Hakikat Cerpen 3 Paragraf
HAKIKAT CERPEN 3 PARAGRAF
Tengsoe Tjahjono
Istilah cerpen 3 paragraf pada tahun 1980-an pernah saya
pakai untuk cerpen-cerpen yang saya kirim ke koran Suara Indonesia Malang. Sebenarnya cerpen yang pendek bukanlah
istilah yang baru. Pernah ada istilah short
short-story atau bahkan long
short-story, cerpen yang pendek atau cerpen yang panjang.
Bahkan, kita juga mengenal istilah flash-fiction, flash-story,
cerita sekilas, cerita mini, fiksi mini, dan sebagainya. Dalam konteks ini
sifat ‘flash’ itu ada pada persoalan
yang diangkat atau pada bagaimana persoalan itu diperoleh sebagai sebuah
inspirasi bagi penulis. Rata-rata jenis cerita sekilas ini masih tampak
panjang.
Ada pula yang berupaya membuat ukuran dari segi jumlah
kata, misalnya cerita 50 atau 100 kata. Ukuran jumlah kata tersebut justru
membuat penulis tidak mampu mengungkapkan rasa dan gagasnya secara leluasa.
Akhirnya, sangat terasa artifisial dan terpaksa.
Bagi saya ukuran cerpen bukanlah terletak pada
pendek-panjangnya teks, tetapi terletak pada fokus konflik dan tokoh. Sebuah
cerpen akan fokus pada persoalan yang dihadapi seorang tokoh, entah konflik itu
berakhir dengan ending yang manis,
tragis, atau bahkan ngambang. Tak apa.
Elemen utama cerpen itu adalah tema atau persoalan, alur
(dalam hal ini konflik menjadi penting), tokoh, dan latar. Jika elemen-lemen
bisa disatupadukan dengan baik, akan lahirlah cerita yang apik.
Pilihan cerpen 3 paragraf tentu bukan tanpa alasan. Alasan pertama, dengan 3 paragraf
penulis akan mampu memaksimalkan kehadiran komponen-komponen cerpen tersebut. Alasan kedua, penulis bisa mengatur laju
alur dengan leluasa: eksposisi-konflik-resolusi, atau resolusi-konflik-konflik,
atau konflik-eksposisi-konflik, dan lain-lain. Alasan ketiga, penulis bisa menawarkan pesan moral dengan cepat,
tak mesti berbelit.
BAGAIMANA SEBAIKNYA?
Jika ingin menulis cerpen 3 paragraf, beginilah pengalaman
saya.
1.
Fokus pada persoalan yang dihadapi seorang tokoh
atau tema yang diangkat.
2.
Elemen narasi yang berupa tokoh, alur, dan latar
dihadirkan secara bersama-sama dalam satu jalinan yang utuh.
3.
Kurangi dialog. Ubah dialog ke dalam teks
deskripsi atau narasi.
4.
Usahakan ada kejutan pada paragraf ke-3, hal
yang tak terduga, yang bisa menimbulkan suspense
atau ketegangan.
5.
Panjang paragraf hendaknya dalam ukuran wajar.
Sekurang-kurangnya 1 kalimat, namun jangan lebih dari 15 kalimat. Walaupun hal
ini bukan harga mati.
BAGAIMANA BENTUKNYA?
Tidak ada bentuk yang baku dari cerpen 3 paragraf. Yang
terpenting cerpen itu terdiri atas 3 paragraf dan memenuhi elemen-elemen
narasi. Banyak cerpen yang hanya terdiri atas 3 kalimat saja. Perhatikan contoh
berikut ini.
URUSAN ANTAR IBLIS
Ini sudah yang kesekian kali, dia melakukan KDRT pada
isterinya.
“Adik ipar, maafkan aku, iblis menyesatkanku,” katanya padaku,
Desh!! Kupukul saja kepalanya, biar iblis itu lepas
pegangannya.
(L. Bekti Waluyo, 2016)
Masing-masing paragraf dalam cerpen 3 paragraf di atas hanya
terdiri atas 1 kalimat. Walau hanya terdiri atas 3 kalimat, namun cerpen
tersebut sungguh-sungguh bercerita dengan runtut. Kemampuan penulis merangkai
dialog penting dan teks deskripsi dan narasi membuat teks tersebut berhasil
melukiskan konflik sosial dan konflik batin sekaligus, terlepas dari moralitas ending yang dipilih penulis.
Hal yang sama juga terdapat dalam cerpen berikut ini.
TIDUR
Malam Minggu 1. “Ma, tidur yuk.” “Nggak ah, mau baca novel.”
Malam Minggu 2. “Ma, tidur yuk.” “Nggak ah, sinetronnya
bagus”
Malam Minggu 3. “Ma, tidur yuk.” “Sudah ah… sana tidur sama
Bi Inem.”
(Her Suharyanto, 2016)
Narasi waktu nyata yang berlangsung selama 3 minggu bisa
ditulis hanya dalam 3 paragraf saja. Cerpen tersebut walaupun sangat pendek
mampu menyuguhkan problem sosial di keluarga yang sering terjadi di kalangan
menengah ke atas. Cerpen 3 paragraf memang selalu hadir secara padat. Inilah
keunikan cerpen jenis ini.
Cerpen 3 paragraf karena bentuknya yang sangat pendek dan
padat seringkali ditulis dengan sangat melodius, sangat musikal. Bunyi-bunyi
ditata secara berulang sehingga melahirkan bunyi merdu. Prosa yang puitis.
Perhatikan kutipan berikut ini.
KALAH
Setelah gelas yang kesekian, akhirnya peminum tuak militan
itu mabuk. Jingga senja turun beramai-ramai dari langit menjinggai pohon
mangga, pohon pisang, rumput-rumput dan jalan berkerikil menuju warung tuak
tempat ia minum-minum.
Pikirnya, dengan mabuk ia akan bisa melupakan perempuan yang
telah melukai hatinya. Tetapi, semakin banyak tuak yang ia tandaskan, semakin
jelas wajah perempuan itu di matanya.
Dalam luka yang penuh rindu, ia menyanyikan satu lagu:
Berulang kali aku mencoba selalu untuk mengalah...
(Fidelis R Situmorang, 2016)
Dalam cerpen di atas terdapat perulangan bunyi nasal pada
baris pohon mangga – pohon pisang –
rumput-rumput – dan jalan-jalan – minum-minum melahirkan suara yang merdu
jika cerpen itu dibaca. Tentu ini menjadi kelebihan lain dari cerpen 3
paragraf, bagaimana ia bercerita dengan sangat musikal. Bentuk paradoksal yang
terdapat di dalamnya juga membuat cerpen tersebut memukau: ternyata tuak yang
diharapkan mampu melupakan kekasih si aku lirik, justru malah kuat
menghadirkannya. Begitu dalam dan tajam.
Bahkan, dijumpai pula cerpen 3 paragraf yang sangat kuat
dalam pemakaian metafora dan personifikasinya. Perhatikan cerpen berikut ini.
TANPA BUNGA DAN
SEPOTONG SENJA
Di balik jendela, wajah sendu termangu, lantas ternganga.
Tak ada bunga di taman sana. Siapa memetik setangkai, sekuntum bunga yang
kemarin ia intai? “Say, sudahlah. Kita masih bisa menikmati bunga tetangga.”
Wajah sendu itu mengalirkan hujan di matanya. Berbulan-bulan berulang. Air mata
itu tak pernah cukup menyiram akar-akar kembang.
Empat puluh tahun, Mbak, kalian harus cepat. Berpacu dengan
waktu. Kata dokter kala itu. Di bawah meja, tangan perempuan itu menggenggam
tangan kekar di sebelahnya. Ada getar cemas, ada pengharapan disertai was-was.
Di balik jendela, pada sepotong senja, banjir menggenang
mata. “Kita melewati senja,” katanya terbata. “Sudahlah, Tuhan punya rencana,”
suara bariton itu terdengar lewat dada. Dari balik pintu, si kecil Bunga
berceloteh gembira. Ia mengetuk. Bicaranya belum juga sempurna. “Tzantze,
Tzantze…, kitza main petzak umpetz sepeltzi kemalin yuuuk…” Menggemaskan.
Perempuan itu tergeragap. Wajahnya memerah. Senyum merekah. Ia mengusap air
mata, menata rambut dan memandang suaminya yang lantas menciumnya. Mengapa sepotong
senja harus dilewatkan tanpa makna? Begitu suara hatinya.
(Sutriyono Robert, 2016)
Cerpen 3 paragraf di atas sangat kuat dalam memakai metafora
dan personifikasi. Oleh karena itu cerpen itu berhasil menciptakan rumah baru
yang unik dan asing. Klausa ‘mengalirkan hujan di matanya’ atau ‘mengapa
sepotong senja harus dilewatkan’ merupakan metafora yang mampu membuat pembaca hanyut
ke dalam situasi murung. Gaya ekspresi semacam ini membuat pembaca diundang
untuk menafsirkan teks tersebut dan memberikan makna sesuai pengalaman
masing-masing.
Tentu masih banyak bentuk ekspresi yang lain. Dengan pola 3
paragraf penulis memang lebih leluasa menulis. Panjang paragraf pun bisa
relatif tidak sama bergantung pada kebutuhan penulis dalam menuangkan ide,
gagasan, kritik, dan rasa yang dimiliki.
APA TEMANYA?
Cerpen 3 paragraf adalah cerpen yang pendek. Maka, tema yang
diangkat bukanlah tema-tema besar. Hal atau peristiwa yang ditulis bisa jadi
merupakan lintasan-lintasan peristiwa keseharian yang tidak sangat luar biasa.
Dalam cerpen 3 paragraf yang terpenting bukan pada keluasan tema, namun justru
pada pesan atau nilai hidup yang disampaikan kepada pembaca.
Perhatikan cerpen berikut ini.
ASU!
Ibu Sari adalah senior kami. Bukan hanya perkara umur.
Tetapi juga wawasan dan pengetahuan. Tapi jangan dibayangkan beliau alim dan
jaim. Ketawanya membahana. Selera humornya keren. Wajahnya cerah berseri-seri.
Pagi ini berbeda. Bu Sari datang dengan mata sembab.
Senyumnya tidak semurah biasa. Tanti memberanikan diri menyapa. "Bu Sari,
ada apa?" Mendadak Bu Sari menitikkan airmata. "Anakku
meninggal," ujarnya serak. Sontak seisi kantor menghibur mengerumuninya.
Mendadak ruangan sunyi senyap.
Aku berbisik bertanya,"Siapa yang meninggal?"
Seseorang menjawab pertanyaanku dalam bisikan pula. Oalah, yang mati anjingnya
ternyata. Asu!
(Wrini Harlindi, 2016)
Betapa menariknya cerpen di atas. Dalam ruang yang serba
terbatas penulis mampu melukiskan karakter tokoh sentralnya, dan memberikan
kontras ketika anaknya meninggal. Dan, kejutan muncul pada paragraf ketiga
yaitu bahwa yang disebut anak tersebut ternyata seekor anjing. Cerpen ini bukan
hanya mampu membuat pembaca tersenyum kecut di ending cerita, tetapi juga mampu
memberikan kritik terhadap perilaku manusia modern yang acapkali mencintai
binatang piaraan lebih dari segalanya. Terjadi bias fokus dalam hidup manusia
kini. Dari persoalan sederhana penulis membidik pesan besar tentang siapa yang
mesti lebih dicintai dalam hidup bersama.
Cerpen berikut ini juga tak kalah menarik.
COBAAN
Papiku yang berwajah alim harus mengenakan rompi oranye dan
digiring para penegak hukum. Ia meminta mamiku dan anak-anaknya untuk
mendoakannya supaya kuat menghadapi cobaan ini. Tanteku yang cantik diceraikan
suaminya karena tak mampu mengelak ketika suaminya mendapati dia berselingkuh
di kamar mereka. Katanya dengan berurai air mata, dia pasti mampu menjalani
cobaan yang berat ini. Keponakanku yang artis sinetron, yang super duper
gantengnya, tertangkap sedang menikmati barang haram di sebuah kafe tempatnya
bercengkrama bersama para sahabat. Dengan terbata seakan dia pihak yang menjadi
korban, memohon doa para penggemarnya supaya dia bisa melewati cobaan ini.
Tanteku satu lagi yang seorang publik figur berharap bisa tabah menerima cobaan
dicibir, dicaci, dimaki di sosial media karena merebut suami orang. Omku yang
selama ini selalu menasehatiku untuk menjadi anak yang baik ternyata harus
meringkuk di tahanan karena pelecehan seksual yang dilakukannya kepada anak di
bawah umur. Dengan suaranya yang tetap berwibawa dia berusaha menghibur kami
bahwa dengan lapang dada dia menerima cobaan ini.
Gara-gara si cobaan, papiku, dua tanteku, keponakanku, omku,
menjadi susah dan menderita. Iba dan kasihan sekali aku melihat mereka. Walau
memilukan atau mungkin memalukan, aku tetap bersyukur. Setidaknya mereka tidak
terlalu tersiksa oleh rasa bersalah dan berdosa. Mereka hanya korban-korban
dari si cobaan.
Aku berdiri di bawah hujan sore. Kubiarkan dingin dan basah
mengguyurku. Berjam-jam tak beranjak. Aku menantang hujan. Malamnya aku demam,
batuk, pilek, dan sakit kepala. Aku merengek meminta perhatian. "Mami...
Aku sakit! Mami apakah ini cobaan?"
(Maria Lupiani, 2016)
Cerpen di atas mengangkat fenomena kata ‘cobaan’ yang sering
dikatakan orang saat mereka dirundung masalah. Sebuah ironi yang memikat.
Padahal ‘cobaan’ itu justru terjadi karena perbuatan mereka sendiri, buah dari
karma yang mesti mereka terima. Dan, ending yang dibuat juga terkesan satire
serta amat lucu: flu gara-gara hujan apakah termasuk juga cobaan. Tampaknya
beda tipis antara cobaan dan kedunguan. Hal yang diangkat oleh penulis dalam
cerpen ini adalah hal sederhana. Menjadi istimewa karena kemampuan penulisnya
menjahitnya menjadi cerita.
Fenomena baby sitter
ternyata menarik untuk ditulis. Perhatikan cerpen berikut ini.
PEREMPUAN BERBAJU
PUTIH
Perempuan berbaju putih itu menempelkan telunjuk ke mulutnya
saat sang nyonya datang memandang tubuh kecil yang meringkuk tenang di atas
ranjang. “Sudah tidur bu, jangan diganggu dulu.” Sang nyonya terdiam. Dalam
hati ia berpikir kenapa ia yang diatur? Bukankah tubuh kecil itu miliknya?
Namun ia tak berdaya
Keesokan harinya perempuan berbaju putih itu berangkat ke
pasar. Si kecil berteriak meronta-ronta ingin ikut, dan hanya perempuan berbaju
putih itu yang sanggup menenangkannya. Sang nyonya mendesah lagi. Kenapa saat
dia yang pergi, si kecil tidak meronta seperti itu? Bukankah si kecil itu
miliknya? Namun ia tak berdaya.
Suatu pagi, perempuan berbaju putih itu pulang kampung untuk
merawat ibunya yang sakit. Si kecil pun tak henti menangis merasa kehilangan..
“Jangan menangis sayang. Ibu berjanji akan bersamamu sesering mungkin, Ibu
janji.” bujuk sang ibu sambil meredakan pedih dan cemburu di dadanya.
(Tantrini Andang, 2016)
Peran Ibu yang tergeser oleh kehadiran pembantu rumah tangga
atau baby sitter bukanlah fenomena
asing dalam kehidupan modern ini. Para ibu yang harus bekerja di luar rumah mau
tak mau harus ikhlas anak-anaknya diasuh oleh para pembantu. Sebenarnya hal itu
bukanlah sebuah masalah sepanjang relasi emosional antara ibu dan anak tidak
terenggut pula. Cerpen di atas memperlihatkan sisi lain yang amat mengerikan
yaitu ketika sang ibu justru menjadi the
other bagi anaknya. Inilah korban dari peradaban modern yang tentu harus
dicegah oleh keluarga.
Sungguh, bahan cerpen 3 paragraf sangat banyak dan berserak
di sekitar kehidupan kita. Tantrini Andang mengatakan, “Membaca karya
teman-teman menyadarkan saya bahwa ternyata menulis cerpen itu temanya sangat
tak terbatas, dan yang tak terbatas itu bisa dikisahkan utuh hanya dalam 3
paragraf...keren banget!” Itulah kesaksian dari seorang penulis cerpen 3
paragraf. Hal itulah yang membuat dirinya tak henti-henti menulis segala hal
yang dialaminya dalam bentuk cerpen 3 paragraf ini.
Penulis yang lain yaitu Dedeh Supantini mengatakan, “Saya
bisa menuliskannya langsung di gadget, di antara kesibukan pekerjaan. Malah
jadi selingan yang asyik! Saya bisa menyimpan dulu makalah ilmiah yang rumit,
lalu membebaskan diri dalam imajinasi. Sesudah itu, saya lebih fresh.” Nah,
cerpen 3 paragraf mampu membuat seseorang santai sejenak di sela-sela kesibukan
rutinnya.
Bahkan, cerpen 3 paragraf bisa jadi embrio untuk penulisan
cerpen yang lebih panjang. Sutriyono Robert mengatakan, “Harus saya katakan
bahwa cerpen 3 paragraf adalah ide cerdas. Saya merasa mendapat satu kunci unik
teknik menulis "cerpen biasa". Caranya -tampaknya- dg membuat cerpen
3 paragraf, lantas mengembangkannya menjadi "cerpen biasa". Cerita
itu sudah utuh dari sejak dilahirkan menjadi 3 paragraf itu....
Dalam kehidupan yang penuh kesibukan dewasa ini cerpen 3
paragraf akan sangat berguna bagi penulis dan pembaca. Dalam tempo cepat di
tengah rutinitas yang ada manusia bisa menulis atau membaca kisah fiksi yang
sungguh berguna bagi hidupnya. Prosa yang puitis yang mampu menjadi nutrisi
jiwa.
Seoul, 17 April 2016.
![]() |
Penulis di Namhansanseong |
Bahasan yg sangat menarik dan membuka wawasan. Terima kasih Pak Tengsoe
BalasHapusTerima kasih ilmunya. Luar biasa
BalasHapusTerima kasih ilmunya pak
BalasHapusMakasi Pak atas ilmunya !!!
BalasHapusSaya menukan tulisan memukau ini dari seorang teman. Terima kasih sudah membuka wawasan.
BalasHapusSami2...
HapusLengkap sekali pembahasannya. Semoga saya bisa membuat pentigraf
BalasHapusTerima kasih banyak atas ilmu nya pak D🙏 saya memang tertarik dengan pentigraf dan ingin berlatih menulis nya 🙏
BalasHapusTerima kasih ilmunya Pak De. Selalu saja Pak De cepat merespon apa kebutuhan teman. Langsung mak nyuss ada. Keren luar biasa. Jadi tambah ilmu penulisan pentigraf.
BalasHapusMantap. Siap jadi kurator ini
BalasHapusYuk wujudkan
Terimakasih pak D.... Alhamdulillah jadi tambah wawasan tentang pentigraf ...saya sudah coba mulai dulu menulis beberapa...dan teorinya seperti ini belakangan, ttetapi sangat berarti.
BalasHapusTerima kasih ilmunya Bapak. Pentigraf sangat menarik bagi saya. Untuk menyampaikan pesan sehari-hari kepada orang lain saya sampaikan dalam bentuk pentigraf di blog saya.
BalasHapus