MELAWAN KEKUASAAN DENGAN PUISI
MELAWAN KEKUASAAN
DENGAN PUISI
Tengsoe Tjahjono
yang kami kerjakan
Kami yang berwenang memilih dan menobatkan kalian
serta kami pula yang berhak menyuruh kalian turun dari
singgasana
Jangan bilang diri kalian penguasa sebab pada kamilah
tergenggam kekuasaan yang dititipkan oleh Tuhan sang
pengelola agung
Jangan sebut diri kalian pemimpin karena kalian hanyalah
petugas dari kepemimpinan kami atas tanah dan air negeri ini
(Emha Ainun
Nadjib, Sajak Merah Putih, 1993)
PENDAHULUAN
Kekuasaan politik selalu berwajah ganda. Antonio Gramsci menggunakan centaur mitologi Yunani, yaitu setengah
binatang dan setengah manusia, sebagai simbol dari ‘perspektif ganda’ suatu
tindakan politik – kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan
kesopanan. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan,
melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan
ideologis (Simon, 2000:19). Apa yang diungkapkan oleh Gramsci tersebut juga
terasa benar di negara kita. Ketika melihat kemiskinan, para pemimpin kita
mengatakan bahwa hal tersebut disebabkan karena faktor kebodohan dan kemalasan.
Rakyat pun menjadi kambing hitam biang kerok kemiskinan. Anehnya, rakyat pun
mengamini hal tersebut karena yang berbicara adalah pemimpin mereka.
Padahal kalau kita cermati secara mendalam
terjadinya kemiskinan bukan semata-mata disebabkan oleh habitus masyarakat,
namun juga disebabkan oleh sistem dan struktur sosial, bahkan disebabkan pula
oleh ketidakberdayaan. Menurut Nugroho (2001:45) kemiskinan dan
ketidakberdayaan merupakan dua sisi dari
sebuah mata uang logam.[1]
Ketidakberdayaan tersebut dibangun secara sistemik oleh kekuasaan melalui
program-program yang digulirkan, misalnya dengan percepatan pembangunan wilayah
timur (Indonesia), pemberdayaan perempuan, program bantuan untuk masyarakat
miskin kota, dan sebagainya. Program-program tersebut justru tidak mampu
melahirkan kesadaran diri, tetapi malah membuat masyarakat tenggelam dalam
kubang ketidakberdayaan, seraya memposisikan penguasa sebagai juru selamat
kehidupan mereka. Mereka pun tidak merasakan adanya dominasi kekuasaan dalam
ranah kehidupan mereka.[2]
‘Perspektif ganda’ yang dilakukan oleh para penguasa
amatlah ironis. Bagaimana mungkin para
pemimpin politik itu mampu menyejahterakan masyarakat dengan bertindak tidak adil
kepada mereka. Magnis-Suseno (2000)
melihat telah terjadi ketidakadilan struktural yang menyengsarakan
rakyat.[3]
Ketidakadilan struktural ini membuat rakyat tidak memiliki daya untuk menata
hidupnya sendiri dan tidak berdaulat dalam menjalani hidupnya tersebut.
Saat rakyat atau warga masyarakat tenggelam dalam
kubang ketidakberdayaan dan tidak berdaulat dalam mengisi dan menjalankan
hidupnya yang justru harus dibangun adalah kesadaran diri, pencerahan untuk
membangkitkan kesadaran bahwa penentu utama warna hidupnya adalah daya juang
mereka sendiri. Masyarakat menurut Rendra (1983:62) harus memiliki kesadaran
bahwa mereka berhak ikut menentukan kebijaksanaan sosial, politik dan ekonomi.
Sebagai penyair, Rendra merasakan pula kegelisahan
akut tentang bentuk seni yang dipilihnya selama ini tidak mampu menjadi saluran
suara rakyat. Rendra menulis sebagai berikut.
Baru
setelah tahun 1971 saya mulai bisa melihat persoalan ketimpangan sosial-politik
dan ekonomi secara struktural…. Ketegangan kreatif saya meningkat. Saya hidup
dengan disiplin pribadi yang kuat. Saya tengah mencari “bentuk seni” yang tepat
untuk isi pikiran dan rohani saya yang sedang terlibat dengan persoalan
sosial-politik-ekonomi. Bentuk yang pernah saya pakai dulu tidak memenuhi
kebutuhan saya sekarang (Rendra, 1983:65).
Maka pada sebuah bait dalam puisi “Sajak Sebatang
Lisong” Rendra (1980:31) menulis:
Aku bertanya
tetapi pertanyaankumembentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya,
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bagi Rendra penyair bukan semata pabrik kata-kata
indah, namun penyair hendaknya mampu menuliskan puisi yang merupakan perwujudan
dari keberpihakan mereka kepada kelompok yang tertindas dan dimarginalkan.
Rendra prihatin terhadap seniman yang hanya berkutat pada spirit estetika
tetapi tidak mampu terlibat dalam kenestapaan masyarakat, tidak ada
keberpihakan pada yang papa. Wiji Thukul (2000:170) dengan tegas mengatakan
sebagai berikut.
…
Tapi, saya lebih prihatin dengan kondisi seniman kita. Seniman kan seharusnya peka. Punya rasa sosial
dan solidaritas tinggi…. Banyak seniman kita alergi politik. Itu tidak betul.
Dengan tidak tahu soal politik kita mudah saja dipermainkan. Kita harus jadi
pelaku, bukan objek. Ya, saya juga setuju seniman kita banyak yang berdiri
sebagai seniman salon, saya kurang tahu selera sastra mereka. Baginya sastra
berada di awang-awang. Tidak kontekstual sama sekali.
Sastra adalah wacana. Menurut Fairclough (1995a)
setiap wacana merupakan perwujudan praktik sosial. Apa yang ditulis seorang
penyair dapat dikategorikan sebagai praktik sosial pula. Sebagai sebuah praktik
sosial akan selalu terdapat hubungan dialektik antara peristiwa diskursif
(dalam hal ini puisi) dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang
membentuknya. Sastra (termasuk puisi) sebagai praktik wacana mampu menampilkan
dampak ideologi. Puisi dapat memroduksi dan mereproduksi hubungan kekuasan yang
tidak seimbang antara penguasa dan rakyat.
Puisi dalam matra fakta sosial sekarang ini tidak
dapat berdiri netral, sebagaimana bahasa, selalu ada keberpihakan.
Bahasa
dan praktik kebahasaan tidak lagi dimengerti dalam konteks perspektif
konvensional, yakni sebagai alat dan medium netral yang dipakai untuk
menjelaskan kenyataan-kenyataan sosial dan politik. Namun semakin disadari
bahwa bahasa, di dalam dirinya, tampil sebagai representasi dari deployment (pagelaran) berbagai macam
kekuatan. Oleh karena itu, bahasa lantas dilihat pula sebagai salah satu space (ruang) di mana konflik berbagai
kepentingan, kekuatan, proses hegemoni dan counter-hegemony
(hegemoni tanding) terjadi (Hikam, 1999:179).
Terdapat dua penyair yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan melalui puisi-puisinya. Penyair tersebut adalah Rendra dan Wiji Thukul. Mereka berdua memang berada pada rentang masa berbeda, namun sebagai pribadi yang mengamati adanya kepincangan sosial-politik, mereka pun merasa terpanggil untuk bertindak. Puisi-puisi pun dijadikan jalan perlawanan. Mengapa Rendra dan Thukul melakukan perlawanan? Bagaimana bentuk dirkusif perlawanan mereka dalam puisi? Dua masalah itulah yang akan dijawab dalam tulisan ini.
PUISI, KEKUASAAN, DAN ANALISIS WACANA KRITIS
Dalam konteks kehidupan sosial dewasa ini memandang
puisi sebagai karya sastra yang mendewakan ekspresi melalui bahasa indah tentu
merupakan pilihan yang tidak peka-sosial. Puisi bukan hanya berurusan dengan
bentuk ekspresi dan isi, namun juga aksi, yaitu bagaimana puisi mampu terlibat
membangun penyadaran bagi masyarakat tentang persoalan hidup mereka.
Menurut Harun (1982) bila karya sastra bicara
ketertiban dan harmoni sosial, maka karya sastra itu akan jadi doktriner. Dan
ketertiban serta harmoni yang dilukiskan dalam karya sastra itu mungkin hanya
suatu utopia belaka. Karya sastra harus mampu menjadi jalan penyadaran.[4]
Persyaratan puisi yang paling esensial adalah
kenyataan. Tak ada puisi tanpa realitas (Mohamad, 1972:32). Namun, puisi
bukanlah sekadar mimetik, transfer realitas ke dalam teks. Penyair harus berani
menganalisis mengapa realitas-sosial itu terjadi, dan mampu mendorong pembaca
memiliki sikap kritis terhadap realitas tersebut.
Oleh karena itu Damono (1999:102) menyatakan bahwa
satu-satunya hal yang bisa dilakukan penulis masa kini adalah bersikap lebih
sungguh-sungguh dalam memperhatikan persoalan masyarakat di sekitarnya. Ia
harus berusaha terus untuk menemukan nilai dan makna dalam dunia social; untuk
kemudian menyusun kritiknya. Hanya dengan begitu sastra bisa dipergunakan untuk
mengukur sikap manusia terhadap persoalan masyarakat sekitarnya.
Puisi dengan caranya yang khas hadir sebagai wacana
tanding atau kritik terhadap kesenjangan sosial dan ketidakadilan yang terjadi
oleh kekuatan kekuasaan. Sebagai wacana tanding, kritik sejatinya bukan untuk
menciptakan permusuhan. Kritik sebenarnya menurut Hegel merupakan tindakan
reflektif yang amat diperlukan demi kemajuan manusia.
…
Kritik tak lain dari refleksi atau refleksi diri atas rintangan-rintangan,
tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses proses
pembentukan diri dari rasio dalam sejarah. Dengan kata lain, kritik juga
berarti refleksi atas proses menjadi sadar atau refleksi atas asal-usul
kesadaran. Secara singkat, kritik berarti negasi atau dialektika, karena bagi
Hegel kesadaran timbul melalui rintangan-rintangan, yaitu dengan cara menegasi
atau mengingkari rintangan-rintangan itu (Hardiman, 1990:49-50).
Puisi sebagai pernyataan kritis tentu akan
berisi negasi-negasi dan bentuk-bentuk dialektika yang berguna untuk membangun
kesadaran pembaca, baik penguasa maupun warga masyarakat. Puisi sebagai wacana
harus diartikan sebagai sesuatu yang dikonstruksi, diinvensi, dikreasi. Sesuatu
yang dikonstruksi, diinvensi, dan dikreasi itu bisa berupa data, fakta, atau
realita secara lebih luas. Ideologi, pemikiran, perasaan, dan sebagainya
sebenarnya juga merupakan realitas-realitas, fakta-fakta, data.
Hal itu sejajar dengan pandangan Michel
Foucault mengenai wacana. Wacana tidak dipahami sebagai serangkaian kata atau
proposisi dalam teks, tetapi sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah
gagasan, konsep atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis
suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks
tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu (Eriyanto,
2001:64).
Van Dijk
pun berpandangan bahwa wacana merupakan kesatuan struktur makro dan struktur
mikro. Menurutnya penggunaan bahasa, wacana, interaksi verbal dan komunikasi
termasuk tataran mikro dari tatanan sosial. Kekuasaan, dominasi, dan
ketidaksetaraan dalam kelompok sosial merupakan istilah khas dalam analisis
tataran makro. Itu berarti analisis wacana harus memiliki jembatan teoretikal
yang menghubungkan kesenjangan antara pendekatan mikro dan makro. Dalam
interaksi dan pengalaman sehari-hari tataran makro dan mikro memiliki bentuknya
sendiri-sendiri, tetapi antarkeduanya saling membangun kesatuan yang utuh
(1998:4).
Fairclough (1995b) menggolongkan
studi wacana kritis ke dalam 5 usulan teori dan sebuah kerangka kerja. Inti
teori tersebut memperlihatkan bahwa
terdapat hubungan timbal balik antara wacana dan masyarakat.[5] Analisis wacana kritis memiliki
tiga dimensi yaitu: (1) deskripsi dari teks, (2) interpretasi dari proses
interaksi dan hubungannya dengan teks, dan (3) eksplanasi tentang bagaimana
proses interaksi berhubungan dengan tindak sosial.
RENDRA MEMOTRET PEMBANGUNAN
Membaca puisi Rendra yang terkumpul
pada “Potret Pembangunan dalam Puisi” (1980) menurut Teeuw (Rendra, 1980:9)
seakan-akan membaca jawaban pada lengkingan jerit kesakitan, teriakan minta tolong;
kesaksian demi keselamatan kehidupan dan pemberontakan terhadap apa yang
mengancam kepenuhan kehidupan itu. Pemberontakan Rendra melalui puisi tentu
memiliki alasan. Perhatikan penggalan puisi berikut ini.
Apabila
kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka
hidup akan menjadi sayur tanpa garamLembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
(Aku Tulis Pamplet Ini)
Membaca puisi di atas kita
dihadapkan bentuk ucap yang tidak lazim sebagaimana puisi-puisi pada umumnya,
bahkan oleh gaya ucap Rendra pada masa-masa sebelum tahun 1970-an.[6] Ketidaklaziman tersebut terletak
justru pada pemakaian bahasa yang tidak hanyut kepada metafora rumit, cenderung
denotatif dan lugas. Baris “maka hidup
akan menjadi sayur tanpa garam” berisi metafora sederhana, metafora yang
hidup sebagai bahasa khalayak umum, metafora agraris. Hal tersebut memperlihatkan
bahwa puisi Rendra sungguh-sungguh puisi yang mengajak pembaca mendengar, bukan
‘membaca’.
Dalam penggalan puisi tersebut
terbaca alasan mendasar mengapa Rendra memilih jalur puisi seperti itu.
Kekuasaan represif tampaknya menolak kritik. Dengan wacana yang amat halus dan
beradab mereka berkilah bahwa semua kritik hendaknya dilakukan melalui lembaga
formal yang ada, yang pada akhirnya amat birokratis dan berbelit, dan berujung
kepada ketidakpastian. Puisi “Aku Tulis Pamplet Ini” menjadi semacam kredo atas
sikap kritis Rendra melalui puisi-puisinya.
Pamplet Rendra tersebut menohok
segala macam bentuk penyimpangan dalam pelbagai bidang kehidupan: pendidikan,
politik, sosial, dan sebagainya yang terjadi oleh karena carut-marutnya
kebijakan kekuasaan. Dalam puisinya “Sajak Seonggok Jagung” Rendra memotret
perilaku anak muda Indonesia yang kurang “sekolahan” dan yang “tamat SLA”
ketika harus berhadapan dengan seonggok jagung di kamar. “Seonggok jagung”
sebenarnya merupakan entitas nyata yang terdapat dalam hidup mereka
sehari-hari. Perilaku mereka ternyata berbeda saat memandang seonggok jagung
tersebut karena proses pendidikan mereka amatlah berbeda.
Tabel
Perbandingan anak muda
kurang “sekolahan” dan “tamat SLA”
DIMENSI
|
KURANG “SEKOLAHAN”
|
TAMAT SLA
|
HAKIKAT BELAJAR
|
Dari kehidupan konkret
Dari praktik nyata
|
Dari buku, tidak terlatih
Dari teori, hanya hafal kesimpulan
|
KETERAMPILAN HIDUP
|
Membaca kemungkinan mengolah jagung
Optimistis
|
Tidak mampu membaca kemungkinan
Pesimistis
|
SPIRIT HIDUP
|
Melihat harapan
|
Melihat dirinya akan menderita
|
Apa yang ditulis Rendra dalam
puisinya tersebut merupakan ironi pendidikan di Indonesia. Puisi Rendra
merupakan kritik terhadap pola kebijakan pendidikan. Rendra sengaja menyusun
puisinya tersebut dalam bentuk narasi. Tentang narasi Saidi (2011:6) menulis sebagai
berikut.
Narasi, dalam arti
sempit, adalah rangkaian peristiwa (Gennete, 1980). Rangkaian peristiwa
meniscayakan unsur pelaku, waktu, ruang, dan realitas peristiwa. Relasi semua
unsur tersebut membentuk durasi, yakni gerak maju masa lalu ke masa kini, dan
lantas “memersepsi” masa depan. sebuah gerak maju adalah kesatuan yang tidak
dapat dibagi (dure) dari masa lalu
sehingga dengan begitu ia mengandaikan masa depan (Bergson, 2002). Dengan
inilah, dalam arti luas, narasi membentuk pengetahuan (Lyotard, 1989).
Kebudayaan atau lebih luas peradaban terbentuk dari “praktik narasi” ini.
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia karena unsur-unsur narasi tersebut terpotong-potong, saling berdiri sendiri-sendiri. Anak didik tidak dihadapkan pada realitas dirinya, justru dihadapkan kepada realitas metaforik yang terdapat di televisi, di ruang-ruang publik yang serba gemerlap, di etalase, di hand-phone, dan sebagainya. Seonggok jagung yang justru merupakan realitas sejati justru berjarak dengan mereka. Apa yang terjadi di sekolah hari ini akan “memersepsi” hidup anak didik pada masa depan. Tampaknya bentuk narasi yang dipakai Rendra merupakan hidden transcript untuk melukiskan kebijakan pendidikan yang tidak memiliki visi makro, proyeksi ke depan, hanya untuk saat ini ketika seseorang berkuasa. Dengan amat tragis Rendra menutup puisinya sebagai berikut.
Aku bertanya :
Apakah gunanya pendidikanbila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
“ Di sini aku merasa asing dan sepi!”
(Sajak Seonggok
Jagung)
WIJI THUKUL: PUISI
ADALAH KENYATAAN SEJARAH
Wiji Thukul sering diberi predikat
sebagai seniman rakyat. Menurut Munir (Thukul, 2000:xv) sebagai seorang aktivis
dan seniman rakyat, Wiji Thukul memang tepat menggambarkan keterwakilan kelas
sosialnya. Pilihan untuk kemudian bergabung bersama petani, buruh, kaum miskin
lainnya dalam sebuah semangat yang semakin menguat, bahwa segala bentuk
kemiskinan bukanlah semata-mata hadiah dari kekuasaan Tuhan, akan tetapi
peluang dan kesempatan itu telah dilahap oleh kekuadaan politik dan modal.
Wiji Thukul sendiri tidak mau
disebut sebagai penyair kerakyatan. Dia tegas mengatakan, “Dan memamg perlu
diluruskan bahwa saya tidak membela rakyat. Saya sebenarnya membela diri saya
sendiri. Saya tidak ingin disebut pahlawan karena berjasa memperjuangkan rakyat
kecil. Sungguh saya hanya bicara soal saya sendiri. Lihatlah saya tukang
pelitur, istri buruh jahit, bapak tukang becak, mertua pedagang barang
rongsokan, dan lingkungan saya semuanya melarat. Mereka semua masuk dalam puisi
saya. Jadi saya tidak membela siapa pun. Cuma secara kebtulan, dengan membela
diri saya sendiriternyata juga menyuarakan hak-hak orang lain yang sementara
ini entah di mana.” (Thukul, 2000: 168-169). Ia pun beranggapan bahwa puisi
adalah kenyataan sejarah. Itu tidak dapat direkayasa, sebagaimana sejarah
menulis kejadian demi kejadian.
Kata adalah energi utama dalam
puisi. Kata bukan hanya hadir sebagai sarana ucap penyair, namun sekaligus
kekuatan yang mempunyai daya ledak tidak terhingga. Perhatikan puisi Wiji
Thukul berikut ini.
Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa
aku bukan artis pembuat berita
tapi aku memang selalu kabar buruk buat
penguasa
puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
ia tak mati-mati
telah kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
Menurut Foucault kata-kata sebagai bagian dari wacana
bukan hadir hanya sebagai unsur wacana, tetapi kata-kata mampu memroduksi hal
lain yakni gagasan, konsep, bahkan efek.
Dengan kata-kata yang ia tulis, Thukul menjadi “kabar buruk bagi penguasa”.
Kata-kata sebagai gagasan bukan sekadar rangkaian bunyi yang secara fonetis
terdengar karena diucapkan, namun abadi dan tidak akan pernah mati. Ia adalah
spirit.
Membaca puisi di atas secara eksplisit terlihat
bentuk perlawanan Thukul melalui kata-kata terhadap penguasa. Baris “aku memang masih utuh” merupakan
tanggapan atas suara yang berkembang bahwa dia sudah hilang atau dihilangkan
pada masa pelarian setelah 1 Agustus 1996 sampai ia sungguh-sungguh dinyatakan
hilang. Puisi itu ditulis pada masa pelarian itu. Hal tersebut membuktikan
bahwa puisi bagi Thukul sungguh merupakan kenyataan sejarah, terutama narasi
hidupnya sendiri.
Kata-kata Thukul merupakan counter-ideology yang amat membahayakan penguasa. Hal tersebut juga
menunjukkan bahwa kata-kata bukanlah entitas yang mati, namun organisme hidup
yang akan mampu beranak-pinak. Walau Thukul telah menyerahkan umur-tenaga-luka, ia tetap mesti
dibasmi. Namun, Thukul amat yakin pembasmian itu tidak akan mampu membunuh
akar. Perhatikan puisi Thukul berikut ini.
Rumput Ilalang
hijau hijau
tumbuh lagi
walau kaubabat berulang kali
walau kaubakar berulangkali
hijau hijau
tumbuh lagi
sudah seratus kali kaucabut
kausemburkan api kerusuhan
hijau hijau
tumbuh lagi
harapanku
menaklukan
ketakutan
yang kauternakkan
lewat pidato
dan laras senapan
aku melihat ilalang
o siasialah
kekuasaan memasang
palang penghalang
ilalang
tetap hidup tumbuh
dan menang
walau
seratus kali digaru
Hegemoni adalah menguasai yang lain tanpa memakai
kekerasan, namun melalui persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik
dan ideologis, memakai kekuatan bahasa dan persuasi. Jika kekuasaan dijalankan
dengan bahasa (melalui pidato, slogan, dan jargon-jargon politik) dan senjata,
yang terjadi justru tirani. Hal tersebut yang mengakibatkan lahirnya
perlawanan.
Dalam puisi di atas Thukul memakai kultur agraris
untuk melukiskan posisinya secara sosial, politik, dan kultural. Metafora
rumput ilalang mengongkretkan bagaimana kondisi masyarakat yang termarginalkan,
sederhana, dipandang sebelah mata, dianggap merusak pemandangan, tidak
produktif, dan sebagainya. Karena kondisi seperti itu maka rumput ilalang
pantas dibasmi dan dibakar.
Kata-kata yang dipakai untuk mewakili kekuasaan
adalah: kaubabat, kaucabut, kausemburkan,
kauternakkan, pidato, laras senapan, dan palang penghalang. Kata-kata tersebut mewakili tindakan tiran yang
kejam yang menggunakan kekuasaan justru untuk melumpuhkan yang tertindas. Kesan
“perlawanan” Thukul terbaca amat tegas.
SIMPULAN
Baik puisi Rendra maupun puisi Thukul adalah
puisi-puisi perlawanan terhadap penguasa. Ada beberapa hal yang dapat dicatat
dari kedua penyair tersebut.
(1)
Rendra dan Thukul
sama-sama menulis puisi yang tidak hanya berkutat pada persoalan estetika,
tetapi justru puisi yang mengangkat keberpihakan mereka pada yang tertindas dan
dimarginalkan. Estetika bukan tujuan bagi puisi mereka. Puisi bagi mereka
adalah sarana penyadaran.
(2)
Karakter bahasa yang
mereka gunakan agak sedikit berbeda, walau kedua-duanya cenderung lugas. Rendra
dan Thukul menulis puisi bukan untuk dibaca, tetapi untuk didengar. Bedanya
Rendra menulis puisi bukan sebagai subjek yang mengalami penindasan, namun yang
melihat penindasan, sehingga bahasa yang digunakan lebih bernuansa deskripsi
dan narasi daripada ekspresi. Sedangkan Thukul adalah subjek yang sungguh
mengalami ketertindasan itu. Bahasa puisinya cenderung berteriak dan melawan.
(3)
Topik yang ditulis
kedua penyair itu pun berbeda. Rendra mengangkat penyimpangan dari segala
bidang kehidupan: pendidikan, politik, sosial, dan sebagainya sebagai dampak
dari pola kebijakan kekuasaan yang tidak berpihak. Sedangkan Thukul menuliskan
pengalaman hidupnya sendiri dan orang-orang di sekitarnya yang mengalami
kemiskinan karena struktur kuat kekuasaan.
Sebenarnya masih banyak penyair Indonesia yang
menuliskan puisi keberpihakan terhadap yang papa, misalnya Emha Ainun Najib,
Taufiq Ismail, dan Darmanto Jatman. Artinya, sastra terlibat sebenarnya
bukanlah sesuatu yang baru. Banyak penyair telah melakukannya. Pertanyaannya
sekarang masihkah penyair Indonesia “bersajak
tentang anggur dan bulan”, sementara kita selalu mendengar “Jerit hewan yang terluka.”
DAFTAR RUJUKAN
Damono,
Sapardi Djoko, 1999. Politik, Ideologi,
dan Sastra Hibrida. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis
Teks Media. Yogyakarta: LkiS.
Fairclough, Norman. 1995a. Critical Discourse Analysis: The Critical
Study of Language. Harlow Essex: Longman Group Limited.
Fairclough,
Norman (ed). 1995b. Kesadaran Bahasa
Kritis. Terjemahan Hartoyo. Semarang: IKIP Semarang Press.
Hardiman,
Francisco Budi, 1990. Kritik Ideologi:
Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Harun,
Chairul, 1982. “Sastra sebagai “Human Control”, dalam Dewan Kesenian Jakarta,
1984. Dua Puluh Sastrawan Bicara.
Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Hikam,
Muhammad A.S. 1999. “Bahasa dan Politik: Penghampiran “Discursive Practice”,
dalam Yudi Latif dan I.S. Ibrahim (Editor), 1999. Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru.
Bandung: Mizan.
Nadjib,
Emha Ainun, 1993. Sesobek Buku Harian
Indonesia. Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama.
Nugroho, Heru,
2001. Menumbuhkan Ide-ide Kritis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Magnis-Suseno,
Franz, 2000. Kuasa & Moral.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mohamad,
Gunawan, 1972. Potret Seorang Penyair
Muda sebagai Malin Kundang. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rendra,
1980. Potret Pembangunan dalam Puisi.
Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.
Rendra,
1983. Mempertimbangkan Tradisi.
Jakarta: Gramedia.
Saidi,
Acep Iwan, 2011. “Matinya Narasi” dalam Kompas,
Kamis 29 Desember 2011. Hlm 6.
Simon,
Roger. 2000. Gagasan-gagasan Politik
Gramsci. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar.
Thukul, Wiji, 2000.
Aku Ingin Jadi Peluru. Magelang:
Indonesia Tera.
van Dijk, Teun A. 1998. Critical Discourse Analysis.
(Online). (http://www.let.uva.nl/-teun/cda.html). Diakses 25 Desember 1998
[1] Nugroho (2001) menjelaskan bahwa kemiskinan warga masyarakat sering
dinyatakan sebagai akibat dari kebodohan, kurang keterampilan teknis, etos
kerja yang tumpul sehingga terapinya adalah meningkatkan need for achievement
melalui program pelatihan. Namun, sebenarnya kemiskinan juga disebabkan oleh
masalah struktur sosial, bahkan berkaitan secara kausal dengan
ketidakberdayaan.
[2] Rendra (1983) menulis bahwa di zaman dahulu kekuasaan raja dan
sistem feodal yang menyertainya dianggap sama mutlaknya dengan hukum alam. Oleh
karena itu apabila orang menghadapi sistem kekuasaan seperti itu maka ia
bersikap nrima dan pasrah. Keadaan sosial, politik dan
ekonomi seakan-akan adalah buah dari kemauan nasib dan dewata. Rakyat tidak
dapat ikut campur apalagi mengubahnya. Dalam keadaan yang sangat buruk
sekalipun, masyarakat hanya bisa berdoa dan berharap.
[3] Menurut Magnis-Suseno (2000:75-76) telah terjadi ketidakadilan yang
terwujud dalam struktur proses-proses politik, sosial, ekonomi dan budaya, atau
tentang ketidakadilan struktural. Ketidakadilan tersebut tampak pada sekelompok
orang, kelas-kelas, atau golongan-golongan tertentu yang tertimpa
ketidakadilan. Ketidakadilan yang paling mendesak dan kasar adalah kemiskinan
dan ketergantungan struktural. Kemiskinan bukan hanya masalah sosial, namun
sejatinya justru masalah ketidakadilan. Rakyat itu lapar, sakit, miskin,
terlantar bukan karena mereka malas, tetapi karena pembagian alamiah dan hasil
pekerjaan seluruh masyarakat belum adil.
Di samping
itu masyarakat miskin kehidupannya sangat bergantung kepada kelompok kecil
lain. Kemajuan dan kemunduran mereka, terlaksananya harapan hidup mereka
tergantung pada orang yang lebih kaya, lebih pintar, dan lebih kuasa. Mereka
tidak berdaulat atas mereka sendiri, mereka mudah dihisap dan sering diperkosa.
[4] Harun (1982) menegaskan
bahwa penyadaran terhadap masalah manusia secara langsung dan sekaligus
bukanlah dengan memaparkan apa yang lazim, apa yang wajar dan apa yang sudah
semestinya. Karya sastra dengan cara yang khas membeberkan
penyimpangan-penyimpangan, hal-hal yang tidak lazim, bahkan hal-hal yang
dianggap “tidak masuk akal”. Dengan membeberkan hal-hal tersebut secara
langsung pembaca akan mengalami ujian: Apakah hati nurani pembaca ini sudah
tumpul atau masih sehat? Apakah rasa kemanusiaan pembaca itu sudah mengalami
erosi ataukah masih subur? Sastra harus mampu menjadi human-control.
[5]Fairclough (1995b) berpendapat bahwa (1) Penggunaan bahasa/ wacana membentuk dan dibentuk
oleh masyarakat. Penggunaan bahasa berpengaruh terhadap dimensi lain dari
masyarakat dan juga dibentuk oleh masyarakat, sebuah hubungan dialektika; (2) Wacana
membantu menentukan dan mengubah pengetahuan dan objeknya, hubungan sosial, dan
identitas sosial. Wacana berpengaruh terhadap masyarakat. Tiga dimensi sosial
adalah pengetahuan, hubungan sosial, dan identitas sosial; yang kesemuanya
saling berhubungan dengan tiga fungsi utama bahasa: fungsi gagasan (ideational), yakni fungsi dalam mewakili
dan menandai dunia dan pengalaman kita; fungsi hubungan (relational), dalam mewujudkan dan mengubah hubungan sosial; dan
fungsi identik (identical), dalam
menentukan dan mengubah identitas social; (3) Wacana dibentuk oleh hubungan
kemampuan, dan ditanamkan dengan ideologi. Masyarakat mempengaruhi wacana.
Kekuasaan misalnya akan mempengaruhi kaidah dan aturan wacana dengan cara
‘menanamkannya’ dengan cara-cara tertentu melalui ideologi. (4) Pembentukan
wacana berada di ujung tanduk dalam perjuangan kekuasaan; (5) Studi wacana
kritis menunjukkan bagaimana masyarakat dan wacana saling membentuk.
ki-ka depan: Tengsoe Tjahjono, Herry Lamongan, Alang Khoirudin, Widodo Basuki
ki-ka belakang: Aming Aminoedhin, Burhanudin...
Sip.....nunut baca
BalasHapusSalam
Lukni Maulana
menambah pengetahuan. tak pernah bosan buntuti postingan Pak Teng
BalasHapusSalam pak