NARASI MELAYU DALAM PUISI SYARIFUDDIN ARIFIN
NARASI MELAYU DALAM PUISI SYARIFUDDIN ARIFIN
Oleh Tengsoe Tjahjono
Melayu mengingatkan saya akan dendang dan
pantun, mengingatkan saya pada irama dan kata-kata bijak. Sebuah pesan selalu didendangkan
serta disampaikan secara lisan pada pelbagai kesempatan dan kepada pelbagai
kalangan. Nah, ketika saya membaca puisi-puisi Syarifuddin Arifin, seorang penyair Padang, saya seakan dibawa dalam
suasana Melayu tersebut.
Suasana Melayu, baik dalam puisi dan
lagu, dibangun oleh dua hal penting, yaitu isi dan ekspresi. Isi teks Melayu itu selalu berupa
pengejewantahan hidup sehari-hari dan mengandung pesan moral yang berupa tunjuk
ajar. Kita tentu ingat Gurindam Dua Belas Raja Ali Haji dan puisi-puisi Amir Hamzah. Sedangkan dari segi ekspresi teks Melayu kuat pada irama, repetisi,
diksi yang mengangkat fenomena alam dan budaya Melayu. Akibatnya, teks Melayu
terkesan rancak dan penuh gerak.
Mari kita perhatikan
Gurindam Pasal Kelima karya Raja Ali Haji berikut ini.
Ini gurindam pasal yang kelima:
Jika hendak mengenal orang berbangsa,
lihat
kepada budi dan bahasa,
Jika hendak
mengenal orang yang berbahagia,
sangat
memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak
mengenal orang mulia,
lihatlah
kepada kelakuan dia.
Jika hendak
mengenal orang yang berilmu,
bertanya
dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak
mengenal orang yang berakal,
di dalam
dunia mengambil bekal.
Jika hendak
mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada
ketika bercampur dengan orang ramai
Gurindam selalu berisi
petuah atau nasihat kepada setiap orang agar menjalani hidup sesuai dengan yang
dirodhai oleh Allah. Sangat bersifat didaktis. Sedangkan dari segi ekspresi
gurindam selalu mengedepankan irama. Perhatikan bentuk rima yang terdapat dalam
gurindam. Selalu berpola a-a-a-a. Repetisi kata dan frase sering dilakukan.
Akibatnya, membaca gurindam seperti mendendangkan syair yang penuh irama.
Bagaikan menyanyi, atau memang sungguh-sungguh bernyanyi. Itulah karakter
Melayu dalam gurindam.
Karakter Melayu juga
terdapat dalam puisi Amir Hamzah. Perhatikan puisi Amir Hamzah berikut ini.
TURUN
KEMBALI
Kalau aku dalam engkau
dan kau dalam aku
adakah begini jadinya
daku hamba
engkau penghulu ?
Aku dan
engkau berlainan
engkau
raja, maha raya
cahaya
halus tinggi mengawang
pohon
rindang menaung dunia.
Di bawah
teduh engkau kembangkan
aku berdiri
memati hari
pada bayang
engkau mainkan
aku melipur
meriang hati
Diterangi
cahaya engkau sinarkan
aku menaiki
tangga, mengawan
kecapi
firdausi melena telinga
menyentuh
gambuh dalam hatiku
Terlihat ke
bawah
kandil
kemerlap
melambai
cempaka ramai tertawa
hati
duniawi melambung tinggi
berpaling
aku turun kembali.
Jika Raja Ali Haji
tadi sangat kuat pada pesan, Amir Hamzah berusaha mewadahi pesan itu dalam
bingkai teks yang indah. Lagi-lagi repetisi dan rima masih menjadi pilihan
untuk membuat puisi ini menjadi sebuah dendang riang yang rancak. Perbedaannya
dengan gurindam Raja Ali Haji adalah upaya Amir Hamzah untuk memilih diksi yang
tidak lazim, misalnya mengawang, menaung,
memati, meriang, melipur, kecapi, melena, gambuh, kandil, kemerlap, cempaka,
dan lain-lain. Kata secara morfologis dibangun oleh Amir Hamzah demi
kepentingan irama. Kata menaung, memati,
melena dan sebagainya sebenarnya
kurang gramatikal, namun sengaja dikonstruksi demi kepentingan irama. Dan, hal
itu menjadi warna pribadi Amir Hamzah. Kemelayuan Amir Hamzah diperbaharui
dengan menghadirkan diksi yang demikian.
Sebagai penyair
Padang, walaupun Syarifuddin Arifin dilahirkan di Jakarta, warna Melayu terasa
sangat kuat. Tentu, saya tidak dalam pretensi untuk mengait-ngaitkan antara
Raja Ali Haji, Amir Hamzah, dan Syarifuddin Arifin. Mereka berada pada ruang
dan saat yang jauh berbeda. Hanya, sebagai pribadi yang tak bisa dilepaskan
dari Andalas, kemelayuan penyair ini tak bisa ditolak begitu saja.
Coba perhatikan puisi Syarifuddin Arifin berikut ini.
MENANTI JANJI
rindu
ini, menikam jantungku
lalu
bagai agar-agar, hatiku diremas
rintihan
yang tak tuntas membuku
lailatulqadar
semakin di batas
terbanglah
ruh menuju langit
zarah
aku bagai debu mengubur sajadah ini
mengiang
di telinga, mendayu dan mendayu
lalu
angin pun bertiup, mengurai pelangi
suara
itu makin merdu, berdentang-dentang
memalu
gendrang telinga ini
kusantap
juga semuanya, tanpa baris penanda
mengalirkan
bah dari hulu
menyesak
buku-buku persendian ini
aku
kan tetap menanam rindu
menggunggung
seluruh
membenamkan
semua
di
sini aku menanti
kunanti
dan selalu kunanti
pada
menit dan detik lailatulqadar
yang
Kau janjikan
sejak
meringkuk dalam rahim
sampai
mati!
(Padang,
13 Ramadan 1433/ 3Agustus 2012)
Dalam bait pertama
puisi Menanti Janji tersebut gaya
pantun jelas terpancar. Puisi ini sudah dibuka dengan idiom teks Melayu.
Perhatikan pula bentuk morfologi membuku,
mendayu, menyesak, menggunggung, dan sebagainya mengingatkan saya akan
puisi Amir Hamzah. Perbedaannya terletak pada diksi. Syarifuddin Arifin justru
memilih kata-kata sehari-hari. Nah, ini merupakan kekuatan yang membedakannya
dengan karakter teks Melayu sebelumnya.
Membaca puisi Menanti Janji tersebut saya diajak
mengikuti tapak alur peziarahan rohani si aku lirik. Aku lirik sedang menanti
janji. Janji itu melahirkan rindu. Rindu apa? Rindu pada Lailatul Qadar.
Mengapa Lailatul Qadar dirindukan? Karena Lailatul Qadar merupakan malam
pelimpahan keutamaan yang dijanjikan oleh Allah kepada umat Islam untuk ikut
mendapatkan bagian dari pelimpahan keutamaan itu. Keutamaan
tersebut didasarkan pada nilai Lailatul Qadar sebagai malam yang lebih baik dari seribu
bulan.
Janji itulah yang
akhirnya menggerakkan alur perjalanan rohani si aku lirik. Rentetan peristiwa
itu adalah rindu menikam jantung -- ruh
yang rindu terbang menuju langit -- semakin dekat semakin terasa kemerduan
suara yang dirindukan -- kerinduan semakin memuncak -- dan ternyata masih harus
lebih lama menanti. Rentetan peristiwa itu merupakan bagian dari sebuah
narasi.
Kesukaan terhadap
kisah atau narasi sebenarnya tak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia.
Mengapa demikian? Sebab manusia itu sendiri jika bergerak dalam sebuah ruang
narasi. Setiap manusia memiliki narasinya yang tak akan berkesudahan. Narasi
menurut Marcel Danesi (2011) merupakan teks yang telah dikonstruksikan dengan
cara tertentu sehingga merepresentasikan rangkaian peristiwa atau tindakan yang
dirasa saling berhubungan satu sama lain secara logis. Esensi narasi adalah
alur, karakter, dan latar. Ketiga hal itu merupakan unsur-unsur pembangun
narasi. Puisi-puisi Syarifuddin Arifin sangat terlihat format narasinya. Dalam
puisi Menanti Janji penampakan alur
sudah sangat jelas seperti yang saya gambarkan di atas. Lalu siapa karakter
dalam puisi tersebut. Karakternya adalah si aku lirik, pribadi yang sangat
merindukan pemenuhan janji Lailatul Qadar. Latar apa yang tergambar dalam puisi
itu? Tampaknya aku lirik berada dalam sebuah ruang doa: zarah aku bagai debu mengubur sajadah ini. Kata sajadah membawa kita terhadap pemahaman
mengenai ruang tertentu, yaitu ruang tempat manusia bertemu dengan Allah. Dengan
mengikuti seluruh unsur yang membangun narasi tersebut, kita bisa sampai kepada
makna yang hendak diusung oleh sang penyair bahwa kerinduan akan Lailatur Qadar akan terpuasi jika seseorang
sungguh-sungguh berjalan dalam garis yang telah diamanahkan oleh Allah. Jika
tidak, manusia memerlukan waktu lebih lama lagi untuk menanti saat yang indah
itu. Jelas sudah bagaimana bingkai puisi Syariffudin Arifin, yaitu: narasi
Melayu. Dan, inilah yang membedakannya dengan para penyair pendahulu, seperti
Raja Ali Haji dan Amir Hamzah. Kemelayuan Syarifuddin Arifin dikuatkan dengan
konsep narasi yang tergambar jelas dalam puisi-puisinya.
Yang menarik lagi
ialah betapa tajam Syarifuddin Arifin mengais peristiwa atau fenomena sederhana
yang terjadi di sekitarnya. Kemudian peristiwa tersebut diberi makna baru
sesuai dengan persoalan yang sedang marak dewasa ini. Apa yang terjadi di
kesadaran penyair saat melihat semut berbaris di dinding? Tentu jangan
dibayangkan menjadi semut merah dalam lagu Obbie Mesakh. Perhatikan puisi
berikut ini.
TAK SEMUT
BERMANIS-MANIS
ia berbaris, melengkung di dinding
menggaris mendengung melengking
bersalaman cipika-cipiki jua
ludahnya menyatukan gula
bertelur di reranting kayu
liurnya manis membeking madu
menari bulan di kedipan bintang
semut api memerah meradang
semut berbaris berderap maju
mendaki puncak demi sang ratu
tak semut bermanis-manis
menghisap madu menahan tangis
gula menumpuk mendekam empedu
(Padang, 2015)
Judul Tak Semut Bermanis-manis merupakan judul
yang medorong orang bertanya-tanya, baik dari segi sintaksis maupun secara
semantis. Ada yang ganjil dalam judul itu. Biasanya kata "tak"
dirangkai dengan verba, bukan nomina, misalnya tak tidur, tak berjalan, tak
bertempur, dan lain-lain. Sedangkan pernyataan ingkar untuk nomina biasanya
memakai kata "bukan", misalnya bukan semut, bukan saya, bukan batu,
dan lain-lain. Nah, oleh karena itu menurut pemikiran saya yang dimaksud oleh
penyair memang bukan "tak semut"nya, tetapi "tak ada semut"
bermanis-manis. Artinya, apa yang dikerjakan semut dengan berbondong-bondong
menggotong makanan sebenarnya bukan karya yang menggembirakan hati mereka.
Mereka bekerja dengan amat terpaksa demi sang ratu mereka, demi pemimpin
mereka. Kejutan terjadi pada akhir baris "
gula menumpuk mendekam empedu". Tumpukan gula yang semestinya
menggembirakan mereka, justru membuat nasib buruk pada empedunya. Sekali lagi hanya
karena demi sang ratu.
Puisi tersebut
sebenarnya hanya merupakan deskripsi atas perilaku para semut. Jamak diketahui
oleh kita. Namun, dengan gaya rancak narasi Melayunya, Syarifuddin Arifin
justru mengangkat fenomena semut sebagai metafora atas segala hal yang terjadi
saat ini, terutama masalah yang berkaitan dengan relasi pemimpin dan rakyatnya.
Bukan relasi personal dan sosial yang indah yang mengemuka, tetapi justru
relasi hierarki kekuasaan antara penguasa dan yang dikuasai, antara pemerintah
dan yang diperintah, antara yang berdaya dan yang diperdayai.
Syarifuddin Arifin
yang wartawan itu kepekaan jurnalisme patut diapresiasi. Mungkin dia tak hendak
berpolitik, tetapi karya-karyanya justru banyak bersinggungan dengan politik, dengan
penyelenggaraan negara dan keadilan sosial. Perhatikan puisinya berikut ini.
TENTANG
BUNGA
sebaris bunga berharap, bakal ada angin
dan
angin akan memilih tanah gembur
bagi
persemaiannya
bunga-bunga
itu menunduk
melirik
ke tanah berbatu
ada
kumbang menggamit
mentari
jadi pucat tiba-tiba
lalu
mengintip di selembar daun
'bagaimana
mungkin bisa hidup di batu
sedang
sari anjlok harganya?'
terdengar
dengung kumbang
mematahkan
ranting tak berdaun
sebaris
bunga masih berharap bersama aroma
yang
tersemai dari airmata
(Padang,
2013 )
Puisi Tentang Bunga di atas juga sebuah
narasi. Siapa karakternya? Tentu sekuntum bunga. Di mana latarnya? Bisa jadi di
taman, di halaman, atau di pot bunga. Di tempat yang ranting-ranting pohonnya
tak berdaun. Bagaimana pula alurnya?
Bunga berharap angin datang menggemburkan tanah, namun angin justru membawanya
ke tanah berbatu. Jadilah semua ragu, mungkinkah bisa hidup? Akhir alur si
bunga berharap aroma yang tersemai bersama air mata. Sebuah kisah yang lagi-lagi
amat sederhana. Mungkin prinsip Syarifuddin Arifin jika dengan sederhana saja
sudah sampai kepada makna, mengapa harus memilih jalan yang rumit.
Pernyataan kunci yang
terdapat dalam puisi ini adalah: 'bagaimana mungkin bisa hidup di batu/
sedang
sari anjlok harganya?'. Kejutan
puisi ini tidak terletak pada akhir puisi, namun justru pada bait ke-3 dari 4
bait yang ada. Ketika penyair menyebut "anjlok harganya" kita diajak
untuk berkelana ke ranah sosio-ekonomi. Dan, memang itulah yang sedang dihadapi
bangsa ini. Bunga, entah saya atau Anda, berada dalam situasi ekonomi yang
serba sulit dan berdampak pada lahirnya berbagai macam persoalan sosial.
Ada dua kesulitan yang
dihadapi bunga yaitu hidup di batu dan sari anjlok harganya. Batu sebagai
tempat, lingkung sosial tempat bunga hidup, tentu bukanlah tempat yang ideal.
Tempat seperti itu tidak akan pernah membawa kesuburan, kecuali kita dengan
sabar melakukan rekayasa terhadapnya. Batu juga melukiskan
"kekerasan", "kecongkakan", "ketulian", dan
sebagainya dari para pemangku pemerintahan terhadap kebijakan yang
dilahirkannya. Lebih-lebih kebijakan di sektor ekonomi. Sifat "batu yang
keras kepala itu" berdampak pada lahirnya kebijakan harga yang tak
bertoleransi terhadap kondisi masyarakat. Itulah yang menyebabkan bunga hanya
menunduk dan berharap belas kasih dari mereka yang terpanggil untuk peduli.
Tapi, mungkinkah?
Dengan narasi
Melayunya Syarifuddin Arifin tampaknya memang tak mengajak orang bernyanyi atau
menari begitu saja. Sebab sebenarnya puisi-puisinya merupakan puisi geram dan
marah. Tentu, marah dan geram model penyair. Bukan kejumawaan yang dihadirkan,
namun kesederhanaan dan kerendahhatian, bahkan mungkin melalui pendekatan
komedi yang mengundang gelak tawa. Perhatikan puisi satire yang sangat halus
berikut ini.
MENYAKSIKAN
IJAB KABUL
dia mengucapkan ijab yang dikabulkan calon menantu
para saksi berucap, mengesahkan
pernikahan itu
hati
siapa yang berbunga?
dia
menebarkan senyum pada setiap konstituen
orang-orang
berucap, perampok tujuh turunan
rahim
siapa yang tersiksa?
(Padang, 2014)
Kisah ijab kabul
merupakan kisah para calon wakil rakyat atau para pemimpin bangsa yang dilantik
secara resmi menduduki jabatannya. Kisah yang sering kita tonton di televisi.
Namun, di tangan seorang Syarifuddin Arifin lahirlah sebuah puisi yang satire
yang sangat paradoksal. Ijab kabul yang sakral ditutup dengan baris: rahim siapa yang tersiksa? Karena
baris terakhir itu sebuah pertanyaan, silakan Anda mencoba menjawabnya sendiri.
Kiranya saya tak harus
tuntas membicarakan puisi-puisi Syarifuddin Arifin dalam tulisan singkat ini.
Sebab, semakin panjang saya menulis, Anda semakin terganggu untuk secara
dekat-akrab berbincang dengan puisi-puisi ini. Puisi-puisi ini mempunyai
ketahanan terus-menerus andaikan diajak berbincang empat-mata. Lebih-lebih jika
ditemani segelas kopi. Sebab puisi-puisi Syarifuddin Arifin ini daya pesonanya
luar biasa. Saya menamai puisi Syarifuddin Arifin sebagai sebuah narasi Melayu.
Silakan Anda memberi nama lain. Sebab itu akan semakin memperkaya dan
memperluas cakrawala makna yang ditebarkan oleh sang penyair. Siapkan kopi
Anda.
Seoul, 19 Maret 2015
Yusri Fajar, Tengsoe Tjahjono, Syarifuddin Arifin
Komentar
Posting Komentar