Kamu Wakilku, Maka Layani Aku
Kamu
Wakilku, Maka Layani Aku
Tengsoe Tjahjono
Memo Penyair dimaksudkan sebagai catatan, pesan, saran,
ajakan, atau bisa jadi kritik penyair terhadap kerja para penyelenggara negara
dan pelayan publik manakala terlihat terjadi penyimpangan atau tidak mengabdi
pada kepentingan besar rakyat. Pada tahun 2014 Memo Penyair menerbitkan
antologi puisi Memo untuk Presiden.
Antologi tersebut dimaksudkan untuk memberikan masukan dan pesan kepada
presiden mengenai hal-hal yang mesti diperhatikan dan dieksekusi selama yang
bersangkutan berada dalam pemerintahan. Bahkan, puisi tersebut diharapkan bisa
menjadi pengawal dan pengawas secara batin dan nurani segala kebijakan
pemerintah.
Pada tahun 2015 ini Memo Penyair juga menerbitkan
antologi puisi Memo untuk Wakil Rakyat.
Bukan tanpa alasan jika para penyair bersekutu melalui jalan puisi untuk selalu
mengingatkan wakil rakyat dalam menjalankan fungsi legislasinya. Bukankah
beberapa legislator mulai memperlihatkan perilaku yang tidak sungguh-sungguh
memperjuangkan nasib rakyat saat mereka telah duduk di kursi gedung megah
Senayan.
Abraham Lincoln (1809-1865) mengatakan bahwa hampir semua
orang dapat bertahan menghadapi kesulitan, tetapi kalau ingin tahu watak
seseorang, berilah dia kekuasaan (nearly
all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give
him power). Ungkapan Abraham Lincoln tersebut nyaris relevan dengan
perilaku para wakil rakyat. Penguasa ternyata bisa berbuat apa saja atas nama
rakyat.
Setelah mereka terpilih dan dilantik, alih-alih berpikir
dan bekerja demi kesejahteraan rakyat, namun justru berkelahi berebut kekuasaan
di parlemen. Perilaku predatorik, yaitu naluri memangsa lawan politik dilakukan
tanpa etika dan kesantunan, bahkan nyaris brutal. Bukan hanya itu, perilaku
mereka dalam gedung parlemen pun sungguh tidak mencerminkan wakil rakyat,
misalnya tidur saat sidang, sibuk dengan smartphone
mereka, berkelahi, hujan interupsi tanpa terkendali, berteriak dan memaki,
membolos sidang dengan sangat santai, dan sebagainya. Serta yang paling
dikhawatirkan banyak pihak adalah DPR sebagai wakil rakyat tak menghasilkan
undang-undang yang pro rakyat. Pasalnya, DPR terpengaruh oleh kucuran dana
pihak tertentu yang berkepentingan terhadap undang-undang yang tengah dibahas
DPR. Belum lagi banyak anggota parlemen
yang tersandung dan tersandera oleh kasus-kasus korupsi.
Dan sikap wakil rakyat itu semakin nyata bahwa mereka sungguh-sungguh
tidak berempati terhadap persoalan rakyat ialah ketika DPR mengesahkan Peraturan DPR tentang tata cara pengusulan
pembangunan daerah pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi pada Rapat Paripurna
DPR (23 Juni 2015) sungguh sangat ironis dan kontra produktif. Ketika rakyat
pasrah subsidi mereka dihapus pelan-pelan (misalnya BBM, listrik, perumahan,
dan lain-lain), anggota DPR justru mengesahkan dana aspirasi sebesar Rp20
milyar setiap anggota per tahun.
Apa pun alasannya dana aspirasi akan menciptakan
ketidakadilan, antara daerah satu dengan daerah lain, antara provinsi satu
dengan provinsi lain. Dana aspirasi juga
berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang melalui penyaluran dana atau
proyek ke konstituen, bahkan demi kepentingan pencitraan anggota DPR agar
terpilih lagi pada periode berikutnya, serta kepentingan diri sendiri.
Kita sebagai masyarakat tentu tidak menginginkan uang
pajak yang dikumpulkan, subsidi rakyat dikurangi, lalu dipergunakan bagi
hal-hal yang lebih banyak membawa mudarat. Uang rakyat hendaknya dikembalikan
kepada rakyat dalam bentuk pelayanan konkret bagi kesejahteraan rakyat
seperti dana kesehatan masyarakat miskin dan dana bantuan
beasiswa siswa miskin.
Menurut J. Kristiadi tanpa kontrol publik, lembaga
perwakilan rakyat akan semakin kehilangan martabatnya karena tertimbun limbah
nafsu serakah sehingga ranah kekuasaan kehilangan amanah, hidayah, berkah, dan
marwah.
Oleh karena itu, kita semua dipanggil untuk selalu
mengkritisi dan memberikan pikiran-pikiran positif terhadap kebijakan semua
wakil rakyat yang tidak pro rakyat dan tidak mencerminkan empati kepada
persoalan bangsa. Suara keprihatinan dan daya kritis kita bisa kita wujudkan
dalam bentuk puisi. Semakin banyak puisi yang ditulis semakin kuat genderang
ditabuh untuk melakukan perlawanan verbal terhadap wakil rakyat yang dengan
sengaja meninggalkan rakyat yang diwakili demi kepentingan kelompok kecil dan
diri mereka sendiri.
Puisi-puisi yang ditulis oleh 134 penyair ini rata-rata
bersifat deskriptif, ekspresif, dan kritis. Secara deskriptif puisi-puisi itu
menulis tentang kinerja legislator yang tak pantas dilakukan, misalnya obral
janji saat kampanye, tidur pada waktu sidang, kongkalikong dalam membuat
undang-undang demi kepentingan pribadi, dan sebagainya. Secara ekspresif
penyair menunjukkan kemarahan verbalnya atas perilaku menyimpang para anggota
dewan, baik itu dilakukan dengan memakai diksi halus sampai dengan diksi yang
kasar. Sedangkan secara kritis berarti para penyair menuliskan
penyimpangan-penyimpang tersebut dan sekaligus menuliskan solusi dan
harapannya.
Berikut ini saya kutipkan puisi karya Syarifuddin Arifin
secara utuh.
MENCATAT BUSA DI MULUTMU
aku mencatat busa di mulutmu yang berbau alkohol
lalu kau pun tertidur ketika membicarakan nasib kami
mengujudkan mimpi-mimpimu yang menjanjikan surga
burung-burung mematuk apel lalu jatuh ke sungai yang
mengalirkan kesegaran, mengurai mimpi jadi kenyataan
bidadari dalam istana yang kau dapatkan sebagai hadiah
atas persekongkokolan memuluskan perundang-udangan
yang menguntungkan mereka yang kemaruk harta
aku mencatat busa di mulutmu dengan lidah bercabang
mengatur sistem berjenjang, mempertahankan kekuasaan
atas nama rakyat lalu pura-pura meradang di ruang sidang
agar bantuan
sosial bak gajah itu berada di genggaman
bukakalah kacamata hitammu, wahai wakil rakyat!
jangan tutupi matahari dengan reiben itu
lihatlah lembah-lembah yang dulu hijau
kini mulai kehilangan embun
dan akar-akar rumput berwarna coklat
menantimu di muara tak berpantai
tapi mulutmu makin berbusa bagaikan gulali
manis di ujung lidah dan pahit di kerongkongan
bagaikan lidah air menggelombang ke hilir
aku mencatat ketika kau meluncurkan bah
menenggelamkan anak negeri lalu kau menari
di atas penderitaannya
makin berbusa mulutmu
makin sengsara rakyatmu
(Padang, 2015)
Puisi tersebut bersifat deskriptif, ekspresif, dan kritis
sekaligus. Berbicara berbusa-busa itu sangat deskriptif. Itulah fakta yang
terjadi. Semakin banyak berbicara, semakin tidak bekerja, akibatnya rakyatlah
yang semakin menderita. Diksi “berbusa” memperlihatkan kegeraman penyair atas
laku para anggota parlementer yang hanya sebatas berbicara, namun miskin
bertindak demi kemaslahatan rakyat banyak. Sungguh ungkapan yang sangat
ekspresif dan kritis. Apa harapan penyair? Dengan tegas Syarifuddin Arifin menulis:
bukakalah kacamata hitammu, wahai wakil
rakyat!/ jangan tutupi matahari dengan reiben itu/ lihatlah lembah-lembah yang
dulu hijau/
kini mulai
kehilangan embun/ dan akar-akar rumput berwarna coklat/ menantimu di muara tak
berpantai. Persoalannya bersediakah para legislator membuka mata hatinya,
melihat secara lebih dekat derita rakyat yang dulu dengan tulus dan polos
memilihnya.
Sutejo Ssc menyindir dengan sangat telanjang tentang
bagaimana cara anggota dewan memandang rakyat: Aroma luka rakyatmu telah kau anyam menjadi komoditas kata untuk
berjudi dengan syahwat kuasamu. Air mata rakyatmu telah kausulap menjadi
lukisan eksotik dalam fragmen rakus kuasamu. Samudera derita rakyatmu telah
kausulap menjadi lautan untuk kaulayari perahu syahwat kuasamu. Akan
bagaimanakah aku menyebutmu. Dalam sepi aku melukis wajahmu serupa peri yang
bertaring tajam kemudian belalai kepalamu menjulur dan kupangkas dengan pisau
dapur untuk kujadikan santapan pagiku. Derita rakyat ialah komoditas yang
bisa dijual melalui proposal yang ditulis dan dikirimkan ke lembaga swasta
maupun pemerintah. Tentu ini perilaku yang amat menyakitkan dan bebal. Semoga
dengan puisi-puisi seperti ini para legislator bisa bercermin melihat diri
mereka sendiri. Dengan harapan ada upaya untuk melakukan perubahan mentalitas,
dari mentalitas predator menjadi matahari yang menyinari semuanya dengan
sepenuh kasih dan hati.
Sudah semestinya wakil itu mengabdi pada yang diwakili,
wakil itu melayani yang diwakili. Kesadaran itu harus selalu ditumbuhkan.
Penyair tak boleh bosan-bosan menyuarakan kesadaran itu. Tentu saja melalui
puisi. Sungguh, puisi tak memiliki daya mengubah mentalitas dengan cara cepat
dan revolusioner. Namun, puisi tetap harus terus-menerus ditulis. Sebab
gempuran puisi yang terus-menerus dilakukan pasti suatu ketika akan
memperlihatkan hasilnya: bangsa yang memiliki rasa malu manakala berbuat
curang, tak adil, lebih-lebih merasa bahagia di kubangan air mata rakyat papa.
Semoga.
Seoul, 1 September 2015
Komentar
Posting Komentar