MEMBACA PELACUR DALAM PUISI


MEMBACA PELACUR DALAM PUISI

Tengsoe Tjahjono

Puisi merupakan sebuah teks, tertulis atau lisan. Untuk menafsirkan teks menurut Riceour ada tiga tahapan penting yang harus dilalui yaitu analisis sosial, analisis diskursif, dan interpertasi. Tulisan ini akan membahas “dunia batin” pelacur dalam pergumulannya melawan hidup agar tetap bertahan hidup yang terdapat pada antologi puisi “Setetes Air di Lokalisasi” (SADL) karya para PSK di lokalisasi Semampir dan Ngujang.

POTRET SOSIO-KULTURAL  PELACUR
Tulisan ini akan dimulai dengan melakukan analisis sosial. Ricoer (2003) menjelaskan bahwa analisis sosial merupakan upaya mengkaji kondisi sosial historis tempat manusia melakukan aksi dan interaksi. Sebab, studi ideologi tak dapat dilakukan tanpa mempelajari relasi-relasi dominasi dan cara-cara relasi tersebut secara terus-menerus dijadikan ekspresi penuh makna.

Kondisi sosial historis yang dimaksudkan dalam kajian ini ialah kondisi sosial historis yang terdapat dalam antologi puisi SADL.  Teks menurut Ricouer  (2003) ialah apa yang dikatakan (what is said) yang tidak lagi terikat pada konteks asli pembicaraan. Dengan demikian, ia adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri, baik dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan teks-teks lain.

Sebagai sebuah dunia imajiner sebuah teks sastra mengandung ‘dunia’ di dalamnya, tempat “aku lirik” melakukan aksi dan interaksi. Dalam bagian ini dikaji aksi dan interaksi  “aku lirik” dalam pergulatannya melawan pilihan hidupnya. Analisis sosial historis tersebut menurut Ricouer  memiliki tiga level kajian. Pertama, level tindakan. Dalam level ini akan diidentifikasi konteks tindakan dan interaksi sebagai konteks “aku lirik” memunculkan keinginannya. Realisasi tindakan (juga tindak-ucapan) secara situasional bersifat spesifik menyangkut aspek latar, waktu, dan karakter. Kedua, level lembaga. Lembaga atau institusi tertentu secara relatif membangun kerangka kerja yang stabil bagi aksi dan interaksi. Ia tidak menentukan tindakan tetapi menyebabkan terbangunnya rasa membentuk (sense of establishing) secara longgar dan tentatif. Ketiga, level elemen struktural. Sesungguhnya perhatian para tokoh bukan pada institusi atau lembaga, tetapi elemen struktural yang menyebabkan kondisi atau lembaga terstruktur. Rekonstruksi elemen struktur merupakan aspek esensial dari analisis sosial, karena pada level institusi elemen-elemen tersebut menopang sebagian dari mayoritas relasi dominasi yang penting.

Perhatikan puisi berikut ini.

ANAKKU
Aku adalah seorang ibu
Yang telah lama ditinggal suami
Jadi aku menghidupi anakku seorang diri
Aku bekerja mencari nafkah demi anakku
Aku bekerja seperti ini
Keluargaku tidak ada yang tahu
Aku sangat bersyukur bahwa anakku bisa menerima apa adanya
Aku sangat menyayangi anakku karena dia adalah satu-satunya
penyambung hidup nyawaku untuk semangat bekerja
Aku tak akan melupakan anakku meskipun dia tidak bersamaku
Kuakui memang anakku tidak bersamaku
Dia berada atau diasuh kedua orang tuaku

(Susan)

 
CITA DAN CINTA

Dengan berbekal modal lahir dan batin
Aku melangkah dan terjerumus ke karir lain
Yang mungkin akan kulakukan...
Yang mungkin akan kuteruskan...
Demi engkau keluarga ...
Demi engkau yang kucinta ...
Walau itu semua berkecimpung dengan dosa
Aku bersabar melangkah …
Aku bersabar menadah …
Tanpa tahu keluarga … keluargaku tercinta
Derita-derita kujalani
Demi semua keluargaku
Semoga cita dan cintaku
Berhasil demi keluargaku
Tuhan ... berilah ridaMu ...
Walau jalanku ... bukan jalan ... yang Engkau ridai
Demi tercapai cita dan cintaku ...

 (Titin S.)

”Aku lirik” dalam kedua puisi di atas tampak sebagai representasi penyairnya yang berprofesi sebagai PSK. Jadilah puisi tersebut sebagai otobiografi yang melukiskan atau menarasikan ”dunia batin” penulis. Puisi di atas melukiskan konteks relasi dan interaksi dalam sebuah konstuksi sosial keluarga, baik keluarga kecil maupun keluarga besar.

Dalam puisi ”Anakku” terdapat relasi ”aku lirik” (ibu) - ayah (atau suami-istri) – anak. Suami yang meninggalkan rumah menjadi alasan bagi ”aku lirik” untuk bertahan hidup dengan cara menjadi PSK. Sedangkan, dalam puisi ”Cita dan Cinta” terdapat relasi ”aku lirik” – keluarga (dalam hal ini orang tua dan saudara-saudaranya. Alasan kemiskinan tampaknya yang mendorong ”aku lirik” memilih jalan hidup sebagai PSK.

Level tindakan yang dilakukan oleh ”aku lirik” dipengaruhi pula oleh level institusi keluarga.  ”Kemiskinan”  menyuburkan benih-benih panggilan untuk menjadi pelacur.  ”Aku bekerja mencari nafkah demi anakku” dan ”Demi engkau keluarga/Demi engkau yang kucinta” menjadi alasan klasik, namun sebenarnya amat rasional. Lebih-lebih ”Keluargaku tidak ada yang tahu” dan ”Tanpa tahu keluarga”. Kondisi keluarga seperti itulah yang justru mampu membangun kerangka kerja yang stabil dalam menjalani pilihan hidupnya bagi ”aku lirik”.

”Kerelaan” berkorban demi orang-orang yang dicintai sebenarnya merupakan bangunan kultural yang bersemi dalam benak ”aku lirik” yang nota bene perempuan itu.  Dalam posisinya sebagai ibu, perempuan tentu akan sangat mencintai anak-anaknya. Dalam posisinya sebagai anak, perempuan tentu akan sangat berbakti kepada orang tuanya. Struktur kultural seperti itulah yang membuat perempuan dengan segala kelebihan dan kelemahannya berjuang dalam hidupnya.

Mengapa menjadi pelacur? Adler, salah satu tokoh Psikoanalisa, menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang menjadi pelacur dasarnya adalah pilihan untuk menghindari usaha yang lebih sulit. Pemecahan problem kehidupan dilakukan dengan cara mereka sendiri, yang melanggar batas-batas hukum masyarakat.

Yang unik dari kedua puisi di atas adalah munculnya kesadaran religius dalam diri ”aku lirik”, yaitu:  ”Aku sangat bersyukur bahwa anakku bisa menerima apa adanya” dan ”Tuhan ... berilah ridaMu ... /Walau jalanku ... bukan jalan ... yang Engkau ridai”. Artinya, sesungguhnya Tuhan hidup pula dalam batin mereka. PSK bukanlah pribadi yang menafikan Tuhan dalam hidup mereka. Justru ada ”kekuatan amat dahsyat” lain yang mampu merenggut mereka dari pelukan kasih Illahi. Dan, bisa jadi PSK merupakan korban dari kekuatan lain tersebut, entah itu industri, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya.

Perhatikan pula puisi berikut ini.

KUTANG

Kutertarik bentuk keindahannya
Ia yang selalu kubutuhkan
Kupandang, kubelai dan kupeluk dikau
Wau ... begitu cantiknya dikau bila kupakai
Lalu ada seorang laki-laki yang tertarik pada bentuk dan keindahanmu
Lalu laki-laki meraba-rabanya
Si kutang berkata peluklah aku
Oh ... tidak
Lalu laki-laki itu berkata
Aku lebih menyukai dalamnya kutang

(Ning)

HP DI DALAM KANTONG CELANA

Jika aku melihatmu
Aku tersenyum-senyum
Melihat celanamu
Selalu kubayangkan dalam celanamu yang sangat menonjol
Kurasakan tanganku di dalam celanamu
Ternyata handphone di dalam kantong celanamu
Tak ubahnya seperti di dalam kantong celanaku

(Iswati)

Puisi ”Kutang” dan ”HP dalam Kantong Celana” merupakan pernik-pernik realitas lain dalam kehidupan seorang perempuan PSK. Dua peristiwa atau hal yang tergambar dalam puisi tersebut justru menunjukkan sisi utuh kemanusiaan seorang pribadi yang PSK. Perilaku mereka sehubungan dengan kutang dan HP justru merepresentasikan suatu latar sosial yang berada pada dua kontinum: antara pribadi yang harus berjuang dan pribadi keseharian yang sejatinya amat sederhana; antara jiwa yang terkoyak dan jiwa yang harus gembira; antara mulut yang harus berteriak-berontak dengan bibir yang harus tersenyum manis; antara menangisi hidup dan menertawakan hidup.

Kutang bagi seorang PSK pada umumnya hadir untuk memberikan kesan sensual bagi bentuk payudaranya, perwujudan politik tubuh. Dia dihadirkan sebagai gapura indah yang pada saatnya harus dibuka saat sang tamu datang berkunjung. Tak salah bila penyair menulis: ”Lalu laki-laki itu berkata/ Aku lebih menyukai dalamnya kutang.” Politik tubuh tentang dalamnya kutang ini pun sudah pernah muncul dalam novel ”Belenggu” karya Armijn Pane saat dr. Sukartono mengunjungi Hayati dan menjumpai bagian dada kimono Hayati terlihat terbuka.

Secara sosial persoalan kutang dalam lingkungan lokalisasi bukanlah persoalan asing. Yang menarik justru ketika kutang itu berkata ”peluklah aku”. Kutang itu tampaknya didisain agar memiliki daya panggil dan daya gugah bagi para lelaki yang melintas di hadapan ”aku lirik”. Jadilah kutang sebagai sarana awal untuk memulai sebuah perhelatan jual-beli kenikmatan, walau hanya sesaat.

Lalu bagaimana dengan HP pada puisi ”HP di Dalam Kantong Celana”? Dalam puisi ini sebenarnya HP tidaklah diangkat sebagai tema sentral. Baris ”Jika aku melihatmu/ Aku tersenyum-senyum? Melihat celanamu/ Selalu kubayangkan dalam celanamu yang sangat menonjol/ Kurasakan tanganku di dalam celanamu” sebenarnya merupakan persoalan pokok yang diangkat penyair. Sebuah deskripsi dari tindakan keseharian PSK ketika melayani atau menggoda sang tamu. HP menjadi kamuflase yang indah yang dengan sengaja diciptakan penyair.

Puisi “Kutang” dan “HP di Dalam Kantong Celana” diungkapkan dengan gaya jenaka. Puisi-puisi jenis ini, yang jumlahnya cukup banyak dalam antologi SADL, seperti katup terbuka untuk melepaskan diri dari ketertekanan jiwa dan nurani. Perempuan PSK ini pun memerlukan suasana cair yang lebih kontemplatif ketimbang lagu dangdut atau campur sari misalnya.

Berdasarkan pembahasan 4 puisi di atas dapat terlihat rentangan persoalan yang diangkat penyair sebagai aku lirik yang PSK tersebut: hal-hal yang menyangkut prinsip dan hakikat hidup serta hal-hal kecil dan sederhana yang bertaburan di sekitar hidup mereka sebagai pelacur. Narasi hidup mereka tampaknya jatuh bangun dalam rentangan tarik-menarik anara dua kontinum: yang esensi dan yang tak berarti.

MEMBACA BAHASA PELACUR

Potret sosio-kultural yang terdapat dalam SADL sesungguhnya merupakan konstruksi simbol yang kompleks yang menunjukkan struktur artikulasinya. Karakteristik inilah yang memerlukan analisis diskursif (Thompson, 2004). Analisis diskusif berarti mempelajari konstruksi bahasa yang menunjukkan struktur bermakna. Puisi sebagai sebuah wacana diposisikan sebagai praktik ekspresi pergulatan PSK dalam hidup pribadinya dengan mendayagunakan potensi konstruksi bahasa.

Dalam puisi ”Anakku” terdapat baris ”Aku adalah seorang ibu/ Yang telah lama ditinggal suami”. Dalam baris tersebut ”aku lirik” sengaja menonjolkan posisinya sebagai ”ibu” dan bukan sebagai istri, walau di sisi lain ia menyadari bahwa ia menjadi PSK karena ditinggal suami. Sebutan istri ia buang karena ia pernah merasakan sakit dalam posisi sebagai istri; sebutan ayah juga ia tiadakan karena baginya ayah bagi anaknya adalah ia sendiri. Konstruksi bahasa seperti itu tanpa disadari muncul saat ”aku lirik” ingin merepresentasikan dirinya ke dalam puisi sejujur-jujurnya.

Dalam puisi ”Anakku” kata ganti aku muncul pada hampir semua awal baris. Hal tersebut membuktikan bahwa ”aku” hadir sebagai pusat, baik sebagai entitas yang kalah maupun entitas yang menang. Sekurang-kurangnya ”aku lirik” hendak menunjukkan kepada pembaca ”Bacalah, inilah pergulatanku.”

Dalam puisi tersebut terdapat baris ”Aku bekerja seperti ini.” Deiksis ”seperti ini” memang tidak jelas referensinya, kecuali kita membaca kata pengantar dari antologi SADL, dan mengetahu puisi-puisi ini ditulis oleh perempuan PSK. Artinya, penyair sengaja mengaburkan deiksis tersebut. Untuk apa? Bisa jadi hal itu menunjukkan sikap inferior aku lirik atas profesinya. Ia pun merasa malu untuk mengungkapkan secara lugas apa yang ia kerjakan. Atau, aku lirik memiliki kesadaran kontekstual. Artinya, tanpa diungkapkan secara eksplisit pun, pembaca akan tahu karena dibantu oleh konteks.

Seorang perempuan terjerumus ke jalan gelap. Dalam puisi ”Cita dan Cinta” tertulis ”Yang mungkin akan kulakukan .../ Yang mungkin akan kuteruskan ...” Dalam baris-baris tersebut ada paralelisme anafora ”Yang mungkin akan ...” Frase ini memperlihatkan ungkapan ketidakpastian dan ketidakjelasan, suatu pilihan hidup yang akan menjadi pilihan terakhir manakala pilihan-pilihan yang lebih baik tidak ditemukannya. Artinya, “aku lirik” sebenarnya sadar bahwa pilihannya itu bukanlah pilihan yang sangat ia kehendaki, namun didorong oleh determinasi hidup yang tidak dapat ia tawar-tawar lagi.

Di samping itu terdapat pula paralelisme anafora “Demi engkau” dalam baris “Demi engkau keluarga …/ Demi engkau yang kucinta …” Penekanan “demi engkau” memperlihatkan betapa besar motivasi berkorban demi kebahagiaan pribadi di luar dirinya. “Berkorban” dalam ketidakberdayaan membuat perempuan memilih jalan mudah dan “halal” menurut cara berpikirnya, “Saya kan tidak mencuri, juga tidak mengemis.”

Ketidakberdayaan tersebut dikuatkan pula dengan paralelisme anafora “aku bersabar” yang terdapat dalam baris-baris “Aku bersabar melangkah …/ Aku bersabar menadah …” Mungkin hanya dengan bersabar si aku lirik dapat menjalani hidup yang dipandang tidak normal tersebut dengan tanpa dibebani rasa bersalah. Selain itu dengan frase “aku bersabar” aku lirik masih melihat adanya kemungkinan lain di masa akan datang untuk menjalani hidup secara lebih baik.

Baris “Tuhan … berilah rida-Mu … / Walau jalanku ... bukan jalan ... yang Engkau ridai” sungguh merupakan pemakaian majas yang amat paradoksal dan sekaligus ironi. Paradoksal karena si aku lirik sungguh mengetahui bahwa jalan yang dipilih bukanlah sebuah jalan terang, namun toh tetap ia jalani; ironi karena si aku lirik meminta rida Tuhan atas pilihan hidup yang amat tidak dikehendaki Tuhan. Permohonan rida merupakan ekspresi dari ketidakberdayaannya sebagai makhluk Tuhan, dan hanya kepada Tuhan ia mohon ampun dan petunjuk. Si aku lirik sebenarnya tidak menginginkan rida atas tindakannya yang tidak berada di jalan Tuhan, namun rida atas nasib buruk yang harus disandangnya.

Ada relasi antara: aku lirik sebagai pusat – determinasi hidup yang amat kuat – ketidakberdayaan yang dikonstruksi oleh struktur kultur dan sosial/ lingkungan – pilihan hidup sebagai PSK – Tuhan sebagai tempat mengadu dan berharap.  Para perempuan PSK ini dalam membuat puisi pun memilih bahasa lugas karena mereka memang lebih menekankan pemaparan gagasan dan deskripsi pengalaman. Penonjolan aku lirik dalam awal baris memang lebih mudah dilakukan. Hal itu menunjukkan kelugasan nalar bahasa mereka, dan  penekanan yang lain dilakukan dengan memakai paralelisme anafora serta repitisi. Ini pun relatif mudah ia lakukan daripada pemakaian metafora misalnya.

HARAPAN

Puisi memang milik siapa saja. Siapa pun boleh menulis, siapa pun boleh membaca. Puisi adalah ungkapan subjektif seorang penyair. Sebagai ungkapan subjektif kita pun tidak mengenal lagi estetika baku, estetika bersama. Menulis puisi bagi seorang pelacur bisa jadi merupakan peluang untuk merebut kesempatan lain yang jauh lebih terpuji daripada jadi pelacur. Atau, jika hal tersebut terlalu muluk, puisi bisa jadi bentuk rekreasi yang lebih konstruktif, atau tempat curhat yang selalu bersedia menerima segala tumpahan kekesalan, ketakutan, kecemasan, kekecewaan, dan sebagainya dalam hidup seorang pelacur.  Seorang perempuan PSK menulis sastra? Apa salahnya.

Komentar

  1. Ha ... Ha ... Ha ... Manteb banget, Pak! Pelacur yang layaknya segera bertobat. Karena memang harus menyadari -- apalagi telah mampu menulis puisi -- bahwa hidup juga akan berakhir.

    BalasHapus
  2. mengkaji pelacur, kehidupan, dan sebab lewat puisi. Tulisan ini cukup menyingkap semua Pak Teng. Salam hormat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi