HAZIM AMIR: PUISI ITU SEDERHANA
HAZIM AMIR: PUISI
ITU SEDERHANA
Oleh Tengsoe Tjahjono
Perkembangan seni sastra dan teater di Malang tak
dipisahkan dengan kiprah Hazim Amir. Hazim Amir yang lahir di Yogya 3 Agustus
1937 dan wafat pada 20 Mei 1997 memiliki pengaruh yang luar biasa bagi pertumbuhan
seni sastra, teater, bahkan seni yang lain. Sikapnya yang sangat egaliter dan
humanis mampu memberikan inspirasi bagi para seniman Malang ketika itu.
Pada tahun 1980-an jika seniman dari luar Malang datang
ke kota ini, maka yang menjadi ‘jujugan’ ialah rumah Hazim Amir. Rumah yang
sekaligus musium pribadinya ramai dikunjungi orang. Tentu hal itu bukan tanpa
alasan. Tentu, alasan utama ialah ketokohan dia di kalangan para seniman. Ketokohan
dia lahir bukan karena sebuah kesadaran konstruksi, namun karena buah dari
kerja dia yang sungguh-sungguh di bidang kesenian, terutama teater, serta
kebudayaan secara lebih luas.
Teater merupakan sebuah compound-art atau mixed-art,
begitu menurutnya ketika itu. Oleh karenanya seorang seniman teater harus akrab
dengan seni sastra, seni lukis, seni rupa, dan sebagainya. Maka, jangan heran,
yang berkunjung ke rumahnya berbagai seniman dari banyak disiplin seni. Emha
Ainun Najib (sastrawan), Umar Kayam (budayawan), Prapto (penari), Halim HD dan
sebagainya pasti mampir ke rumahnya jika pas
pergi ke Malang. Tentu hal itu sangat menguntungkan bagi para mahasiswa Dr.
Hazim Amir, M.A. yang bisa belajar langsung dari para pakar seni di bidang
masing-masing. Lebih-lebih kehadiran mereka sangat bermanfaat bagi anggota kelompok
Teater Melarat, teater binaan Hazim Amir,
untuk memperkaya wawasan seni dan budaya mereka.
Hazim Amir tumbuh menjadi seniman yang memiliki wawasan
multidimensi. Di samping mampu memotivasi anak-anak muda menciptakan pementasan
teater yang bagus dan pembacaan puisi yang berhasil; dia juga mampu menulis
dengan baik di bidang esai, cerita pendek, maupun puisi. Pada peringatan 100
hari wafatnya diterbitkan sebuah buku kumpulan puisi karya Hazim Amir yang
berjudul Sajak-sajak Kelabu.
Diksi Puisi Harus
Konkret
“Kata dalam puisi harus konkret, bukan abstrak. Kata
konkret akan mampu membentuk imaji dalam benak pembaca,” begitu nasihatnya pada
setiap anak muda yang mau menulis puisi. Nasihat itu bukan hanya dituturkan,
namun juga dibuktikan pada setiap puisi yang diciptakannya. Bahkan, dia berpesan sebuah puisi yang baik
tidak harus berangkat dari sebuah ide besar. Puisi yang baik bisa saja
berangkat dari ide kecil, namun memiliki amanat yang sangat penting bagi
kemanusiaan.
Dalam puisinya yang berjudul Surat Seorang Anak Kepada Tuhan ia menulis: Tuhan,// guru agamaku yang gemuk dan lucu/ pada akhir setiap pelajaran
selalu berkata/ bahwa Kau Maha Pengasih dan Penyayang// dan eyangku yang
jangkung dan kurus/ pada akhir setiap makan malam selalu bercerita/ bahwa Nabi
amat mengasihi anak-anak// tetapi/ hari ini sebuah kompor meledak di perut
ibuku/ dan Kau biarkan ibuku menggelepar di sana// Tuhan,/ aku tidak mengerti.
Puisi ini terbaca tidak berangkat dari sebuah tema besar. Hazim Amir sengaja
memilih perspektif seorang anak kecil ketika harus berhadapan dengan fakta
tentang musibah yang menimpa ibunya. Kenangan anak kecil itu tentang guru agama
dan kakeknya mengenai Kemahabaikan Tuhan dan fakta musibah yang menimpa ibunya
berusaha ia cari benang merahnya. Sebenarnya, secara sederhana anak itu sedang
berpikir dengan mencari relasi antarfakta yang pernah ia jumpai,
antarpengalaman. Dan, simpulannya sangat bisa dipahami: aku tidak mengerti. Dalam puisi itu jelas sekali bahwa anak kecil
itu tidak bertanya mengapa musibah itu menimpa ibunya, anak kecil itu hanya
berpikir tentang posisi Tuhan saat bencana itu tiba. Dengan kata lain, walau ia
tidak mengerti, ia tidak akan memberontak kepada takdir. Hazim Amir sebenarnya
sedang menyindir setiap orang yang setiap kali menerima musibah, besar atau
kecil, lalu berkata, “Tuhan sungguh tidak adil. Mengapa musibah itu menimpa
diriku?” Nah, dari tema kecil, bahasa yang cenderung lugas, puisi Hazim Amir mampu
merangkum pesan yang sangat dalam: refleksi religius.
Puisi lahir dari kedekatan penyair dengan peristiwa. Oleh
karena itu, penyair, seniman secara umum, harus melakukan eksplorasi dan riset terus-menerus
terhadap alam dan peristiwa tersebut. Bagi Hazim Amir, sastra tak bisa lahir
dari belakang meja. Dalam puisinya yang berjudul Kera Kecil ia menulis: di
pohon trembesi itu/ pinggangnya perih terikat rantai/ bagai badut yang baik/ ia
sembunyikan perih itu/ di balik seringai. Puisi ini amat deskriptif.
Penyair menuliskan sesuatu yang diindra. Namun, kepekaan seorang penyair
menangkap peristiwa yang bisa dikembangkan menjadi puisi itulah yang acapkali
tidak dimiliki orang lain. Apa yang dialami oleh kera kecil ini sudah jamak terjadi. Tapi, siapa yang bisa
memiliki daya empati untuk ikut merasakan perih si kera. Tidaklah banyak. Kera
kecil bisa saja menjadi metafora dari sekelompok orang di masyarakat yang
bernasib seperti itu: terikat tanpa daya oleh rantai kekuasaan, baik kekuasaan
secara fisik maupun secara ideologis. Puisi sederhana ini sesungguhnya
mewartakan amanat humanistik yang besar.
Almarhum Hazim Amir sudah menjadi masa lalu bagi kota
Malang ini, namun karyanya tak bisa pupus oleh waktu. Spiritnya membangkitkan
apresiasi anak muda terhadap seni dan budaya di kota Malang pantas diteladani.
Telah banyak lahir penyair baru di kota Malang, yang tentu saja sudah hidup di
masa berbeda dan warna puitika yang lain. Namun, nasihat Hazim Amir perihal
diksi konkret, bukan tema besar, amanat yang membuat pembaca memperoleh
pengalaman baru dalam hidupnya, tampaknya masih relevan untuk dipraktikkan
dalam proses penulisan. Puisi itu sederhana sebenarnya.
Seoul, 20 Mei 2015
Pak Tengsoe...ada beberapa puisi yang saya baca, menggunakan berbagai tanda hubung di dalamnya. Saya sendiri nggak paham secara pasti apa fungsi tanda baca dalam puisi. Maukah pak Tengsoe menulis esai tentang fungsi tanda baca dalam puisi
BalasHapus