Puisi tentang Korea karya Tengsoe Tjahjono
Tengsoe Tjahjono
PINTU
Kukenal kamu sebagai pintu. Kukenali karena bentukmu.
Melewatimu harus menunduk, bayang-bayang separoh badan
Hanya debu, hanya debulah aku
Lalu kamu ajak aku
bersila pada dataran papan hangat. Energi
mengalir dari batin ditumbuk dalam lesung yang tersedia
di sudut
“Bukankah kelembutan itu sebuah pintu abadi?” Pintu lain
dari
gerbangmu
tak ada yang bisa
mengekalkan buka atau tutup
salammu selalu bersambut
dalam bayang separoh tubuh
Seoul,
30 Maret 2014
Tengsoe Tjahjono
MELINGKARI DANAU SEOKCHON
Guguran kelopak sewarna tanah tak kan bisa mencatat kekal
Orang-orang lalu-lalang di benak, bercium dan berteriak
Kecipak danau mengundang mimpi. Perahu-perahu kecil
Segelas kopi pahit di kafe seberang
4000 langkah sudah. Bahkan lebih. Tak dijumpainya letih.
Siklus, katamu.
Darah berangkat dan pergi dari kepundan jantung
Mereka duduk di bangku berusaha menangkap makna air.
Bayang tak
pernah tinggalkan tubuh, antara setia dan garis takdir.
Toh, tak
ada yang benar-benar berhenti. Mata mengitari danau, memotret
riak yang tak terindra
“Hidup adalah jejak, jangan henti, sebelum benar usai.”
Pada tanah kau kuburkan kelopak sakura
Kau tak bicara
Seoul,
13 April 2014
Tengsoe Tjahjono
MELUKIS
Sungai dan batu-batu tunduk pada matamu. Riaknya mengalir
di kuping, mengirimkan warna pada kanvas kabut. Di hutan Seoul daun pun
terapung , padamu bersapa, “Adakah lorong untuk pulang atau sembunyi?”
Aku tak mengenalmu seperti tak kukenali tapak batu. Yang kutahu kamu meruang dalam tubuh rimba
raya, memeluk sungai ke dalam dada yang selalu bertanya. Kuas pun menyapu,
garis-garis tegas namun tak cemburu, melunakkan batu-batu
Adalah angin. Tak mengenal dinding. Begitu mudah
menerobos perangkap pohon-pohon. Seperti mata yang merekam setiap gerak dan
setiap diam, menafsirkannya ke dalam goresan. “Semakin tak sempurna, semakin
nyata akulah manusia.”
Antara biru atau ungu, hijau atau jingga, sungguh bergantung
kepada cahaya. Dan, cahaya hanya dekat dengan matamu, tenggelam dan larut. Warna pun berenangan dengan ekornya yang
panjang, membentuk komposisi dan koreografi alir. Cat hanya mengikut, bergerak
oleh sihir.
Merapat pada pohon, pada sandaran yang tidak pernah mati.
Musim hanya mengubah warna kulit, bukan jiwa. Lukisan tak harus selesai saat
ini supaya jejak selalu berdebam pada darah. Hidup memang bergegas tapi
melambat di cuaca sungai. “Adakah abadi?
Hanya laku di bumi dan rumahmu nanti.”
Tak ada sepi sebab jemari selalu menakar warna, membilang
gelisah pada garis dan bidang. Batu-batu di kanvas selalu terbuka untuk dihias.
Dengan warna kuning sekali pun. Warna kemarau dan musim gugur. Walau, sungguh,
lukisan ini tak bisa sungguh-sungguh selesai.
Seoul, 27 April 2014
Tengsoe Tjahjono
SEOUL TAK TERPEJAM
Malam ini aku ingin terpejam bersama Seoul, merebahkan
letih
ke dada sunyi yang keras, sedingin gunung batu di Jeju
yang tak
kuasa mengenali waktu
Mungkin sudah kulingkari kota. Hampir seluruhnya.
Kukenali
jalan, sungai, plaza, apartemen, subway. Seoul tetap saja
tak menyediakan matanya untuk bersama terpejam
Siapa sesungguhnya gelisah: cuaca atau denting kaca
jendela.
Segelas kopi menyisakan ruang kosong yang tak mungkin
diisi puisi
Pada malam ia tak menepi
Seoul, 24 Agustus 2014
Tengsoe Tjahjono
ADVEN DI SEOUL
siapa yang kau tunggu, di luar sangat dingin walau sudah
kau rapatkan jaketmu. sebaiknya kita pilih sudut paling
hangat di kafe
memesan secangkir americano dan sepotong muffin.
bukankah menunggu tak harus jemu
guguran kapas melayang, memutihkan bubungan, pepohonan,
jalan, dan tubuh. bibir membiru namun matamu memancarkan
gairah bertemu. Dia pasti datang, bisikmu. pintu-pintu telah
tertutup
karena udara makin beku.
matahari cerah namun tak mampu mengusir gigil
ada yohanes menyingkirkan salju ke tepi-tepi.
gedung-gedung
menyanyikan gloria sebelum saatnya tiba. lampu
warna-warni
dan kado bertumpuk. Pohon natal dan santa klaus terbakar di
cerobong dapur. di televisi banjarnegara dikurung lumpur
dan palungan masih berbau pesing kencing kambing dan
sapi, sendiri di amsa. dikubur jerami dan salju serta
langit abu-abu
lapangkan jalan, serunya. musik hingar-bingar memekakkan
kuping menenggelamkan sang-anak ke lubuk jejak sebelum
sempat gabriel mengunjungi maria menjelang desember.
kamu masih saja dungu menunggu pada bangku
ketika zakaria tak bisa lepas dari bisu
yesus pun merengek minta pulang. ia tak tahan bau anggur
dan weski. sia-sia gabriel membujuk walau silent-night
terus mengalun dalam irama cha-cha
dan bosanova. yesus meronta dalam
gendongan tentara surga. menjauhi kalvari dan maria
siapa yang kau tunggu, di luar sangat dingin walau sudah
kau rapatkan jaketmu. sebaiknya kita pilih sudut paling
hangat
di kafe memesan secangkir americano dan sepotong muffin.
bukankah selamanya kamu masih akan menunggu
Seoul, 21 Desember 2014
Adven ke-4 ketika salju turun begitu tipisnya
Tengsoe Tjahjono
GANGNAM
Wajahmu tiba-tiba berubah
Asing dan baru
Di cermin kamu membeku
: siapa namamu?
Seoul, 5 Mei 2015
Komentar
Posting Komentar