REALISME-MAGIS DALAM CERPEN DWI RATIH RAMADHANY
REALISME-MAGIS DALAM CERPEN DWI RATIH RAMADHANY
Tengsoe Tjahjono
Setelah Ratna Indraswari Ibrahim siapa perempuan cerpenis
yang lahir dan tumbuh di kota Malang? Tidak mudah menjawabnya sebab Malang
merupakan kota besar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya. Malang memiliki
banyak perguruan tinggi dan tentu saja berkembang menjadi Indonesia kecil
karena hadirnya mahasiswa dari pelbagai wilayah di Indonesia. Karenanya,
perempuan cerpenis Malang tak musti harus ber-KTP Malang, namun mereka yang
berproses secara intensif di kota Malang ini. Salah satunya ialah Dwi Ratih
Ramadhany, mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Universitas Negeri Malang (UM),
yang tahun ini terpilih sebagai salah seorang sastrawan muda yang diundang
dalam ajang Ubud Writers & Readers Festival
2015.
Di hadapan saya terbentang dua cerpen Dwi Ratih Ramadhany
yaitu Pemilin Kematian dan Buku Harian Clara Ayu Juliarni Marhaendra
Wijaya. Dua cerpen ini menarik karena bukan hanya menampilkan dimensi
faktual, namun juga dimensi supranatural melalui peristiwa kematian. Kedua cerpen tersebut terkesan dapat
dikelompokkan ke dalam genre sastra realisme magis, senyawa realitas dan
supranatural. Dalam cerpen Pemilin
Kematian tampaknya Ratih memperoleh ilham dari keyakinan bahwa mati di
bulan Ramadhan akan dilapangkan jalan menuju surga, dijauhkan dari siksa
neraka, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, “Bila datang bulan Ramadhan
pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan
dibelenggu.” (HR Bukhari). Bisa jadi ‘kematian yang indah’ seperti itu
menjadi obsesi setiap orang, termasuk tokoh Emak dalam cerpen tersebut.
Yang menarik justru kemampuan Ratih menjahit obsesi itu
dengan fakta lain yakni sikap manusia ketika menghadapi persoalan. Padahal,
manusia mana yang bisa bebas dari masalah sepanjang ia masih tinggal di bumi. Orang
yang tak mau bangkit dari kejatuhan, lebih suka terpuruk, mudah putus asa dan
menyerah, sesungguhnya telah mati walau ia hidup. Emak akan datang memilin
kematian mereka: Apabila kau tengah putus
asa dan ia datang padamu dengan sebilah senyum serta sentuhan lembut di
pundakmu, kau akan tahu bahwa perempuan itu akan datang pada hari kematianmu.
Keputusasaan dan menunggu maut menjemput hanya pada waktu bulan Ramadhan sebenarnya
justru sikap tidak menghargai hidup. Apalagi orang tidak akan pernah tahu waktu
dan tempatnya. Kematian Emak dan menggantikannya dengan kematian Pak RT di
bulan Ramadhan tentu bukan sebuah kebetulan. Ini merupakan akumulasi tumpukan
obsesi dan mimpi, atau bahkan keputusasaan karena Emak sudah ditinggal mati
suaminya di bulan Ramadhan.
Hal yang sama juga terdapat dalam Buku Harian Clara Ayu Juliarni Marhaendra Wijaya. Membaca paragraf
pertama cerpen ini pembaca sudah diajak untuk menangkap sinyal-sinyal spirit
tak terindra: Kematian tidak sudi
menyelesaikan perkara, tidak suka menghapus dendam, dan tidak pernah berhasil
menyembunyikan kenangan. Setiap bait kehidupan yang tak nampak, tidak akan
berlalu begitu saja bersama angin senja. Mereka akan menjelma ukiran abadi yang
diwariskan pada kesaksian ingatan.
Dalam cerpen ini ditunjukkan bahwa kematian itu tidak
mampu menghapuskan rasa sakit hati, amarah, dan dendam. Sifat dan sikap seperti
juga sering dihadapi manusia. Ada beberapa hal yang saling berkaitan secara
simbolik dalam cerpen ini: kematian nenek
– buku usang yang selalu dalam pelukan Kartika – teman baru yang tak tampak
secara fisik. Relasi beberapa hal atau peristiwa itulah yang melahirkan
konstruksi realisme-magis. Kematian nenek merupakan sebuah keniscayaan. Tak ada
orang yang mampu mengelak dari sergapan maut. Tangisan dalam kematian bisa jadi
amat kultural. Dalam pelbagai kelompok manusia yang lain kematian justru
dianggap sebagai kemenangan yang harus disyukuri dengan penuh kegembiraan.
Kartika, anak 5 tahun, tampaknya tidak mengerti makna kematian, walaupun ia
mendekap buku harian Clara Ayu Juliarni Marhaendra Wijaya yang berisi alasan
mengapa Clara menusuk mata seseorang pada masa kecilnya. Maka, Kartika tidak
menangis karena tidak memahami kematian sang oma.
Obsesi Clara tentang masa kecil yang bahagia dan selalu
disambut dengan tangan terbuka oleh lingkungannya membawanya untuk memiliki
teman seperti yang diidealkan walau Clara sudah meninggal dunia. Bukan hanya
dendam obsesi pun ternyata tak larut oleh kematian. Kehadiran Kartika sahabat
dari dunia berbeda itu membuatnya ia amat bahagia. Maka, ketika Ratna, ibu
Kartika, sembunyi-sembunyi membaca buku harian itu, Clara merasa terusik
kedamaian dan kebahagiaannya. Ratih mengakhiri cerpen ini dengan amat bagus: Ratna berhenti membaca. Ia gemetar. Bulu
kuduknya berdiri. Clara adalah majikan Ibunya, sahabat kecil ibunya. Ia baru
sadar ada yang berdiri di hadapannya. Seorang anak dengan vintage dress dan
memegang gunting di tangan kirinya. Matanya terlihat merah menyala menyiratkan
amarah dan tatapannya menusuk tajam ke arahnya. Sial! Rupanya Clara tidak suka
Ratna membaca buku hariannya!
Realisme-magis bukanlah karya sastra fantasi murni
layaknya dongeng atau cerita anak-anak. Realisme-magis pada umumnya memadukan
karakter-karakter yang hidup di dunia nyata dengan mimpi atau obsesi yang
berada di wilayah tak terindra. Maka, cerpen-cerpen Ratih tidak terjatuh pada
narasi khayal, namun narasi yang masih bisa dirunut relasi kausalitas
antar-peristiwanya, walaupun hal itu berupa tumpukan berlapis-lapis antara
realita dan supranatural. Sebaiknya, Ratih setia pada jalan ini.
Dwi Ratih Ramadhany dengan realisme-magisnya dilahirkan
dari pergumulannya dengan iklim bersastra di Malang, entah itu melalui
perjumpaannya dengan dunia buku di kampus dan komunitas, atau dengan banyak
tokoh di Malang ini. Artinya, Ratih merupakan buah dari atmosfer bersastra di
kota Malang ini. Maka, bagi saya peran kampus, komunitas, buku, dan perjumpaan
masih ada. Tak gampang orang menolaknya.
Seoul, 5 Mei 2015
Komentar
Posting Komentar