Puisi: Antara Teknik dan Substansi
PUISI: ANTARA TEKNIK DAN SUBSTANSI
Oleh: Tengsoe Tjahjono
Aku
seringkali iri membaca puisi-puisimu
yang mampu
membuat korek api, tempat parkir
dan selang
air menjadi isyarat yang lebih mapan
dari biru
langit, semu senja dan manja hujan.
(Tentang Bulu
Mata yang Dipertanyakan – Andi Wirambara)
/1/
Saat aku menerima buku antologi puisi Sulfatara (Pelangi
Sastra Malang dalam Puisi) muncul perasaan bangga. Ternyata nafas sastra di
Malang masih ada. Tidak mati seperti diduga orang selama ini. Bagiku menulis
sastra itu adalah sebuah panggilan. Tidak banyak anak muda yang dipanggil untuk
berkarya di bidang ini. Nah, dari yang sedikit itu ternyata mampu melahirkan
karya. Buku Sulfatara menjadi sinyal dan tanda bahwa sastra di kota Malang
tidak akan pernah tiada.
Ada 16 penyair berbakat mempersembahkan karyanya dalam
antologi ini. Tentu, yang tidak dapat dihindarkan munculnya keberagaman, baik
dari segi bentuk maupun isi, dari segi teknik maupun substansi, dari segi
‘mencari’ dan ‘menjadi’.
Harapanku adalah munculnya diskusi kreatif dari para
penyair tersebut, baik melalui buku antologi, ruang-ruang diskusi, bahkan
melalui jejaring sosial yang ada. Sastrawan yang berhimpun dalam kegiatan
Pelangi Sastra Malang dengan semangat saling asih, asuh, dan asah akan mampu
menjadi energi bagi tumbuhnya sastra di Malang secara khusus, di Indonesia
secara umum.
/2/
Tulisan pendek ini aku buka dengan sebuah bait puisi yang
ditulis Andi Wirambara. Dengan sangat tepat dan amat metaforik ia merumuskan
bagaimana sebenarnya puisi yang baik itu. Puisi yang baik adalah puisi yang
mampu membuat korek api, tempat parkir/
dan selang air menjadi isyarat yang lebih mapan/ dari biru langit, semu senja
dan manja hujan. Puisi yang baik justru lahir dari perca-perca kata
sederhana yang berserak di sekitar kita. Puisi yang baik tidak harus terjebak
pada pemilihan gincu dan maskara dalam mengekspresikan gagasannya. Prinsipnya
barangkali yang sederhana justru mampu melahirkan keindahan tiada tara.
Wirambara menyadari bahwa selama ini penyair selalu
memakai fenomena alam sebagai metafora untuk gagasan yang ditulis. Pemakaian
fenomena alam yang terus-menerus justru memperlihatkan betapa tidak kreatifnya
penyair dalam mengolah fenomena budaya yang justru hadir silih berganti dalam
kehidupan manusia. Pemanfaatan fenomena alam semata pada akhirnya hanya
melahirkan idiom klise, statis, dan terkesan monoton.
Perhatikan kutipan puisi berikut ini.
1
nyanyikanlah, karena ia adalah satu dari sekian sopran
yang telah memburu dan membunuh waktu,
memetik nada presisi yang jarang berhenti.
motif berada pada sekrup, jarum, dan roda-roda gigi
dengan irama yang pasti, diiringi falsetto yang
semakin
meninggi
(Rapsodi Marsinah – Mukhlis Imam Bashori)
ijinkan saya melihat kembang api lagi.
sendirian pun tidak masalah, tanpa Anda.
tapi kembang apinya harus banyak.
saya ingin melihat kembang api yang tiada
pernah selesai
(Kembang Api 1 – Widiantiwidianti)
Dalam puisi Rapsodi Marsinah Mukhlis Imam Bashori dengan
amat cermat menggambarkan perjuangan Marsinah dengan memakai latar ‘paduan
suara’ dan latar benda ‘arloji’. Perhatikan pilihan kata: nada, sopran,
falsetto, irama, dan meninggi yang merupakan kata-kata yang berada dalam satu
medan makna; serta sekrup, jarum, dan roda-roda gigi, karena Marsinah memang
buruh di pabrik arloji. Kesadaran kontekstual itulah yang membuat puisi ini
berhasil. Penyair benar-benar luluh dalam konteks kata yang hidup di sekitar
‘aku lirik’, tidak terbang melayang di langit lepas, namun justru kokoh berdiri
di bumi.
Widiantiwidianti menulis dengan begitu sederhana dalam
puisinya Kembang Api 1. Dia tidak tergoda untuk berindah-indah, walau justru
karena tidak tergoda itulah puisinya menjadi indah. Kejutan puisi itu muncul
pada larik saya ingin melihat kembang api
yang tiada/ pernah selesai. Membayangkan kembang api yang tiada pernah
selesai sangatlah menakjubkan. Antara mungkin dan tidak mungkin. Cita-cita yang
amat sederhana, namun tidak mudah mewujudkannya.
Hal yang sama terbaca juga dalam puisi-puisi Denny
Mizhar. Misalnya berikut ini.
Ada tower berdiri dalam telingaku. Gemerlipan lampu
dari mataku. Ada rindu yang tersumbat ketika pohon
ditumbangkan. Ada hujan yang menjadi banjir dalam
celanaku. Kemana aku harus lari di ubun-ubun kota ini.
Hilang aku dalam pusaran waktu yang terus merangkak
dengan angka yang berubah digit-digitnya tuk capai
kata: fantastis.
(Fantastis – Denny Mizhar)
Tower, gemerlip lampu, pohon, hujan, angka,
malang-melintang dalam tubuh dan jiwa manusia. Betapa hiruk-pikuknya. Dan,
manusia dalam bingkai kosmopolitan hidup dalam kondisi jiwa seperti itu.
Harmoni menjadi tidak penting. Yang penting bagaimana manusia menghimpun
angka-angka, menyusun bilangan fantastis dalam jiwa. Hidup menjadi amat
pragmatis dan materialistis, nilai-nilai keilahian disisihkan.
Contoh-contoh di atas adalah contoh beberapa penyair yang
memiliki bentuk ucap yang berhasil. Kata-kata, struktur sintaksis, dan metafora
dibangun dari bahasa yang hidup di sekitar mereka.
Perhatikan contoh lain berikut ini.
Senjakala telah tiba
Ke arah mana aku harus melangkah
Semuanya telah tiada
Kucoba membuka lembaran-lembaran cerita
Namun yang kudapat sesal belaka
(Rembulan Malam – Afif Afandi)
seribu ketakutanku
barangkali mengiringi mimpimu
atau menjadi kunang-kunang malam
mengelabuhi tidurmu yang hampir kelam.
(Seribu Ketakutan – Husen Arifin)
Dalam malam-malam berbantal cekam indra yang mendera
Mesti tersuluh gurat elegi sang nareswari tuk
nareswaranya
Ia, sang batari kasih tuk donya manungsa
Mestinya tetap menabur kamabana bersama sang
Kamajaya
Tapi hanya lelaku lara yang kini terus ia usap
Dengan tangan bergelar getarnya.
(Nastapaloka Kamaratih – Elyda K. Rara)
Judul Rembulan
Malam oleh Afif Afandi merupakan judul yang kurang memikat karena frase itu
sudah amat klise dan tidak menghadirkan ruang pertanyaan dalam diri pembaca.
Bulan tentu muncul pada malam hari. Akan berbeda jika ada puisi berjudul
Rembulan Tengah Hari, Rembulan Telanjang, atau Rembulan Tergolek di Jendela.
Judul-judul macam begini merangsang pembaca untuk berpikir. Maka, persoalan
judul merupakan perkara penting karena ia merupakan gerbang pertama saat
pembaca bersilaturahmi dengan karya sastra.
Baris ‘senjakala
telah tiba’ atau ‘semuanya telah
tiada’ merupakan contoh kalimat klise yang sering dipakai dalam puisi-puisi
lama. Ketika baris-baris seperti itu muncul pada ekspresi puisi saat ini sangat
tidak mampu melukiskan roh persoalan manusia. Pada sastra modern sekarang ini
keindahan justru muncul pada tataan-tataan kontras, kalau perlu dekonstruksi,
bukan pada yang linear dan tertib.
Pemakaian rima seperti yang kita jumpai pada puisi-puisi
Pujangga Baru juga masih terdapat pada kutipan puisi Afif. Dalam puisi tersebut
terdapat perulangan bunyi /a/ pada akhir setiap baris. Iramanya menjadi rata,
tanpa kejutan, tanpa hentakan. Puisi-puisi Afif masih berada pada wilayah
teknik.
Hal yang sama juga dijumpai dalam puisi Husen Arifin yang
berjudul Seribu Ketakutan. Pola rima a-a-b-b terdapat juga di sana. Termasuk
frase kunang-kunang malam yang
sebenarnya cukup kunang-kunang. Penambahan kata malam terkesan tidak efektif.
Frase seribu ketakutan secara semantik juga pantas ditanyakan. Ketakutan adalah
kata benda abstrak sehingga tidak bisa dihitung dengan bilangan. Mungkinkah ada
bentukan satu ketakutan, lima ketakutan, seratus ketakutan, dan seterusnya.
Sungguh, kekuatan puisi terletak pada kemampuan penyair cermat memilih kata.
Dan hati-hati, dalam bahasa Indonesia tidak ada kata mengelabuhi, mestinya mengelabui.
Puisi yang berhasil tidak harus sulit dipahami, walau
sederhana, dia harus memiliki aura. Saat aku membaca puisi Elyda K. Rara,
terasa disorongkan ke dalam kamar gelap. Aku harus meraba kesana-kemari sebelum
menemukan jendela dan pijar makna. Memang akhirnya aku sampai juga, tetapi
betapa capeknya.
Misalnya frase tersuluh
gurat elegi sang nareswari tuk nareswaranya. Suluh bermakna obor/ penerang,
elegi bermakna nyanyian duka. Dengan demikian makna harafiah tersuluh gurat elegi
adalah diterangi tanda-tanda nyanyian duka. Apa begitu maksudnya? Mengapa
nyanyian duka mampu menjadi penerang? Jangan-jangan penyair hanya ingin
berindah-indah semata.
Pemakaian kosa kata bahasa Jawa ‘donya manungsa’ juga tidak jelas tujuannya. Jika penyair ingin
menggambarkan latar Jawa, apa sungguh diperlukan dalam puisi tersebut, karena
dalam bahasa Indonesia dijumpai kata ‘dunia manusia’ yang maknanya sama saja.
Bahkan, kata kamabana sama sekali
susah aku pahami sebagai pembaca. Bagaimana pula maksud baris Tapi hanya lelaku lara yang kini terus ia
usap/ Dengan tangan bergelar getarnya. Jika ada cara mudah untuk
mengungkapkan gagasan melalui puisi, mengapa mesti melalui jalan sulit.
Perhatikan cara Novel Jubbek melukiskan betapa tidak
mudah seseorang menetapkan jalan dan pilihan hidupnya. Ketika seseorang
menginginkan tidur nyenyak, tetangga justru membunyikan musik keras-keras;
ketika seseorang menginginkan jadi polisi, tetapi keadaan justru mendorongnya
jadi pencuri. Peristiwa dan pengalaman yang sungguh tidak terduga. Dalam puisi
Rantau Novel Jubbek mengungkapkannya secara amat sederhana, tanpa mengurangi
kedalaman maknanya.
di halte. seorang akan pergi
menuju musim semi
dan matahari. membawanya berlalu
di musim dingin
(Rantau – Noval Jubbek)
/3/
Bagiku ada beberapa penyair yang sudah berhasil melampaui
persoalan teknik dan sudah masuk ke wilayah substansi. Namun, banyak pula
penyair yang masih gamang memilih bentuk ucap walau sudah memiliki kemampuan
teknik yang cukup. Bahkan, ada pula yang masih berkutat pada persoalan teknik.
Hal itu berarti bahwa kerja kepenyairan adalah proses panjang yang tidak boleh
berhenti, bergerak dari proses ‘mencari’ menuju kepada titik ‘menjadi’.
Puisi-puisi berikut ini adalah puisi-puisi yang berhasil
mengangkat problem kemanusiaan. Puisi-puisi itu tidak lagi bicara persoalan
‘pribadi’ penyair, namun mengangkat persoalan kemanusiaan secara lebih luas.
Spirit naratif, paradoks dan ironi menjadikan puisi-puisi itu terasa sekali
bobot puitiknya.
satu.
Seekor burung hendak kabur dari dalam sangkar
Ia memutuskan berminggu-minggu tak berkicau
Padahal ia lupa, sejak menetas
Ia tak pernah tahu cara berkicau
(Empat Babak Burung yang Hendak Kabur – Andi
Wirambara)
Aku melihat orang-orang memasuki pemanggangan
sukarela. Mereka percaya akan segera dikirim
secepatnya.
Angin muson tidak ditiup kemari. Tapi puting beliung
akan segera lahir di kamar penggilingan, yang baru
dilesakkan, akan segera menggenangi kaki pertama dan
kedua. Mereka membayangkan berkelahi dengan buah
markisa tanpa senjata. Ini adalah yang pertama bagi
mereka jika daun papaya dipenuhi salju. Ini adalah
yang
tak mereka sadari jika kematian sudah menuangkan
kopi dingin untuk malam-malam hangat mereka.
(Menuju – Bahauddin)
Ia telah lahir dari kisah sunyi yang acap mengganggu
tidurmu. Yang membuat insomniamu kambuh. Kau
diciptakan sepasang mata, tapi yang kau saksikan
adalah
perih. Kau diciptakan telinga, tapi yang kau dengar
hanya gelisah.
(Episode Perempuan Pertama – Royyan Julian)
Ketiga penggalan puisi di atas menunjukkan bahwa para
penyair telah berpikir tentang substansi, bukan teknik lagi. Teknik secara
otomotis lahir berbarengan dengan mengalirnya substansi.
Banyak orang hendak kabur dari kesulitan hidup dewasa
ini, dari penjara persoalan, namun betapa tidak mudahnya karena manusia itu
tidak dibekali kompetensi untuk menaklukkan dunia di luar penjara. Dengan
memakai metafora burung dalam sangkar Andi Wirambara berhasil melakukan
konkretisasi ide abstrak tersebut. Dengan memakai gaya naratif dan ironi Andi
berhasil membawa imaji pembaca ke dalam gagasan mengenai pilihan hidup yang
serba rumit.
Ironi juga terdapat dalam puisi Bahauddin. Baris “Aku
melihat orang-orang memasuki pemanggangan sukarela” memberikan kesan betapa
tragisnya perilaku manusia dewasa ini. Demi ‘sesuatu’ rela memasuki
pemanggangan, rela dihancurleburkan (tubuh, jiwa, dan rohaninya). Hal yang sama
juga terdapat dalam puisi Royyan Julian yaitu: “Kau diciptakan sepasang mata, tapi yang kau saksikan adalah/ perih. Kau
diciptakan telinga, tapi yang kau dengar/ hanya gelisah.” Membaca
baris-baris puisi ini terasa betapa getirnya hidup ini.
Dari sekian banyak puisi yang hadir dalam antologi puisi
ini rata-rata berbicara tentang relasi manusia dan persoalan kosmopolitan yang
dihadapi. Pemilihan teknik naratif dan ironi tampaknya cocok dengan tema yang
dipilihnya. Sebaliknya, puisi-puisi yang cenderung liris justru terjebak
mengangkat persoalan pribadi. Penyair sulit membangun jarak dengan puisi
ciptaannya. Perhatikan contoh berikut ini.
Malam ini aku memikirkanmu
Dua kekasih jauh yang matanya hampir menjadi gelap
Wangimu adalah segar daun sirih dan buah pinang muda
(Malam di Alun-alun – Felix Nesi)
Meski aku tak pernah memintamu
selalu kau seduhkan minuman wangi
yang kau aduk dengan getaran hati
seperti tamu kau persilahkan aku menikmati
(Meski Aku Tak Pernah Meminta – Kholid Amrullah)
Kedua puisi di atas bicara mengenai ibu. “Pembaca” yang
dituju oleh kedua penyair itu adalah “sang ibu”. Akibatnya, komunikasi pun
dibangun dengan membayangkan sang ibu sebagai lawan bicaranya, bahkan sebagai
pembaca realnya. Diksi yang dipilih adalah diksi yang mewakili diri penyair
sebagai aku lirik dan sekaligus ibu sebagai pembaca sasarannya. Kata ‘wangi’
yang dipakai oleh kedua penyair nyaris tidak mampu membangkitkan daya bayang
pada diri pembaca pada umumnya. Dalam puisi Felix Nasi wangi apakah merupakan
wangi tubuh atau justru bau tubuh yang sejatinya tidak wangi. Dalam puisi
Kholid Amrullah kata wangi apakah mengacu kepada wangi bau teh, kopi, atau
jenis minuman lain. Karena puisi-puisi itu amat pribadi, ya hanya
pribadi-pribadi tertentu saja yang akan mengerti maknanya, pembaca yang
mengenal konteks adegan dalam hidup penyair.
/4/
Begitulah analisis pendek yang mampu aku tulis. Aku tak
berhak menghakimi mana puisi yang baik dan mana yang tidak baik dalam antologi
ini. Biarkan tulisan ini menjadi bahan introspeksi demi kemajuan penyair dalam
membangun bentuk ucapnya. Puisi itu amat subjektif. Tidak ada ukuran normatif
demi keindahan puitika puisi. Persoalannya adalah mampukah puisi itu
menggetarkan jiwa pembaca? Itulah yang harus terus-menerus kita usahakan.
Selamat berkarya.
Dirgantara, 6 Januari 2013
![]() |
Leo Tanimaju, Deny Mizhar, Yusri Fajar, Nanang Suryadi, Tengsoe Tjahjono, dan Djoko Saryono dalam HUT Pelangi Sastra Malang |
Komentar
Posting Komentar