Merefleksikan Hidup Melalui Puisi
“Surat Hening” karya Herry Lamongan
MEREFLEKSIKAN HIDUP MELALUI PUISI
August 28, 2010
/1/
Puisi. Kata ini seakan memiliki magnet yang amat besar
daya sedotnya. Tumbuh beribu-ribu penyair di Indonesia ini buah dari kuasa
magnet tersebut. Namun, Herry Lamongan bukanlah penyair yang menulis karena
pesona magnet itu. Herry menulis karena ingin mencatat lintasan-lintasan
peristiwa yang dijumpainya. Puisi adalah media yang paling pas baginya untuk
mengungkapkan komentarnya atas peristiwa-peristiwa itu.
Begini katanya: ”siapa
menyisir serabut syarafku, bersila dalam/ nadi kemudian larik temali menghela
peristiwa/ ke dalam sajak.” Dengan gaya retorik ia bertanya. Walau
sejatinya ia tahu bahwa ketimpangan sosial, ketidakadilan, kesewenang-wenangan,
kemiskinan, dan sebagainya yang merebak dalam lingkaran hidupnya yang mengetuk
kesadaran kritisnya hingga lahir puisi. Peristiwa tersebut menyentuh relung
sanubarinya, mengetuk nuraninya, untuk berkata-kata.
Katanya lagi: ”entah
syair apa, mengguncang benak memanjat/ tubuh antena hingga hembus angin di
langit-langit/ melambungkan fantasimu ke katulistiwa/ tropika. Sajak meratap!”
Lalu apa yang akan dilakukan penyair menatap fakta sosial semacam itu? Yang
jelas nuraninya tergugah, terdorong untuk menuliskan komentar kritisnya atas
kejadian atau fenomena-fenomena itu. Bagi Herry tampaknya puisi diharapkan
memiliki daya gugah. Syukur-syukur bila bisa menjadi sarana penyadaran bagi
siapa pun. Suara penyair mampu menembus antena kesadaran, dan berharap lahirnya
aksi, bukan sekadar reaksi.
Dalam antologi puisi terbarunya yang berjudul ”Surat
Hening” Herry menghadirkan 88 puisi yang ditulis dalam kurun waktu 1988-2007.
Tema yang diangkat Herry digerakkan oleh kesadarannya dalam menangkap fenomena
alam dan peristiwa-peristiwa sosial. Hanya saja dalam merasakan dampak dari
fenomena dan peristiwa itu, Herry berusaha
mengangkatnya kepada kesadaran religius: hanya kepada Tuhan segala hal
itu dikembalikan dan dipersembahkan.
/2/
Sebagai warga bangsa Herry melihat bahwa negeri ini jauh
dari kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, murah sandhang, murah pangan. Orang
miskin lahir setiap hari oleh keterpurukan ekonomi. Bukan hanya itu. Akibat
kemiskinan lingkungan alam menjadi rusak oleh manusia: entah karena kebutuhan,
entah karena keserakahan. Yang jelas dampaknya akan sama yaitu rusaknya
ekosistem.
Sampai-sampai menurut Herry ”pulau kelapa tidak lagi fasih merayu/ ia melepuh kini dalam hutan,
maka/ kupanggil pulang/ bahasa manis gemah ripah loh jinawi/ yang hangus di
sana.” Berikutnya ia pun bertutur ”gempa
atau gerhana terus melenggang/ semacam sinyal semacam canda murung/ bagi segala
sesuatu yang berulang kali dilacurkan.”
Puisi-puisi Herry memang terkesan lugas.
Metafora-metafora yang dipilihnya pun gampang ditafsirkan. Hal tersebut
menunjukkan betapa kuat niatan Herry untuk menyampaikan gagasan dan pesan
kepada pembacanya. Boleh jadi, niatan tersebut dibangun oleh kesadaran bahwa
puisi pun lahir demi maksud-maksud komunikasi. Kutipan di atas misalnya. Dalam
larik-larik tersebut terbaca dengan tegas bagaimana lingkungan alam itu telah
rusak dan bagaimana manusia tak tergugah rasa sadarnya dengan sinyal-sinyal
alam melalui bencana (gempa, banjir, tanah longsor) yang muncul karena manusia
mengeksploitasi sehabis-habisnya.
Dalam puisinya yang lain Herry menulis ”burung-burung pesiar/ melepas bulu-bulu
atas musim/ dalam tatapan duka atau suka/ menimbuni bumi di sisa kicaunya.”
Dalam larik ini terbaca betapa manusia jatuh ke dalam sikap tanpa harapan.
Musim yang tidak bisa diduga membuat manusia tak mampu lagi menyusun
langkah-langkah kerja dalam hidupnya. Burung-burung telah melepas bulu-bulunya.
Ada dua hal yang bakal terjadi: tak dapat terbang dan dengan pasti kedinginan.
Dua hal itu sangat mungkin akan menggiring burung-burung ke lorong kematian.
Maka ”Tanah semakin gelap. Burung dan
capung semakin/ limbung.” Ucap Herry dalam larik puisinya yang lain.
Lalu: ”misteri dan
drama/ seperti sebuah minggu pagi/ sesaat anak-anak pergi bermain/ lantas
dipanggil pulang menjelang siang”. Benarkah peristiwa atau
fenomena-fenomena sumbang itu merupakan rahasia dan hanya sandiwara yang
berlalu begitu cepat dan tiba-tiba harus usai? Hal itu sangat bergantung dari
cara manusia menyikapi hal-hal tersebut. Pribadi-pribadi yang selalu optimistis
menghadapi masa depan akan memposisikan hal-hal sumbang dalam hidup sehari
sebagai kerikil atau bahkan badai yang dengan caranya akan mampu mendewasakan.
Dalam konteks ini tampaknya Herry mengajak pembaca untuk selalu optimistis.
Karena: “Sebuah
pinggir. Setiap pesisir menjadi pinggir/ bagi jiwa sungai dan sayap ombak
airmatamu”. Di mata Herry setiap masalah tentu ada ujungnya. Tak ada
masalah tak bertepi. Bagaimana wujud pinggir itu? Menurut Herry: “Kembali ke pinggir. Selalu pinggir/
Menanggalkan peristiwa dengan semacam sesal/ esok hari”. Penyesalan atau
pertobatan. Itulah kunci. Kita diajak menyadari bahwa hal yang terjadi selama
ini merupakan sebuah kesalahan dan diajak untuk melakukan perubahan sikap dan
perilaku. Bagus sekali jika ada tobat bersama, perubahan bersama.
/3/
Pertobatan sungguh diperlukan demi membangun habitus
baru. Namun hal tersebut akan lebih berbuah bila Tuhan juga dihadirkan dalam
membangun niat dan aksi itu. “Hanya
Engkau/ selat antara hidup ke mati/… Mengapa saya mengungsi dari ancaman
sesama/ Mengapa harus takut kepada selain Engkau”. Dalam kesadaran Herry,
Tuhan adalah selat antara hidup ke mati. Untuk mencapai mati yang membahagiakan
manusia harus melalui Tuhan. Melalui Tuhan berarti menjalankan kehendak Tuhan,
menjauhi larangan-larangan-Nya. Jika hidup dimulai, dijalankan, dan ditujukan
kepada Tuhan, orang seharusnya berada dalam posisi damai, tanpa harus takut
terhadap datangnya ancaman. Maka, takut kepada Tuhan hendaknya menjadi sentral
hidup manusia, bukan takut kepada sesama manusia.
Hanya saja sebagai makhluk dunia, manusia susah
melepaskan diri dari jeratan dunia atau amuk materi. Menurut Herry: “kalau dalam hening musyahadah/ masih juga
sekawan sampah dan bau cuaca menimbun/ ibukota tubuhku, bagaimana mungkin
menyapaMU/ sambil berjingkrak lewat tolong bunyi-bunyian”. Acap kali
komunikasi dan relasi manusia terganggu oleh aspek jasmaniah manusia. Bagaimana
bisa relasi mesra manusia-Tuhan terbina manakala manusia masih mengikatkan diri
dengan kodrat duniawinya. Hal ini yang acap kali memperburuk relasi manusia
dengan Tuhan. Dalam konteks ini bisa terjadi manusia meragukan Kasih Tuhan,
lebih parah lagi meninggalkan Tuhan.
Maka: “segala bunyi
marilah berdansa dalam dadaku/ agar hening sujudku kian sempurna”. Nah,
tampaknya Herry lebih berusaha memahami segala fakta sosial apa adanya.
Kesedihan, duka, ketidakadilan, dan sebagainya dinikmatinya sebagai sebuah
tarian hidup dengan aneka macam irama dan dinamika. Hanya dengan cara itu
manusia mampu untuk selalu bersyukur dalam hidupnya: suka maupun duka. Tidak
salah bila Herry pun berucap: “betapa
kuingin senyap bersamamu di ketinggian …” Ketika segala warna-warni
kehidupan diterimanya dengan penuh syukur, manusia seakan senyap bersama Tuhan
dalam suatu ruang tertentu. Ruang doa, ruang hati nurani.
/4/
Dalam puisinya “Surat Hening” Herry menulis: “kau paham, bagaimana di itu tempat/ gelap
dan terang bersekutu dengan/ lentik kabut/ mengantar dingin, sentuhan teramat
halus/ merambat ke sekujur perasaan.” Bagian ini terlihat sebagai tema
sentral yang memayungi seluruh subtema puisi-puisi. Herry mengingatkan kita
bahwa gelap dan terang, orang jahat dan orang baik, penipu dan penolong, dan
sebagainya selalu ada dalam hidup kita. Persoalannya ialah bagaimana sikap
kita. Bagaimana sikap kita menghadapi sikap baik dan sikap buruk yang semakin
tidak tegas dan jelas batas-batasnya.
“Surat Hening” pada akhirnya bisa dihadirkan sebagai
media refleksi. Kita diajak melihat siapa diri kita melalui puisi-puisi yang
ditulis penyair Herry Lamongan. Dan dengan bahasa yang sederhana namun tetap
menggelitik untuk terus dibaca, Herry mampu membangun kesadaran pembaca ,
misalnya tentang keluarga, lingkungan hidup, cinta, keluarga, dan sebagainya.
Herry telah berhasil menyederhanakan puisi tanpa harus mengurangi kekuatan
magis puisi itu sendiri.
![]() |
Tengsoe Tjahjono dan Herry Lamongan |
Komentar
Posting Komentar