PERWUJUDAN KASIH DALAM HIDUP


PERWUJUDAN KASIH DALAM HIDUP

Tengsoe Tjahjono

Di hadapan saya terbentang sebuah manuskrip kitab puisi karya Pipie Johan E & Baby Anis K yang berjudul "Dari Pelataran Kenangan". Judul ini menunjukkan motivasi kedua penulis ini dalam mencipta puisi yaitu: merekam, mencatat, menghayati, menilai, kemudian mengungkapkan segala kenangan mereka atas peristiwa atau fenomena yang dialaminya. Mereka memilih bentuk ucap puisi sebab puisi lebih bersifat monolog, ungkapan jujur pribadi.

Hidup sebenarnya bersumber dari kasih, berjalan dalam kasih, dan bermuara pada kasih. Kasih adalah nafas hidup. Oleh karena kasih hidup itu menjadi bermakna. Puisi-puisi dalam kumpulan ini terkesan sebagai bukti perwujudan praktik kasih yang telah dijalani oleh kedua penyair. Bagaimana sesungguhnya hidup dalam kasih itu? Yesus pernah bersabda, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Matius 22: 37-39).

Mengasihi adalah perintah Tuhan. Kasih harus dijalankan agar hidup manusia menjadi indah dan bermakna. Dua hukum besar kasih adalah: Kasihilah Tuhan dan kasihilah sesama. Praktik mengasihi Tuhan bukan hanya ditunjukkan dengan berdoa dan pergi ke rumah ibadah, namun juga harus ditunjukkan melalui mengasihi manusia, alam dan segala isinya. Itulah yang tergambar dalam pelataran kenangan kedua penyair.

Perhatikan puisi  Pipie Johan berikut ini.

Balada Jumpa di Pekarangan

Bercengkerama mengusik keheningan kebun
membelah ketenangan tanaman subur merimbun
tergaet pesona segar yang menariknya turun.
mendaratkan lentik kaki lantas mencumbu dedaun

Begitu asyik menggurat lukisan
di atas permukaan sejumlah dedaunan
sedangkan angin tak mampu menggoyahkan cengkeraman
hingga sebelum beranjak, sejumlah luka dirajamkan

Betapapun alam selalu kisahkan balada jumpa dedaun dan belalang,
pada pertemuannya bersama angin ciptakan tarian musim, tarian riang
mengijinkan tajam paruh torehkan tanda menang,
kendati dedaun lantas tak utuh bahkan tercacah berlobang-lobang.

Puisi di atas lahir dari ketajaman Pipe Johan mengamati kehidupan belalang. Relasi belalang dan daun adalah relasi alamiah. Mereka saling ada karena ada yang mengadakan, dan mereka pun berjalan sesuai dengan gerak alam yang sudah digariskan. Tarian belalang yang indah yang berdampak pada daun yang tercacah berlubang-lubang merupakan hukum alam. Tak mungkin kita menyalahkan belalang yang perkasa atau memarahi daun yang lemah. Intinya: jangan mudah menghakimi. Hakim tertinggi hanyalah Tuhan.

Dengan sangat tepat Pipie menulis Betapapun alam selalu kisahkan balada jumpa dedaun dan belalang,/pada pertemuannya bersama angin ciptakan tarian musim, tarian riang/mengijinkan tajam paruh torehkan tanda menang/ kendati dedaun lantas tak utuh bahkan tercacah berlobang-lobang. Bait ini melukiskan secara baik relasi alam antar belalang dan dedaunan. Relasi kasih: angin - belalang - daun. Dalam setiap perwujudan kasih yang benar selalu meminta kerelaan berkorban. Daun pun rela dicacah hingga berlubang-lubang demi tarian belalang. Kristus pun rela menderita dalam perjalanan ke Golgota, bahkan wafat di palang salib, demi kasih-Nya kepada manusia yang penuh dosa. Dalam kasih hanya ada pengorbanan, bukan dendam.

Puisi Pipie Johan berikut ini juga berbicara tentang kasih yang lain yakni kasih itu selalu memiliki harapan.

Ritme Kehidupan Pohon Salak di Belakang Rumah

Tajam deretan duri sepanjang pelepah
dengan daun yang kerap mengguratkan kekasaran,
menantang ketelatenan kelewat sabar.
Apa mau dikata sepasang kembangnya tumbuh terpisah
mustahil bertemu berpadu kasih tanpa terbantu
Melibatkan campur tangan bernama ketelatenan.
Menyatukannya adalah seni proses bernafas cinta mengeja tekun
keringkan kembang jantan yang tak mampu jalan sendiri
teliti menabur serbuk benang sari pada putik berharap tuah
demi pangkal pohon berduri tajam, lekas berbuah
Maka hari-hariku lantas membilang harapan
menghitung berkat yang bakal tiba bersama masa tuai.

Dalam puisi di atas Pipie Johan menuliskan tentang kehidupan pohon salak. Sekali lagi, puisi ini pun lahir dari ketajaman pengamatan dan analisis Pipie. Dalam hidup bertemu dan berpisah sebenarnya merupakan sebuah keniscayaan. Siapa pun yang siap bertemu, pada akhirnya harus rela berpisah.Perpisahan tidak harus dipandang sebagai suatu kejadian yang buruk.

Saat kita berpisah lalu berjarak, proses membangun pertemuan itulah yang justru menarik, apalagi jika disertai kerinduan di sana. Pipie menulis dengan sangat apik: Menyatukannya adalah seni proses bernafas cinta mengeja tekun. Dalam keadaan seperti itu kasih diuji kesungguhannya. Kasih itu harus sabar dan harus memiliki harapan. Kehidupan yang serba sulit, penuh tekanan, dan kepahitan, tidak akan menjadi akhir bagi orang yang selalu memiliki harapan. Jadi, pada akhirnya Pipie menyimpulkan:  Maka hari-hariku lantas membilang harapan/ menghitung berkat yang bakal tiba bersama masa tuai. Segalanya indah pada akhirnya.

Tidak berbeda dengan Pipie Johan, puisi-puisi Baby Anis pun diilhami dari kedekatannya dengan peristiwa dan fenomena alam. Perhatikan puisi Baby berikut ini.

Memori Daun Pisang (1):
“Membungkus”

Membungkus air mata dengan senyuman, 
ternyata
tak semudah
membungkus nasi campur dengan daun pisang..
Ibuk,
Sekarang aku tahu…..
Waktu itu kau selalu berkata padaku:
Bungkuslah dengan rapi sebelum kau serahkan pada pembeli

Puisi di atas terkesan sangat sederhana. Peristiwa membungkus dengan memakai daun pisang merupakan peristiwa yang lumrah terjadi di pasar yang dilakukan oleh para penjual. Namun, pembelajaran dari peristiwa yang coba diangkat oleh Baby. Membandingkan membungkus air mata dan membungkus nasi campur merupakan kontras yang sangat maknawi.

Serumit-rumitnya membungkus nasi campur dengan daun pisang, tak serumit menyembunyikan jiwa yang sedang sakit atau berduka. Senyuman pun akan terasa sedang dibuat-buat ketika sejatinya seseorang sedang menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Apalagi berpura-pura di hadapan Tuhan. Tentu sangat tidak berguna dan pasti sia-sia. Namun, manusia justru sering membohongi Tuhan atas kejahatan atau penyimpangan yang dilakukan.

Baris: Bungkuslah dengan rapi sebelum kau serahkan pada pembeli, merupakan baris yang kaya pesan. Artinya, tak semua hal harus dinyatakan ke banyak orang. Adakalanya hal-hal tertentu sebaiknya disimpan dalam hati seperti yang selalu dilakukan oleh Bunda Maria. Bunda Maria selalu menyimpan perkara di dakam hati. Hal tersebut merupakan sikap Bunda Maria yang sangat sederhana dan sangat dalam, namun tak gampang menirukannya. Manusia seringkali cenderung nyinyir bercerita, walau kadang-kadang tanpa data dan fakta yang pasti dan akurat.

Perhatikan puisi Baby berikut ini.

Oseng-Oseng Daun Pepaya

Rasa pahit getir membelalakkan mata
Lidahku memberontak menolak rasa.
Satu kali… lima kali…. Lima puluh kali…
Dia datang menebar ketakutan dan kegetiran.

Saat seratus kali aku mencoba
Lidahku bersahabat dan menerima
Jiwa pun memberi makna.
Pesona rasa kukecap nikmat,
di sela-sela rasa pahit pekat.
Aku hanya termangu meninggalkan tanya:
“Ibu, kemana perginya rasa pahit daun papaya itu?”

Puisi ini juga tak kalah menarik karena kesederhanaan objek yang ditulis yaitu oseng-oseng daun pepaya. Daun pepaya terasa pahit di lidah jika dimakan. Tak semua orang menyukai masakan berbahankan daun pepaya. Puisi ini seakan menunjukkan bagaimana sikap orang terhadap kepahitan hidup. Mereka berusaha menolak, menghindar, dan menjauhi. Sikap menghindar begini justru yang membuat manusia tak bisa menjadi dewasa.

Satu kali dua kali, mungkin sampai seratus kali dikecap daun pepaya masih terasa pahit. Namun, jika dinikmati terus-menerus tanpa disadari rasa pahit itu pun lenyap. Baby bertanya, “Ibu, kemana perginya rasa pahit daun papaya itu?” Penikmatan terus-menerus menjadikan sebuah habitus bagi manusia. Habitus itulah yang membuat rasa pahit itu lenyap. Rasa pahit itu telah menjadi sahabat yang asyik, bukan sesuatu yang menakutkan. Dengan kata lain, kuasa kasihlah yang membuat rasa sakit itu lenyap.

Kedua penyair ini berhasil menulis puisi religius yang baik. Bagi saya religiositas merupakan praktik iman dan kasih dalam hidup sehari-hari. Tak harus bertebaran ayat-ayat kitab suci di dalamnya. Sebab iman tanpa perbuatan adalah sia-sia.

Kitab Puisi "Dari Pelataran Kenangan" pantas untuk dibaca. Dia akan hadir sebagai media refleksi hidup dengan cara menikmati peristiwa-peristiwa dan fenomena alam yang sederhana. Dengan membaca puisi-puisi dalam kitab puisi, kita diajak untuk bersyukur atas nikmat Tuhan atas alam dan segala isinya serta manusia yang hidup di antara kita. Mari kita baca.

Seoul, 10 Januari 2015
 

Aku di antara pamlet..

 
                                                               Aku di Garden 5 Seoul
 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi