WUJUD SASTRA PERGERAKAN
Puisi Menolak Korupsi dan
Memo untuk Presiden
WUJUD SASTRA PERGERAKAN
Tengsoe Tjahjono
Sejak dicanangkannya pada
Mei 2013 Puisi Menolak Korupsi (PMK)
dimaksudkan sebagai gerakan moral yang dilakukan oleh para penyair Indonesia
dalam rangka mengkampanyekan sikap antikorupsi kepada masyarakat melalui
penerbitan buku antologi puisi, lomba baca puisi, lomba musikalisasi puisi,
pemutaran film-film, diskusi, seminar, orasi budaya, dan pertunjukan seni baca
puisi yang semuanya bertemakan antikorupsi. Demikian pula, Memo untuk Presiden
(MUP) dihadirkan sebagai gerakan kultural untuk mengawal Presiden dan Wakil
Presiden agar setia dengan janji-janji yang telah mereka kemukakan selama ini.
Mengapa memilih puisi?
Menurut Sosiawan Leak (Koordinator PMK dan MUP) puisi sebagai anak kandung
kebudayaan pada dasarnya dapat berperan sebagai pengingat dan penggugah jiwa
kehidupan berdasarkan fakta kebenaran serta nurani kejujuran. Sebab, penyair
sebagai individu yang berdaya di dalam jaman –baik sebagai saksi maupun agen
perubahan-- terbukti mampu melahirkan gagasan secara jernih untuk menangkap
suara rakyat, suara jaman, dan suara kebenaran. Dengan mempresentasikan gagasan
tersebut lewat penerbitan, mendistribusikan dan menyosialisasikannya secara
luas, puisi bisa berfungsi sebagai penjaga moral bagi semua yang terlibat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Makna Pergerakan
Baik PMK dan MUP
memposisikan dirinya sebagai sastra pergerakan. Apa yang dimaksud dengan
pergerakan? Gerakan merupakan aktivitas bersama, bukan aktivitas individu.
Tentu saja gerakan itu dilakukan demi mencapai sesuatu yang sudah ditetapkan.
Dalam bidang organisasi Terry menjelaskan bahwa pergerakan merupakan usaha untuk
menggerakkan anggota kelompok sedemikian rupa sehingga mereka berkeinginan dan
berusaha untuk mencapai sasaran yang sudah direncanakan.
Kalau kita menyimak
sejarah perkembangan bangsa Indonesia secara politis kita mengenal terminologi
“pergerakan nasional”. Pergerakan ini biasa dilakukan oleh organisasi modern,
misalnya partai politik. Apa tujuan pergerakan mereka? Secara ideal tujuan
mereka adalah perbaikan nasib bangsa ke arah yang lebih baik sebab terlalu lama
ditindas oleh bangsa kolonial. Ketidakpuasan terhadap segala bentuk
ketidakadilan itulah yang mendorong mereka melakukan gerakan.
Lalu, bagaimana dengan
keadaan kita dewasa ini? Masih perlukah gerakan itu? Bagi mereka yang tidak
gelisah melihat segala bentuk ketidakadilan, kesewenang-wenangan, penindasan,
intimidasi, dan sebagainya, tentu gerakan tidak diperlukan. Namun, bagi mereka
yang memiliki kepekaan sosial tinggi dan jiwa solidaritas yang terolah, bisa
jadi pergerakan merupakan sebuah keniscayaan. Tentu saja, gerakan tersebut bisa
meluas ke berbagai bidang, di mana ketidakadilan dan kesewenang-wenangan tumbuh
dengan suburnya. Entah di bidang politik, pendidikan, perlindungan anak,
perempuan, sosial, ekonomi, agama, kebudayaan, kesenian, buruh dan sebagainya.
Sebagai sebuah gerakan
moral dan kultural, PMK dan MUP sangat tepat bila dikategorikan ke dalam
golongan sastra pergerakan. Mengapa?
1.
Gerakan ini
didukung oleh banyak sastrawan yang tersebar di seluruh Indonesia, yang
memiliki kegelisahan yang sama saat mengetahui secara kasat mata virus korupsi
menjangkit dan menyebar ke mana-mana. Gerakan ini bukan aktivitas individual
semata.
2.
Gerakan ini
bekerja secara bersama melalui puisi yang mereka cipta untuk mempresentasikan
seruan moral kepada masyarakat, agar secara filosofis dan edukatif turut mewaspadai
munculnya mental korupsi sejak dini, serta mencegah perilaku korup yang lebih
akut.
3.
Gerakan ini
berjalan sebagai gerakan yang bersifat nirlaba, independen dan mandiri (baik
secara ideologi maupun ekonomi). Kegiatan ini harus berdaya untuk terus mandiri
secara ideologi dan ekonomi, sehingga puisi yang terangkum di dalamnya
senantiasa merdeka dari pemikiran yang bersifat partisan, serta bebas dari
pesan sponsor pihak-pihak yang punya kepentingan menyimpang.
Sastra Pergerakan versus Revolusi Mental
Efektifkah sastra
pergerakan dalam melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan? Atau bisa jadi hanyalah sebuah kerja sia-sia. Bagaimana
jika kita bandingkan dengan revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Joko
Widodo di masa kampanye dulu. Untuk menjadikan Indonesia tumbuh ke arah yang
lebih baik harus dilakukan revolusi mental. Kira-kira aktivitas mana yang akan
menjadi sia-sia: sastra pergerakan atau revolusi mental?
Secara pribadi saya
meragukan keberhasilan revolusi mental. Ada tiga hal yang membuat revolusi
mental akhirnya akan menjadi sia-sia belaka.
1.
Revolusi mental
seakan-akan hanya murni kegelisahan Presiden Joko Widodo. Dia kurang didukung
oleh banyak orang. Revolusi mental bukan sebuah gerakan bersama.
2.
Kata ‘revolusi’
mengacu pada perubahan yang amat cepat. Kalau perlu harus dilaksanakan secara
radikal. Dan, mengubah mental seseorang (apalagi bangsa) tak mungkin dilakukan
secara radikal, kecuali sengaja menciptakan perang.
3.
Mental bangsa
Indonesia ini bukan begitu saja terbentuk. Mental itu merupakan habitus yang
secara sistemik, struktural, kultural, dan masif dibangun oleh tradisi yang
mereka hidupi. Akibatnya, tak mudah mengubahnya secara cepat, apalagi dalam
tempo sesingkat-singkatnya. Itulah fakta yang ada.
Lalu, bagaimana dengan
gerakan PMK dan MUP? Gerakan ini memang bukanlah gerakan yang akan melakukan
revolusi. Jalan sastra bukanlah jalan revolusi. Sebagai gerakan moral dan
kultural secara sadar mereka bergerak bukan karena dikejar waktu, namun karena
ingin menciptakan atmosfer sehat melalui puisi. Berapa lama? Sangat bergantung
pada tumbuhnya kesadaran baru dalam diri setiap warga bangsa melalui sastra
yang dibaca atau yang didengar.
Sasaran gerakan PMK dan
MUP adalah para pelajar, mahasiswa, pekerja seni, dan masyarakat umum. PMK dan
MUP secara sadar tidak menyasar para koruptor. Sebab, tak gampang merevolusi
mental para koruptor itu. Tak ada gunanya. Yang paling masuk akal adalah
bagaimana membangun tradisi antikorup di kalangan kaum muda. Jika para anak
muda pelan-pelan memahami bahwa pelaku korup itu merupakan tindakan jahat dan menyengsarakan
banyak orang, diharapkan kelak Indonesia dihuni oleh generasi bersih. Bisa jadi
5 tahun, 10 tahun, bahkan 20 tahun lagi. Tidak apa-apa. Yang penting gerakan
ini dilakukan terus-menerus dan berkelanjutan.
Sastra pergerakan bukanlah
sastra yang ingin berdarah-darah dalam menciptakan kesadaran baru demi
kehidupan yang lebih baik. Namun, justru melalui bahasa kalbu yang mampu
menyentuh bagian batin terdalam, insyaallah Indonesia bersih kelak bisa sungguh
terwujud. Jadi, efektifkah sastra pergerakan? Jawabannya sangat bergantung
kepada bagaimana cara kita memahami makna kata efektif. Yang jelas, perubahan
mental memerlukan waktu panjang. Tak bisa seperti membalik telapak tangan.
Nah, bisa jadi seperti
yang ditulis Denny Mizhar dalam puisinya “Di Taman Kota”: tak usah risau Ann!/ dan tak perlu aku harus melapor/ kepada petugas
kebersihan dan ketertiban/ sebab mereka pun tahu di mana letak lampu hijau
berada/ hanya saja kita tak mampu menembus jaring-jaring kabel/ yang konslet di
dalam kantor-kantor dan dalam kepala-kepala/ pejabat korup di kota ini. Begitu
bersahaja sebuah sastra pergerakan. Semoga bisa menciptakan kondisi bangsa yang
lebih baik di dekade mendatang.
ki-ka: Yusri Fajar, Tengsoe Tjahjono, Djoko Saryono, Sosiawan Leak
Komentar
Posting Komentar