Membaca Geliat Sastra di Malang

MEMBACA GELIAT SASTRA DI MALANG
Oleh Tengsoe Tjahjono

Empat tahun terakhir ini saya melihat geliat sastra di Malang Raya memperlihatkan gejala yang menarik. Aktivitas sastra tampak semarak, baik itu berupa diskusi-diskusi, penerbitan, dan pemanggungan. Bahkan, keterlibatan langsung para sastrawan terhadap problematika masyarakat juga tampak. Misalnya saja simpati dan aksi mereka terhadap persoalan air di Cangar Dusun Bulukerto Kecamatan Bumiaji Kota Batu sehingga tempat itu dipakai untuk peluncuran antologi puisi “Memo untuk Presiden” yang berskala nasional. Disusul kemudian lahirnya antologi puisi “Mata Air” sebagai bentuk respon penyair terhadap kondisi air yang semakin terabaikan. Mengapa geliat sastra itu semakin terasa? Saya melihat ada 5 faktor penyebabnya, yaitu: warung kopi, komunitas, relasi antar seniman, dan tokoh.

Fenomena Warung Kopi
Malang ini merupakan kota yang unik. Sebagai kota pendidikan, kota ini tidak memiliki fasilitas warga yang dapat dipakai untuk berkumpul, berdiskusi, dan pamer karya. Namun, ternyata hal itu bukan penghalang bagi para pencinta sastra untuk menciptakan ruang bertemu. Saya masih ingat tahun 2010 kegiatan sastra mengenang karya Wahyu Prasetyo dilaksanakan di Warung Apresiasi di jalan Blitar. Lalu tahun-tahun berikutnya banyak acara panggung sastra di Artrock Cafe di kampung keramik Dinoyo. Lewat diskusi dan pemanggungan karya di warung-warung itulah berbagai karya sastra lahir dan bertumbuh. Dari warung-warung kopi itu pula bermunculan sastrawan-sastrawan muda kota Malang.

Pada tahun 2013 hingga kini muncul banyak warung kreatif. Sebut saja Omah Kayu, Warung Warta, Kafe Sabdo Palon, Kedai Kopi Tjangkir 13, dan yang paling baru ialah Kafe Pustaka dan Kedai Remboeg Pawon. Dan jangan lupa ada beberapa galeri sederhana yang memberi peluang sastrawan menampilkan produknya di sana, misalnya saja Minimanies Artspace dan Warung 14 Semeru Art Gallery. Tentu saja sosok-sosok di balik warung-warung itulah yang memberikan support tak kecil bagi perkembangan sastra, misalnya saja Arief Wijayanto (Artrock Cafe), Djoko Saryono (Kafe Pustaka), Demsi Danial (Kedai Remboeg Pawon), Dandung Prasetyo (Semeru Art Gallery), Bagus Hayik (Mimimaniez Artspace), dan lain-lain. Kepedulian mereka terhadap pentingnya perkembangan kultur literasi di Malang yang mendorong diri mereka menciptakan ruang-ruang kreatif bagi para penulis.

Kontribusi Pelangi Sastra Malang
Warung-warung tersebut ialah wadah kegiatan para sastrawan kota Malang. Lalu, bagaimana kegiatan sastra itu sendiri? Siapa yang menggerakkan? Untuk menjawab pertanyaan itu saya mau tak mau harus melihat peran Pelangi Sastra Malang.

Berbicara mengenai Pelangi Sastra Malang ini menarik, sebab sebetulnya komunitas ini bukanlah komunitas yang besar. Anggotanya pun tidak banyak. Hanya saja mereka memiliki komitmen dan etos berkesenian yang tinggi. Pelangi Sastra Malang sesungguhnya sebuah komunitas yang menjadi ajang silaturahmi berbagai komunitas sastra yang ada di Malang. Anggota Pelangi Sastra Malang adalah para penggiat sastra dari banyak komunitas lain. Inilah yang unik. Dampak positif yang lahir ialah relasi antarkomunitas ialah kerja kreatif mereka menjadi baik dan sangat produktif. Tak ada gesekan untuk saling menjatuhkan. Bahkan, saling mendukung satu dengan yang lain.

Anggota komunitas lain yang tergabung dalam Pelangi Sastra Malang, misalnya saja anggota komunitas dari UKMP Universitas Negeri Malang, Komunitas Mata Pena FIB Universitas Brawijaya, Komunitas Sastra Titik, Komunitas Seni Budaya Lembah Ibarat, Komunitas Seni Ranggawarsita, Komunitas Malam Puisi Malang, dan sebagainya. Atmosfer semacam ini sulit ditemukan di kota lain. Perjumpaan terus-menerus antarmereka menumbuhkan suatu estetika-puitika yang terawat dan terjaga.  Sebab, mereka selalu terlibat dalam diskusi, kritik, dan saling mencerahkan satu dengan yang lain. Geliat sastra di Malang tampak bermula dari sini.

Relasi Antargalaksi
Jika menyaksikan sebuah panggung sastra di Malang, entah itu berupa launching buku sastra, diskusi sastra, atau penerbitan buku, selalu hadir pula seniman dari bidang lain, misalnya perupa, pemusik, pedrama, dan sebagainya. Ini juga memperlihatkan betapa sesungguhnya para seniman Malang itu sangat guyub dalam berkarya. Tokoh-tokoh seniman yang selalu terlihat dalam acara sastra itu Maruto Septriono (perupa), Yossa (perupa), Redy Eko Prasetyo (pemusik), Antok Yunus (pemusik), Abia Kana (pemusik), Charles Jalu (pemusik), dan lain-lain. Diskusi antar seniman inilah yang makin memperkaya proses kreatif di wilayah masing-masing.

Bahkan, Redy Eko Prasetyo menyebutkan sebagai relasi antargalaksi. Relasi ini bisa saja melahirkan karya kolaborasi yang menarik, bahkan suatu ketika Malang bisa menciptakan sebuah perhelatan seni multimedia. Ini sangat mungkin. Embrio itu sudah tampak ketika lahir musik puisi dari Swara Akustik, Splendid Dialog, Orkes Han Kestra, dan sebagainya. Atau tafsir puisi atas beberapa lukisan Maruto yang sempat dipamerkan di Minimaniez Artspace. Bahkan, banyak karya lukis Maruto menghiasi buku-buku sastra terbitan para sastrawan Malang. Inilah kolaborasi yang sangat mampu menumbuhkan atmosfer sastra di Malang menjadi semakin sumbur.

Peran Tokoh
Pada tahun 80-an dan 90-an perkembangan sastra di Malang tak dapat dilepaskan dari ketokohan almarhum Hazim Amir dan almarhumah Ratna Indraswari Ibrahim. Ibarat raja atau ratu lebah mereka yang memiliki sarang akan selalu dikerubuti oleh beratus-ratus lebah lainnya. Banyak sastrawan yang berkunjung ke tempat mereka dengan tujuan mengobrol atau pun menimba ilmu pengetahuan. Setelah tahun-tahun itu peran tokoh semacam itu memang tidak terlihat. Anehnya, dengan hilangnya peran tokoh itu, surut pula kehidupan sastra di Malang.

Pada tahun 2010 hingga sekarang ini saya lihat muncul sosok Djoko Saryono, profesor serba bisa dari Universitas Negeri Malang, dan sangat egaliter. Berbeda dengan Hazim Amir dan Ratna Indraswari, ia tidak didatangi oleh para sastrawan muda atau kaum muda yang menyenangi sastra, justru Djoko Saryono yang mendatangi mereka. Ia mengajak mereka mengobrol di warung-warung kopi di sela-sela kesibukannya sebagai guru besar yang tidak sedikit pula pekerjaannya. Nah, dari Djoko Saryono inilah wawasan pengetahuan para sastrawan muda berkembang. Perkenalannya dengan pemikiran-pemikiran asing dan karya asing yang ‘diajarkan’ dalam diskusi santai di warung kopi itu melahirkan tulisan-tulisan sastra yang tidak sederhana dari para sastrawan muda Malang.

Dan, satu sosok yang hadir sebagai motor penggerak komunitas ini ialah Denny Mizhar. Denny ini penggerak di Pelangi Sastra Malang. Tokoh ini memiliki energi luar biasa. Di sela-sela kesibukannya, dia masih memberikan perhatian besar terhadap perkembangan sastra dan kontribusi sastrawan di kota Malang ini. Kadang-kadang saya bertanya andaikan Denny ini kembali ke kota Lamongan (karena dia berasal dari sana), meninggalkan kota Malang, masih adakah sosok yang energik dan lincah seperti dia. Jangan-jangan kegiatan sastra pun surut perlahan.

Begitulah geliat sastra Malang yang saya amati dari tempat jauh ini. Artinya, Malang ini memiliki potensi seni yang luar biasa. Para senimannya pun sudah menunjukkan keguyuban yang luar biasa. Itu merupakan sebuah energi positif untuk membangun kota Malang ini sebagai kota budaya. Persoalannya: bagaimana Pemkot Malang membaca sinyal positif ini? Saya akan terus menunggu.


Seoul, 12 Juni 2015

Ki Riyanto, Djoko Saryono, Tengsoe Tjahjono, Sudibyo, Yusri Fajar, dan Nanang Suryadi
di Padi Resort Malang

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi