Membaca Budaya dalam Novel
MEMBACA BUDAYA DALAM NOVEL
Tengsoe Tjahjono
Apa yang Anda harapkan setelah membaca sebuah novel?
Tentu akan banyak harapan bergantung pada masing-masing pembaca. Mungkin saja
pembaca berharap akan penghiburan, pengalaman-pengalaman baru, pencerahan, pengetahuan
budaya, dan sebagainya. Semua itu bisa saja dipenuhi oleh sebuah novel sebab
novel sejatinya sebuah konstruksi budaya melalui sebuah teks.
Sebuah novel bukan hanya menampilkan alur dan konflik
manusia, tetapi novel juga menyajikan bagaimana manusia-manusia tersebut
bersinggungan dengan budaya, berdenyut dan mati bersamanya. Manusia akan
bertemu dengan pikiran-pikiran, komunitas sosial, tradisi, dan benda-benda
budaya yang secara langsung dan tak langsung berpengaruh terhadap cara berpikir
dan laku hidupnya.
Novel “Ingatan yang Tersisa” karya Renda Yuriananta
merupakan novel yang sangat kental mengangkat remah-remah budaya yang mengalir
dalam hidup dan kehidupan para tokoh. Novel ini mengambil latar di wilayah
pantai nelayan Ngliyep, sebuah pantai yang terletak di daerah Malang sebelah
selatan. Bagaimana kehidupan para nelayan tersebut dideskripsikan secara detail
dalam novel ini. Demikian pula tradisi persembahan kepada Ratu Pantai Selatan,
sesaji di Gunung Kawi, bersih desa, sampai dengan berziarah ke Makam Bung Karno
Blitar dibentangkan dalam novel ini. Penulis tampaknya secara sadar
memanfaatkan produk-produk budaya itu sebagai lorong yang harus dimasuki oleh
para tokoh novelnya.
Novel ini dibagi menjadi beberapa bab yaitu Kisah Seorang Suri, Pertemuan Awal Sang
Burung Pantai, Misteri Rumah Tua Karuni, Sebuah Tuntutan, Gejolak Hati, Tanggal
1 Suro di Gunung Kawi, Di Balik Sebuah Pilihan, Deburan Ombak yang Menyapu
Hati, Bersih Desa, Rencana yang Berjalan Lancar, Harapan yang Melebur Bersama
dengan Kenyataan, Sebelum Terjadinya Tragedi Itu, Ludruk dan Pernikahan di
Pantai, Sisi Lain Peristiwa di Pantai, Ketukan Pintu, Persembahan untuk Ratu
Pantai Selatan, Kelahiran Suri, Ajari Aku untuk Menangis, dan Malam Pekat Pantai. Membaca judul-judul
bab tersebut mengingatkan saya akan sebuah catatan harian, catatan harian
seorang nelayan. Sebagai sebuah catatan harian, maka catatan tersebut pasti
akan ditulis dalam pola linear kronologis, peristiwa-peristiwa ditulis dalam
bentuk alur maju berkelanjutan. Gaya penulisan seperti itu menunjukkan bahwa
penulis lebih mementingkan pesan itu agar segera sampai kepada pembaca,
daripada penulis meminta pembacalah yang harus menemukan sendiri pesan itu. Tentu,
gaya seperti itu sah saja sebagai bentuk ekspresi penulis.
Novel ini sebenarnya hanyalah sebuah novel kisah cinta
biasa. Seorang nelayan muda bernama Marjan tertarik kepada dua orang gadis
yaitu Wiwit dan Siri. Wiwit juga amat mencintai Marjan, hanya tampaknya Marjan
ragu-ragu sebab Wiwit itu putri seorang mandor tanah yang kaya raya. Akhirnya
Wiwit pun dinikahkan oleh orang tuanya dengan putra teman sekolahnya dulu.
Untung-untung Marjan masih bisa menikah dengan Siri yang juga menarik hatinya.
Ini sebenarnya juga bukan sebuah cinta segitiga karena tak ada konflik antara
Wiwit dan Siri. Justru yang membedakan novel ini dengan novel sejenis lainnya
ialah balutan budaya yang terdapat di dalamnya.
Misalnya saja ketika Suri, putra pasangan Marjan-Siri,
sakit dibawa ke dukun pijat di daerah Gunung Kawi dengan naik cikar. Jarak Ngliyep dan Gunung Kawi itu
jauh. Mereka menempuhnya dengan naik cikar. Hal semacam itu wajar terjadi pada
masa lalu di kalangan masyarakat nelayan. Bahkan, terdapat pula kisah rumah tua
yang keramat, sesaji di Gunung Kawi, persembahan kepada Ratu Pantai Selatan,
dan berziarah ke Makam Bung Karno. Ini menunjukkan betapa kuatnya kepercayaan
masyarakat terhadap hal-hal yang bernuansa gaib. Mitos seperti itu terus hidup
di kalangan para nelayan dan penduduk sekitar kampung nelayan itu.
Yang menarik bagaimana Marjan dan Sabar ikut berebut
tumpeng di ritual bersih desa di desa Jatiguwi Sumberpucung sebab mereka
percaya semakin banyak nasi tumpeng yang didapatkan semakin dekat mereka dengan
perempuan yang akan menjadi jodohnya. Walaupun Ngliyep dan Jatiguwi berjauhan
letaknya mereka rela berjalan untuk mengikuti acara bersih desa itu. Dan, pada
malamnya ritual bersih desa itu akan ditutup dengan pertunjukan wayang semalam
suntuk. Pada malam itu Marjan menonton bersama Wiwit sampai pagi. Begitulah
gaya pacaran para pemuda nelayan dan agraris. Sederhana dalam kemasan budaya.
Sungguh, membaca novel “Ingatan yang Tersisa” ini, kita
akan disadarkan bahwa hidup dan kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari
ikhwal tradisi dan budaya. Bahkan, ada relasi resiprokal antara manusia dan
budaya, manusia hidup dalam budaya serta budaya berkembang karena manusia.
Relasi resiprokal itu tampak jelas dalam kehidupan para tokoh dalam novel ini
ketika menjalani narasi pahit-getirnya hidup sebagai nelayan.
Seoul, 9 September 2015
![]() |
Renda dan Tengsoe Tjahjono |
Komentar
Posting Komentar