Kesunyian Mouna dalam Rupa dan Kata

KESUNYIAN MOUNA DALAM RUPA DAN KATA
Tengsoe Tjahjono

Nyamuk yang terpasung
Pada ranting kering pohon perdu
Sebentar lagi redup dan menutup
Tak perlu kautunggu


/1/
Mouna Be sebenarnya lebih dikenal sebagai perupa. Sejak 1996 ia sudah banyak terlibat dalam berbagai pameran. Lukisan Mouna cenderung murung dan sepi. Sebatang pohon dengan beberapa ranting dengan latar langit yang polos tanpa awan sebiji pun. Pohon yang berdiri di tepi kanvas, seakan disingkirkan dari bentang semesta. Seeko rkupu-kupu yang menancap sendiri di sebuah pohon, sementara di langit terlihat kupu-kupu lain terbang menjauh. Ia seakan sengaja ditinggalkan. Tema-tema sendiri dan sepi itu semakin diperkuat oleh pilihan warna yang sengaja dimiskinkan. Tidak banyak warna dipakai oleh Mouna untuk mengungkapkan gejolak batinnya. Paling banyak ada 3 warna dasar hadir pada setiap lukisannya. Sungguh, penikmat diajak untuk memasuki suasana batin, daripada disibukkan oleh suasana fisik atau raga.

Lukisan-lukisan Mouna sepintas terkesan realis sebab ia sengaja menghadirkan morfologi dan anatomi objek secara cermat, entah itu pohon, perempuan, kupu-kupu, jalan, dan lain-lain. Namun, kalau kita hanya terhenti pada forma realis, tanpa sadar kita telah tersesat, sebab sejatinya Mouna tidak sedang melukis pohon, kupu-kupu, daun, dan sebagainya. Fenomena alam itu hanyalah ruang yang digunakan Mouna untuk menghadirkan apa yang dirasakan dalam jiwanya. Mouna sedang melukiskan kesepian dan kesendiriannya. Lukisan Mouna pun menjadi sangat puitis.

/2/
Yang menarik adalah di samping melukis Mouna pun menulis. Terutama menulis puisi. Puisi dan lukisan memang memiliki tautan estetika, yaitu tautan tema, tautan irama,dan tautan semiotika. Tema yang diusung oleh Mouna, baik dalam lukisan maupun puisinya, cenderung ikhwal kesunyian dan kesendirian. Mouna menulis kontradiksi kesunyian yang amat tragis: “Nyamuk yang terpasung/ Pada ranting kering pohon perdu/ Sebentar lagi redup dan menutup/ Tak perlu kau tunggu”. “Nyamuk” adalah binatang yang mati-hidupnya bergantung dari darah yang dihisapnya. Bagaimana dengan nyamuk yang tinggal pada ranting kering pohon perdu? Ya, tinggal menunggu maut menjemput. Nyamuk itu mengalami “sunyi” karena berada pada medan yang tidak tepat. Baris “tak perlu kau tunggu” menggambarkan bahwa tidak ada harapan yang bisa dinantikan. Sungguh, betapa mengerikan kesepian itu.

Perhatikan puisi berikut ini.

Aku tidak bermain dengan boneka
Ornament berwarna cerah atau pita
Aku bermain dengan kebisingan
Pekat, jalan dan ketidak pastian….
Jangan heran bila kau temukan banyak luka
Aku sudah bersahabat dengan dia sejak lama.

Kontradiksi yang lain terbaca pada puisi di atas. Aku tidak bermain dengan boneka, tetapi aku bermain kebisingan. Bermain boneka tentu akan mengasyikkan dan menyenangkan. Tapi, bagaimana bermain kebisingan? Jawabannya juga amat tragis:“Jangan heran bila kau temukan banyak luka/ Aku sudah bersahabat dengan dia sejak lama.” Tampaknya hidup ini bagi Mouna adalah sebuah permainan yang melahirkan banyak luka, dan manusia bersahabat dengan keadaan itu sejak dilahirkan di bumi fana ini. Agama Hindu mengajarkan bahwa hidup ini adalah samsara, dan bumi adalah tempat derita itu. Agama Kristen juga mengajarkan bahwa karena dosa Adam, maka manusia harus bekerja keras agar dapat hidup pantas di dunia. Dunia adalah kebisingan maka tidak heran jika Mouna meindukan keheningan dan kesepian.

Perhatikan puisi berikut ini.

Berbaringlah pelan pelan
Dan melangkahlah dengan malam
Angin tak lagi ada
Di sini

Maka, bagi Mouna yang paling bijak adalah berusaha menikmati keadaan penuh luka itu. Baris “berbaringlah pelan-pelan” serta dan “melangkahlah dengan malam” seakan sangat paradoksal. Bagaimana mungkin berbaring sambil melangkah? Sebenarnya hal itu tidaklah paradoksal sebab “berbaring” itu merupakan lakuan fisik, dan “melangkah” dalam konteks puisi itu merupakan lakuan batin. Batin dan jiwa “aku lirik” melangkah bersama malam, bersama kegelapan, menikmati keheningan.

/3/
Dar iaspek irama, puisi-puisi Mouna terkesan monoton atau datar. Kedataran itu bukanlah sebuah kegagalan, namun sungguh-sungguh merupakan pilihan bentuk ekspresi. Hal itu juga terjadi pada lukisannya yang tidak terkesan hingar-bingar. Warna yang tidak berkiliaun, nyaris abu-abu, pucat, dan senyap. Pilihan irama seperti itu semakin menguatkan tema “sendiri dan sepi” yang sungguh-sungguh mengharu-biru dalam jiwa Mouna.

Perhatikan puisi berikut ini.

Sesak mulai merayu temaram
Sekejap sekejap kusapa
Dan tanganku menembus anyir semakin dalam
Bercerita sejuta peluh keberatan
Menari pada sisa abu harapan
Berhembus pelan dengan patahan

Puisi di atas mengulang bunyi /a/ berkali-kali. Hampir pada semua puisinya Mouna mengulang bunyi /a/ itu. Nyaris tidak dijumpai kejutan nada yang tiba-tiba tidak linear, yang membuat kesadaran dihentakkan oleh sesuatu hal. Nyaris tidak ada lubang atau polisi tidur dalam jalan kata Mouna. Datar dan hening.

Irama seperti itu justru berhasil membangun suasana sepi dan sendiri. Puisi Mouna mampu memberikan pembelajaran bagi pembaca bahwa dengan cara yang bersahaja puisi bisa membangun suasana dan pesan yang komunikatif kepada pembaca.

/4/
Puisi selalu menghadirkan tanda, demikian pula lukisan. Lewat menafsirkan tanda, penikmat bisa mencapai makna. Lukisan Moura selalu mengangkat fenomena alam, entah itu pohon, daun, burung, kupu-kupu, langit, dan sebagainya sebagai tanda yang harus ditafsirkan untuk sampai kepada makna dan pesan. Tidak berbeda dengan lukisannya, dalam puisinya Moura juga mengangkat fenomena alam sebagai metafora ucapnya.

Perhatikan puisi berikut ini.

hutan itu adalah temanku
berkelana adalah kesukaanku
melukis adalah misteriku
angin adalah aku
sementara kamu adalah separuhku
maka berhembuslah selalu denganku
meski kadang kencang
atau sekedar melompat kecil kecil
selalulah bersamaku
untuk sekarang hingga selalu

Puisi di atas memilih kata “hutan” dan “angin” sebagai metafora dari teman dan “akulirik”. Pemilihan fenomena alam sebagai tanda dan sekaligus metafora itunmenunjukkan betapa dekatnya Mouna dengan alam, atau sekurang-kurangnya kerinduan Mouna terhadap alam. Kedekatan atau kerinduan itulah yang membuat Mouna begitu akrab dengan fenomena alam. Karena keakraban itulah bentuk ucap yang dipilih Mouna, baik dalam rupa maupun kata, cenderung memakai fenomena alam sebagai jalan semiotikanya.

/6/
Mouna dalam karya rupa dan kata menyajikan kesunyian sebagai bentuk perlawanan terhadap dunia yang serba hingar bingar. Warna dan suasana karya rupa dan kata Mouna nyaris bersinggungan, sebab bagaimana pun karya itu merupakan ekspresi jiwa. Apa pun bentuk ekspresi yang dipilih Mouna tak akan pernah bisa menyembunyikan gejolak batinnya. Sungguh, dalam rupa dan kata Mouna hanya butuh sendiri. Jangan coba-coba menemani.


Surabaya, 24/04/2013
Lukisan Mouna

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi