SURABAYA: KOTA PAHLAWAN NAN SEKSI
SURABAYA: KOTA PAHLAWAN NAN SEKSI
Tengsoe Tjahjono
apakah Allah dan para malaikat sempat
tidur ketika aku minta wiski di pub?
(Makam Paneleh Surabaya -- Beni Setia)
Kota? Tampaknya ini sangat menarik. Sampai-sampai penyair
pun tergoda untuk menuliskannya ke dalam puisi. Melihat kota melihat pula
kondisi masyarakatnya. Melihat warga melihat pula kotanya. Ada hubungan
resiprokal antara kota dan manusia. Kota, yang menurut Jorge E. Hardoy,
memiliki ukuran dan jumlah penduduk yang besar, tempat masyarakat tinggal dan
bekerja, bersifat heterogen dan hierarkis dalam masyarakat, menjadi pusat
ekonomi dan pemerintahan, serta berfungsi sebagai tempat penyebaran dan
distribusi segala hal, tentu melahirkan aneka macam persoalan sosial. Tanpa
manajemen perkotaan yang baik kota akan menjadi hutan rimba pergaulan. Siapa
kuat siapa menang, siapa nekat akan selamat.
Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia tentu
saja memiliki ciri-ciri seperti itu. Rasanya apa yang ditulis Jorge E. Hardoy
itu menjadi sebuah keniscayaan untuk sebuah kota. Tak dapat dihindari. Hubungan
manusia dan kota yang bersifat resiprokal tersebut menuntut manusia untuk
melakukan pilihan. Hanyut dalam pijar etalase, klub-klub malam, tempat rempang
sepanjang Kalimas, atau memilih jalan pijak: tak gampang larut oleh panggilan
daging dan dunia.
Dalam puisi “Makam Paneleh” Beni Setia menyuguhkan
paradoksal-paradoksal laku manusia. Kematian – mabok – Tuhan seakan menjadi
tiga entitas yang saling berbeda dan tidak saling berhubungan dalam laku
manusia itu. Mabok ya mabok, mati ya mati, Tuhan ya Tuhan. Kondisi seperti itu
bukan hanya dijumpai dalam kehidupan masyarakat strata bawah atau menengah di
Makam Paneleh, namun juga dalam kehidupan masyarakat di semua strata. Misalnya
saja antara korupsi – amal – Tuhan seakan tidak memiliki tautan satu dengan
yang lain. Waktu korupsi ya korupsi saja. Tuhan seakan tak hadir di situ,
ditinggalkan atau malah disingkirkan. Bukankah semestinya iman, laku, dan Tuhan
menyatu dalam laku, bahasa, dan spirit.
Kota yang disesaki oleh manusia membuat manusia itu
menjadi anonim. Mereka hidup bersama, tetapi tidak saling mengenal satu dengan
yang lain, berdekatan secara fisik namun sekaligus berjauhan secara batin.
Akibatnya manusia tidak peduli satu dengan yang lain. Tak ada upaya saling
menegur dan mengingatkan. Mabok ya mabok sajalah. Itu urusan Anda. Kurang lebih
seperti itu. Walau, hal itu terjadi di pinggir kematian.
Sikap tidak peduli, bahkan impersonal itu, juga tampak
pada sikap masyarakat terhadap lingkungan (manusia, benda-benda, dan alam).
Dalam guritan yang berjudul “Surabaya,
Ing Balai Pemuda” Widodo Basuki menulis begini.
...
surabaya kutha
pahlawan, cuk!
ngono kandhamu
: delengen bangkene para
pahlawan
nggunung dadi monumen sampah
pating slengkrah
Widodo Basuki tampak geram mengamati perilaku warga kota.
Dia lantang berkata: lihatlah bangkai
para pahlawan/ menggunung jadi monumen sampah/ berserak. Ini juga sebuah
ironi yang amat satir. Ingat, puisi ini juga memiliki relasi analogi dan
homologi dengan fakta yang ada, simbol dari fakta kota yang ada. Oposisi binner
antara pahlawan dan sampah merupakan oposisi sederhana sebenarnya. Orang baik
dan tidak baik selalu saja ada pada setiap kota. Persoalannya justru mengapa
fakta tersebut bisa lahir? Saya lalu ingat kesimpulan Sorokh, Zimmerman, dan
Louis Wirth bahwa kehidupan kota menciptakan kepribadian kota, materialistis,
berorientasi kepentingan, berdikari (self
sufficient), impersonal, tergesa-gesa, interaksi sosial dangkal, manipulatif,
insekuritas (perasaan tidak aman) dan disorganisasi pribadi.
Ketika orang memilih menjadi koruptor, penipu, atau
pelacur sesungguhnya bukan semata-mata karena persoalan ekonomi. Namun, bisa
jadi karena sifat materialistis, ingin mandiri, impersonal, dan disorganisasi
pribadi. Dan, itulah ciri-ciri masyarakat kota dan warna-warni pilihan
hidupnya. Bagi Widodo Basuki Surabaya yang dikenal sebagai Kota Pahlawan jangan
sampai dinodai oleh perilaku yang tidak terpuji. Mungkinkah itu? Jawabannya
sangat bergantung pada orientasi dan motivasi masing-masing warga kota.
Leres Budi Santoso melihat Surabaya dengan cara berbeda.
Begini puisi lengkap Leres.
AKU ADALAH KOTA
kota tidaklah
sebuas seperti sangkaanmu semula
ia hanyalah
relung-relung dalam nadiku
di mataku kota
lebih menyerupai pelacur
di pinggir jalan
kota adalah mawar
yang hinggap di mataku
jam-jam kota lenyap
tersingkir dari imajinasiku
dalam diamnya kota
hanyalah secarik kertas putih
apabila ingin
kugambar secermat-cermatnya
aku adalah kota itu
sendiri!
kota bukanlah gugus
lautan yang memaksa nelayan
tunduk menyerahkan
nasib dan sampannya
pada kuasanya yang
bergulung-gulung
kota adalah selimut
yang menggantungkan
harapan hidupnya
atas kisi-kisi jendela
yang setiap pagi
kubuka lebar-lebar
Leres menulis kota menurut perspektif warga. Jadi, lebih
bersifat pragmatis praktis, bahkan profan. Karenanya seperti dalam puisi Beni
Setia: apakah Allah dan para malaikat
sempat/
tidur ketika aku
minta wiski di pub?. Pertanyaan Beni sesungguhnya bisa secara gampang
dijawab. Tuhan tidak pernah tidur. Hanya manusia saja yang tidak peduli akan
hakikat Tuhan saat mereka menjalankan sebuah laku. Kota menjadi entitas yang
sangat diperlukan oleh aku lirik demi memenuhi hasrat duniawinya.
Menurut Harvey Cox dalam perspektif pragmatisme, dunia
tidak dilihat sebagai suatu kesatuan metafisik, sebaliknya dipahami sebagai
proyek dan masalah. Sedang profanitas mengacu pada kecenderungan manusia
menjadi sekuler dan meletakkan Tuhan sebagai seakan-akan tidak hadir, walau
diimani. Kota menjadi proyek untuk memecahkan masalah manusia.
Pembangunan kota Surabaya diarahkan untuk menunjang
kebutuhan sesaat manusia, misalnya pembangunan pusat-pusat pembelanjaan.
Mengapa Surabaya tidak membangun gallery, pusat kesenian, gedung pertunjukan
yang representatif untuk pertunjukan musik misalnya, pembangunan sarana wisata
budaya padahal Surabaya memiliki banyak gedung bersejarah? Warga kota justru
diarahkan untuk mengenal dunia asing daripada bumi sendiri yang asri dan penuh
nilai. Kebanggaaan akan kota tampak tidak terlihat. Inilah pendekatan proyek
itu yang tak memiliki nilai kekal. Surabaya yang dikenal sebagai Kota Pahlawan
terkesan pucat pasi, kering tanpa nuansa, roh sejarahnya hilang.
Leres menyebut bahwa kota itu ibarat pelacur, bunga
mawar, kertas putih, dan selimut. Sebagai pelacur kota itu sangat menawan
secara fisik, menggoda secara badani. Maka, kota harus bersolek dan berdandan
siang dan malam. Jadilah kota sebagai jawaban atas keinginan sesaat, bukan
kebutuhan kekal. Sebagai bunga mawar kota menawarkan keindahan yang lain yakni
harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Di kota orang bisa mewujudkan mimpinya
yang gagal mereka penuhi saat tinggal di desa agraris mereka. Kota juga
dinyatakan sebagai kertas putih. Kota sebetulnya merupakan entitas netral,
tidak baik juga tidak buruk. Warna kota sangat ditentukan oleh siapa yang
melukis dan menulis di atas kertas putih tersebut. Maka, Leres menulis: kota tidaklah sebuas seperti sangkaanmu
semula/ ia hanyalah relung-relung dalam nadiku. Predikasi buas terhadap
kota sesungguhnya dikonstruksi oleh manusia, bukan oleh kota. Kota juga
didudukkan sebagai selimut oleh Leres. Perlindungan bagi manusia dari cuaca
atau suhu udara yang tidak nyaman. Simbol-simbol tadi mengarah pada satu hal
saja: secara pragmatis kota dibutuhkan oleh manusia.
Walaupun Aming Aminoedhin dalam puisinya “Memang Benarlah
Malang” menulis: padahal bagiku, kota/ adalah
referensi bagi teguhnya hati/ tetap tegak berdiri. tanpa goyah/ meski batu-batu uji/ telah
saling-silang berganti/ seperti tanpa henti, kota tetaplah kota, buas atau
damai bergantung dari subjek manusianya. Sebagai kertas putih menurut puisi
Leres, kota dan manusia memiliki relasi simbiosis mutualisme. Saling memberi
dan saling menerima. Ketika manusia hanya ingin menerima saja, tanpa peduli
terhadap lingkungan kota, terjadilah relasi yang sungguh tidak adil. Jalur
hijau yang tak lagi hijau, fasilitas umum yang kotor dan kacau balau, sampah
menumpuk di jalan dan sungai-sungai, dan sebagainya merupakan potret adanya
relasi yang timpang antara manusia dan kota. Akibatnya seperti yang ditulis Hidayat
Raharja dalam puisinya “Surabaya XXI” bahwa “Sampah dan gedung mengalir/ Kalimas dan Kenjeran berlendir/ dengan
linding hitam menuliskan kelam.”
Kondisi seperti membuat kota Surabaya menurut Rudi
Isbandi dalam puisinya yang berjudul “Tiga Musim di Surabaya” bisa jadi akan
memiliki tiga musim. Rudi menulis: Di
Surabaya sekarang ada tiga musim/ musim penghujan musim kemarau dan musim gugur/
memang pada saatnya segala yang ada mesti gugur. Dan, musim gugur di
Surabaya tidak akan cantik seperti di negara-negara Eropa, sebab gugur yang
dimaksud adalah kebinasaan atau kepunahan. Jika tata ruang, tanah, air, dan
sampah tidak dikelola dengan baik kehancuran menjadi sebuah keniscayaan bagi
sebuah kota besar.
Surabaya kini sudah berusia 722 tahun. Tentu usia yang
sudah sangat tua dibandingkan dengan usia Republik Indonesia tercinta. Namun
pekerjaan besar masih terus menunggu. Surabaya jangan hanya pandai bersolek
saja, namun harus mampu tumbuh menjadi kota yang berbudaya, aman dan nyaman
bagi warganya. Sebutan Kota Pahlawan jangan hanya menjadi ikon mati belaka.
Gedung-gedung bersejarah yang benar-benar menjadi saksi narasi perjalanan
bangsa hendaknya sungguh dipelihara dan ditonjolkan sebagai objek wisata
edukasi bagi bangsa ini agar semakin mencintai bangsa dan negaranya.
Kumpulan Puisi dan Guritan yang bertajuk Malsasa X: Retrospeksi Malsasa Surabaya –
722 bisa menjadi pintu masuk memahami kota dari perspektif para penyair.
Para penyair yang tergabung dalam Antologi Malsasa ini tentu mereka yang dekat,
akrab, dan mencintai Surabaya. Kritik atau komentar atas kota yang mereka tulis
dalam bentuk puisi, lahir dari hasrat untuk bersama membangun kota Surabaya
menjadi lebih berbudaya. Jangan sampai terjadi seperti yang ditulis Herry
Lamongan dalam puisi yang berjudul “Kota yang Padam”: jula-juli dihempas di tepi jalan/ kota lantas hitam diam-diam/ lenyap
ingatankah Surabaya/ hingga jatidiri dalam tubuhnya/ sengaja ia campakkan ke trotoar.
Dirgahayu Kota Surabaya.
Seoul, 2 Mei 2015
Bercerita tentang proses kreatif penulisan puisi ketika berada di Korea.
Komentar
Posting Komentar