasionalitas yang dibangun terus-menerus.
Dalam puisi Membaca Sejarah DS menanyakan tentang siapa yang menanam semiotika kemegahan sriwijaya,/ majapahit, dan tiga setengah abad kolonialisme Belanda/ ke dalam rongga dada?; menanam semiotika pertumbuhan, pemerataan,/ kehebatan fundamen ekonomi, dan keberhasilan pembangunan/ ke dalam syaraf pikiran?; menanam semiotika stabilitas politik,/ massa mengambang, dan undang-undang regulasi partai tak bisa diusik/ ke dalam nadi kehidupan?.
Memahami pengertian sejarah secara tepat bergantung kepada kemampuan membaca seseorang.  Dani Cavallaro (2001) menyatakan bahwa membaca adalah sebuah proses yang melibatkan manusia setiap saat, sebagaimana manusia itu berusaha mencoba memahami dunia atau menafsirkan tanda-tanda yang mengelilingi mereka. Membaca merupakan salah satu mekanisme paling vital dalam konteks sosial manusia.
Membaca sejarah bukanlah membaca huruf-huruf mati. Sejarah itu ditulis, lebih tepatnya adalah dikonstruksi. Sejarah bukan representasi peristiwa. Sejarah adalah representasi kepentingan. Pertanyaan-pertanyaan DS dalam puisi Membaca Sejarah lahir dari kesadaran membaca kritis. Pertanyaan lahir karena rasa heran, rasa tidak tahu, rasa tidak mengerti, rasa penasaran, atas fakta bahasa yang terkesan ganjil dan aneh. Pernyataan mengenai kemegahan Sriwijaya dan Majapahit, tiga setengah abad penjajahan, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, keberhasilan pembangunan, massa mengambang, dan sebagainya adalah konstruksi ideologi yang ditanamkan ke dalam jiwa bangsa melalui bahasa. Dengan sangat ironis dan satire DS menulis hasilnya adalah batu, mitologi, dan monumen, hanya melahirkan kata-kata benda yang tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan kelayakan hidup bangsa.
Puisi-puisi DS jadilah ruang theo-humanitas. Di tengah hingar-bingar dan hiruk-pikuk keserakahan, kesewenang-wenangan, kebebalan, dan sebagainya yang mencerabut relasi personal antarmanusia, yang merampas sikap solidaritas terhadap sesama, yang menghabisi kemampuan merasakan pada jiwa setiap orang, DS pun merindukan keheningan. Ning dan wening. Hanya dengan cara begitu manusia bisa menyadari kodratnya sebagai makhluk Tuhan yang tidak berdaya, yang oleh karena itu harus saling bersatu dengan yang lain.
Perhatikan puisi berikut ini.

RINDUNYA RINDU MAKRIFAT ADA

dalam puasa suara
dan berkendara mutmainah cinta
rindunya menghisap seluruh ayat semesta
sukmanya menyusu makrifat ada

"jangan ganggu aku", katanya
"tarian rumiku sudah tiba
di semenanjung ada manusia"

hijab cakrawala pun tersingkap
buraq cahaya melesat
dan adanya lenyap
dan dirinya tamat

"jangan tanya jazad
jangan tanya alamat
aku di luar segala kalam tersurat",
pesannya di tiap desah angin lewat

Malang, Juli 1998

Makrifat berarti menyadari kehadiran Allah dalam gerak-gerik lahir maupun batin seperti melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan, berfikir dan sebagainya. Segala sesuatu ada karena Allah semata.
Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki, menurut al-Gazali, bukan diperoleh melalui pengalaman inderawi, juga tidak melalui penalaran rasional, namun lewat kemurnian kalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik. Dalam makrifat tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio). Makrifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan akal pikiran. Siapa pun yang meningkat makrifatnya, meningkat pula ketenangan hatinya. Dalam tasawuf, makrifat merupakan tataran kesadaran paling tinggi.
Jika setiap orang menyadari bahwa Allah hadir di mana dan kapan saja, tindakan manusia pun akan berkiblat kepada Allah. Namun, membangun kesadaran makrifat itu tidaklah mudah. Hanya saja ketidakmudahan itu bukanlah alasan bagi manusia untuk memilih jalan sendiri, menjauh dari sikap makrifat. “Dalam puasa suara” usaha mencapai makrifat itu mampu dilaksanakan. Manusia harus bersedia untuk berdiam dari retorika, pidato-pidato politik dan basa-basi; manusia harus mencari ruang hening untuk mawas-diri. Dengan demikian, manusia diharapkan melepaskan egonya, masuk ke dalam persoalan publik-papa melalui tindakan nyata. Maka manusia itu dapat menunjukkan kepada dunia bahwa "tarian rumiku sudah tiba/ di semenanjung ada manusia". Tarian rumi adalah tarian sufi, tarian mereka yang mengamalkan pekerjaan tasawuf. Artinya, bagi manusia sekarang ini yang diperlukan bukanlah kata-kata atau retorika, tetapi sebuah tarian, sebuah gerak jiwa yang konkret, yang dimotivasi oleh gerak Allah sendiri.

Puisi: Sebuah Reidentifikasi Diri
            Dalam ruang theo-humanitas pemahaman orang tentang manusia mau tak mau harus memancarkan sikap keilahian. Allah tidak membedakan manusia kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, majikan dan buruh, dan sebagainya. Allah hanya akan memperhitungkan amal ibadah mereka saat manusia hidup di dunia. Manusia pun tidak boleh terjebak dalam konstruk berpikir Ferdinand de Saussure tentang oposisi biner yang telah berhasil membangun struktur-struktur kesadaran pengetahuan. Oposisi biner telah membagi dunia ke dalam dua kategori, dan kategori yang satu biasanya lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Hal itu sangat merugikan dua hubungan tersebut. Di masyarakat akan terjadi dualitas kelompok yang saling menindas yang melahirkan primordalisasi dan sektarianisasi. Yang mengerikan oposisi tersebut pada akhirnya tercipta menjadi mitos dan kebenaran yang diamini.
 Banyak istilah yang terjebak pada ide oposisi biner yang dikaitkan dengan kekuasan dan melahirkan penindasan-penindasan baru,  misalnya minoritas-mayoritas, pusat-pinggiran, global-lokal, protagonis-antagonis, dan sebagainya. Muaranya adalah lahirnya batas-batas teritori untuk menentukan ‘siapa kita’ dan ‘siapa mereka’. Dikotomi biner ini justru mengandung unsur-unsur hierarkis dan oposisional yang menindas. Dikotomi merupakan simplifikasi yang menyesatkan. Oleh karena itu, harus ada gerakan yang membangun wacana tandingan, wacana pembalikan, atau dekonstruksi terhadap kelaziman yang selama ini menyesatkan namun dianggap sebagai kebenaran. Harus ada pembacaan ulang terhadap predikasi kelompok manusia yang selama ini dikonstruksi secara hierarkial dan oposisional, harus ada reidentifikasi.
Tokoh-tokoh Sukesi, Sarpakenaka, dan Sinta adalah tokoh-tokoh perempuan dalam Epos Ramayana yang tubuh, jiwa, dan hidupnya telah dikonstruksi oleh kekuasaan laki-laki. Label kesetiaan, diam, penuh cinta dan pengabdian, suci, dan patuh adalah label-label yang ditanamkan secara terus-menerus, bahkan turun-tumurun, atas entitas yang bernama perempuan. DS menuliskan teks puisi pembalikan, dekonstruksi, dan reidentifikasi diri. Perhatikan penggalan puisi berikut ini.

SUARA HATI DEWI SUKESI
dengan lapang dada harus kukata
akulah ibu segala malapetaka semesta:
                                semestinya Wisrawa juga
karena mereka kukandung berbulan lamanya
karena mereka terlahir dari rahimku nan mulia
karena kuduga semua ilmu berkah buahnya
ternyata ada yang berbisa: menebar racun saat dibuka

bukankah aku perempuan perkasa?
rela menerima getir takdir sepanjang masa
ikhlas memanggul beratnya hidup hina dina
lapang dicerca dalam Ramayana, wayang, dan cerita

aku Dewi Sukesi, wanita jelita terpedaya ilmu berbisa
pesanku kepada manusia: waspadalah tabiat ilmu dunia
kalau gegabah, Sukesi dan Wisrawa kedua di depan mata
                …

Dewi Sukesi adalah ibu Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana. Buah cintanya dengan Begawan Wisrawa yang sudah tua. Kecuali Wibisana, putra-putri Sukesi berwujud raksasa. Itulah hukuman atau kutukan yang harus diterima Sukesi karena meminta Wisrawa menjelaskan makna Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra Jendra Hayuningrat adalah ajaran tentang keselamatan penguasa demi tercapainya keselamatan alam semesta. Yang dimaksud dengan penguasa bukanlah hanya raja, pemimpin negara, ataupun pemimpin lain, namun terlebih adalah diri sendiri. Manusia harus mampu menaklukkan dan menguasai dirinya sendiri. Dalam konteks filosofi Jawa yang harus ditaklukkan dan dikuasai manusia adalah sifat angkara murka yang berada dalam dirinya. Karena Sukesi dan juga Wisrawa gagal mengendalikan hawa nafsunya, terjebak dalam hasrat birahi, kutukan itu pun harus ditanggung Sukesi, menjadi ibu dari anak-anak berwujud mengerikan.
Rahwana, anak pertama, raksasa yang mengerikan, berwajah sepuluh, berwarna merah bagai api, wataknya jahat sekali, hanya mengedepankan nafsu. Kumbakarna, putranya yang kedua, raksasa besar, kulitnya hitam, melambangkan nafsu makan dan tidur yang berlebihan. Sarpakenaka, anak ketiga, perempuan raksesi yang berwatak jahat, suka iri. Mukanya jelek berwarna kuning dan suka bersolek berlebihan. Melambangkan nafsu kepada harta duniawi. Wibisana, putra keempat berupa manusia. Satria tampan ini melambangkan laku tirakat, hidup sederhana dan sangat spiritual. Dalam konteks ini tampak sekali bahwa dalam rahim jiwa manusia terkandung sifat angkara dan juga laku budi-suci. Persoalannya adalah mampukah manusia mengelola kedua sifat yang saling bertentangan namun sekaligus saling mengisi dan melengkapi itu?
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa Sukesi yang harus menanggungnya. Mengapa memahami Sastra Jendra Hayuningrat melahirkan kutuk bagi perempuan? Bukanlah mempelajari ilmu hak setiap pribadi? Terjadi ketidakadilan jender dalam kasus ini. Maka, Sukesi pun berseru, “aku Dewi Sukesi, wanita jelita terpedaya ilmu berbisa/ pesanku kepada manusia: waspadalah tabiat ilmu dunia/ kalau gegabah, Sukesi dan Wisrawa kedua di depan mata.
Perhatikan pula penggalan puisi berikut ini.

SUARA HATI SARPAKENAKA 1

Akulah perempuan yang menerima sepenuh hati
segala yang terberi pada diri:
ujud raksasi menebar ngeri
buruk rupa tiada menarik lelaki
badan pun tak sesuai idaman hati
budi pun tiada terpuji karna jahat menguasai
apalagi suara, sungguh di luar tatakrama resmi
apalagi pribadi, sungguh lancung pekerti
Bukankah aku perempuan mulia karena sanggup memikul semua?
tetapi, kenapa justru ditahbiskan perempuan hina dan tiada harga?
Apakah kemuliaan sebangun rupa bagus, hati terpuji, lembut suara, 
dan tinggi budi, bukan kesanggupan menerima takdir sepenuh jiwa?
Sungguh cerita dan tafsir sederhana – tiada merasuk rahasia makna!
Sungguh cerita dan tafsir tak semena-mena – demi kepentingan kuasa!


Nasib Sukesi tidaklah jauh berbeda dengan nasib Sarpakenaka. Mereka juga terperangkap pada kultur yang didesain oleh kekuatan laki-laki. Sarpakenaka adalah putri Sukesi, berwujud raksesi. Dia digambarkan selalu mendukung tindakan jahat Rahwana, kakaknya. Sebagai sang nafsu hitam sangat bersemangat mendukung sang nafsu merah (representasi Rahwana) dan merintangi manusia dalam menggapai pencerahan. Benarkah ia mendukung kejahatan Rahwana atau justru tak berdaya secara hierarkial dan oposisional karena Rahwana adalah kakaknya dan sekaligus laki-laki? Ketidakcantikannya juga bukan kehendaknya, namun karena takdir yang harus diterima sebagai akibat kutuk yang disandang sang ibu.
Berjalan dalam garis takdir dan narasi yang tidak kuasa ia hindari bukanlah pekerjaan mudah. Predikasi antagonis harus ia terima dan ia jalani. Maka, DS pun mengajak Sarpakenaka bertanya, “Bukankah aku perempuan mulia karena sanggup memikul semua?” Berani bertanya adalah sebuah keberanian, walaupun jawaban tidak mudah ia dapatkan. Yang terpenting telah tumbuh keasadaran kritis atas kodratnya sebagai perempuan yang dalam catatan perjalanan hidup manusia selalu termarginalisasikan.
Keberanian membalikkan fakta menjadi fakta baru memang belum konkret dikerjakan Sukesi dan Sarpakenaka di dalam puisi di atas, walau sinyal-sinyal pemberontakan sudah terbaca lewat pertanyaan-pertanyaan keras yang mereka lantunkan. Justru dalam diri Sinta semangat melawan kekuasaan laki-laki tidak hanya dinyatakan secara verbal, namun juga melalui tindakan.
Perhatikan puisi berikut ini.

MIMPI SINTA
Rahwana…Rahwana…Rahwana…
bawa saja aku ke dalam istana asmara di Alengka
biarkan menyantap gelegak nafsu yang kau punya
dan mainkan seluruh jurus indah kamasutra
dan hunjamkan libidomu di kedalaman raga

Bukan cuma mereguk nikmat tiada tara
aku juga serasa terbang ke nirwana
– meski kubelum ke sana

Jangan hiraukan Rama …jangan indahkan dia
lelaki sangat jaim yang sesungguhnya lemah jiwa
di hadapan wanita yang ditakdirkan paling setia
hingga perlu bala butuh wanara untuk citra diraja
padahal cukup pakai besar jiwa dan lapang dada
                                                               
Madiun, 2007

Puisi Mimpi Sinta itu merupakan suara bawah sadar Sinta. Suara bawah sadar itu ketika menyeruak ke luar bisa jadi akan berubah menjadi tindakan. Bukan lagi mimpi namun sebuah kenyataan. Benarkah Rama mencintai Sinta sehingga ia berjuang merebut kembali Sinta dari genggaman Rahwana dengan bantuan laskar kera? Ataukah ia takut bahwa benda kepunyaannya, mainan yang sangat ia eman-eman, jatuh ke tangan orang lain? Atau, justru merasa harga dirinya terinjak-injak ketika bagian dari privasinya direnggut oleh pihak lain? Oleh karena itu DS melakukan pembacaan ulang atas kisah Sinta tersebut. Dalam pembacaan kritis hendaknya manusia tidak gampang terjebak pada pemahaman makna tekstual, namun harus mampu menemukan alasan mengapa artikulasi gagasan disusun dengan cara tertentu.
DS menafsirkan bahwa Rama adalah lelaki sangat jaim yang sesungguhnya lemah jiwa/ di hadapan wanita yang ditakdirkan paling setia/ hingga perlu bala butuh wanara untuk citra diraja. Tentu penafsiran tersebut jauh dari kebenaran yang selama ini dibaca banyak orang yang menganggap Rama adalah titisan Wisnu penjaga kedamaian dunia. Pemujaan kepada Rama justru membutakan orang kepada pengetahuan bahwa bagaimana pun juga Rama hanyalah seorang manusia. Hal itulah yang mendorong DS melakukan pembacaan ulang, menuliskan sisi manusia (yang tidak sempurna dan selalu lemah) dari Rama. Bahkan, Sinta pun dilukiskan sisi ‘kebetinaannya’ yang tidak selamanya harus setia, lebih-lebih kepada kesewenang-wenangan laki-laki.
Reidentifikasi diri juga dikenakan kepada tokoh-tokoh antagonis Rahwana dan Kumbakarna. Reidentifikasi diri tersebut semata-mata untuk mengangkat martabat manusia, memanusiawikan manusia, mendudukkan eksistensi manusia secara proposional. Dalam puisi Suara Hati Rahwana DS menulis: Tapi, haruskah semua sebutan menjijikkan kusandang – kukenakan?/ Sedang aku melakukan semua di luar timbang, di luar kesadaran/ Aku hanya menjalani takdir dewata: suka cita, pantang terbata!/ Aku hanya menepati takdir ilahi: tanpa mengingkari yang telah pasti! Rahwana menanyakan mengapa predikat buruk harus selalu disandangnya padahal sebagai manusia ia tidak mungkin bisa menolak takdir. Bahkan, dalam puisi Suara Hati Kumbakarna DS menulis: pilihan kehidupan hanya permainan – bukan kekalahan kemenangan/ di sana tak ada pengkhianatan – juga kehebatan kebodohan/ pilihan kehidupan hanya permainan – kenapa harus memutuskan?
Puisi-puisi DS terbentang dari ruang theo-humanitas ke identifikasi diri. Kesadaran keilahian yang diharapkan tumbuh pada tiap pribadi akan mampu melahirkan kesadaran kritis terhadap arti dan kedudukan manusia. Jiwa manusia bukan hanya hitam dan putih, namun tergelar juga dimensi abu-abu dalam hidup dan kehidupannya. Itulah sejatinya wujud multi-dimensinya manusia.
Tulisan ini akan saya akhiri dengan mengutip puisi DS berikut ini

RISALAH RINDU 2

di batinku al-Ghazali tiba – lalu dia sebar
lembar-lembar pesona Mishkat al-Anwar
hati-hati kulipat jadi perahu Sinbad bersuar
                                lalu kupakai melayari lautan cahaya maha cahaya
                                denyar angin cahaya menerpa geriap jiwa: di mana berada?
gemulung ombak cahaya membentur jiwa: mana cakrawala?

perahu Sinbadku terus berlayar – menuju hakikat ada
melayari lautan cahaya maha cahaya – mencari dermaga
[pelayaranku terus menembus waktu – tak kutahu kapan tiba
karna aku tenggelam dalam Mishkat al-Anwar – tertawan bahagia]
                                                                                               
Malang, 2011

DS adalah seorang akademisi. Dia tidak mau terjebak dalam klasifikasi kering seperti itu. Buktinya ia pun menulis puisi. Inilah dimensi lain dari DS, bahkan mungkin sebuah upaya reidentifikasi diri. Yang jelas saya pribadi berharap DS terus menulis puisi agar mimpinya tentang pelayaran Simbad terwujud, dan kelak ia sungguh menemukan hakikat.

malang, ketika hujan di pengujung 2012
Tengsoe Tjahjono dan Djoko Saryono




Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi