Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi
Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi:
HARMONI MANUSIA-ALAM
Tengsoe Tjahjono
Rachel Carson dalam bagian ‘A Fable for Tomorrow’ di Silent
Spring (1962) mengawali cerita dongengnya dengan: ‘There was once a town in the heart of America where all life seemed to
live in harmony with its surroundings’and, invoking the ancient tradition of
the pastoral, goes on to paint a picture of ‘prosperous farms’, ‘green fields’,
foxes barking in the hills, silent deer, ferns and wildflowers, ‘countless
birds’ and trout lying in clear, cold streams, all delighted in by those who
pass through the town (1999: 21)’.[1]
Dari kutipan tersebut tampak dengan amat jelas bagaimana
pengarang menegaskan bahwa harmoni alam dengan manusia sejatinya sudah ada,
sejak masa-masa masyarakat agraris. Idiom-idiom budaya seperti: harmoni
kehidupan dan lingkungan (tradisi kuno penggembalaan, kemakmuran peternakan,
ladang hijau, gonggongan rubah di bukit-bukit, rusa yang diam, pakis dan bunga
liar, aneka burung yang tak terbilang jumlahnya, cabang-cabang sungai yang
dingin, dan sebagainya) merupakan kenyataan yang selalu dapat dijumpai.
Orang-orang berlalu lalang dengan nyaman, alam pun terasa tidak terganggu
dengan kehadiran manusia. Terjadi senjawa persahabatan yang indah.
Bagaimana posisi alam bagi manusia dan kehidupan? Greg
Garrad dalam bukunya Ecocriticism
menyatakan bahwa alam hadir sebagai cornucopians
(persediaan yang melimpah). Hanya ketika alam dan lingkungan menjadi rusak
karena kebutuhan ekonomi dan industri maka peranannya sebagai ‘persediaan yang
melimpah’ itu sangat mencemaskan. Maka,Garrad
mengharapkan agar alam tidak hanya dihargai dari segi kegunaannya saja .
Banyak ahli lingkungan berpendapat bahwa kita perlu mengembangkan sistem nilai
yang mengambil nilai intrinsik atau melekat
terhadap alam sebagai dasar pijakan.[2]
Yang menarik adalah contoh yang diberikan Kate Rigby
dalam artikelnya Ecocriticism. Menurut hasil pengamatannya bahwa Pastor
Selbourne pada 1756 menanam empat pohon limau antara rumahnya dan halaman
tukang daging yang terletak berseberangan. Hal itu dilakukan Selbourne agar ia
tidak melihat darah dan kotoran binatang sembelihan itu. Gilbert White
menuliskan pengalaman itu dalam buku novelnya
The Natural History of Selbourne
( 1789). Teks tersebut lebih dihargai
oleh para ahli ecocritic sebagai
sastra lingkungan. White telah
melahirkan perubahan sikap terhadap dunia alam di Inggris antara tahun 1500 dan
1800: yaitu, tumbuhnya kegelisahan tentang pembunuhan hewan untuk makanan.
Menjelang akhir abad kedelapan belas perubahan dalam kepekaan menyebabkan
beberapa penyair , termasuk penyair Inggris Shelley, menjadi vegetarian.[3]
Sastra, tampaknya, bukan sekadar menuliskan keindahan
atau kerusakan lingkungan alam semata. Namun, para sastrawan, juga melanjutkan
apa yang ditulis, baik dalam puisi maupun prosa, ke dalam aksi nyata. Sastra
dan gerakan bukan dua hal yang terpisah, namun harus dinyatakan secara
bersama-sama.
Bagaimana pula dengan sungai, sebagai mata rantai dari
lingkaran lingkungan alam? Sungai memiliki peradaban yang menarik karena
menyangkut relasi manusia, binatang, tumbuhan, dan benda-benda alam lain;
bahkan menyangkut fungsi dan bencana yang ditimbulkan. Pasar apung di
Kalimantan, kapal-kapal yang berseliweran di bawah jembatan Mahakam, capung atau
burung yang beterbangan di atasnya, para pemancing dan pencari ikan,
perkampungan yang bertumbuhan di sekitarnya, air bersih yang dihasilkannya, dan
sebagainya menunjukkan betapa pentingnya sungai. Bahkan, saat menghadapi rekayasa terhadap
sungai agar kembali menjadi lebih baik, Duncan Gray dan Jon S. Harding
memandang perlu semua pemangku jabatan memperhatikan persoalan habitat dataran
banjir, komunitas invertebrata, ancaman
dan tekanan, perspektif holistik pengelolaan sungai, nilai rekreasi dan
lanskap, serta implementasi manajemen dan penelitian masa depan sungai.[4]
Dalam sejarah kehidupan manusia, sungai merupakan tempat
di mana peradaban besar lahir dan tumbuh. Sungai Nil melahirkan peradaban kuno
Mesir, Sungai Eufrat dan Tigris menjadi ibu dari lahirnya peradaban Persia,
Sungai Gangga melahirkan kebudayaan India kuno, dan Sungai Huang Ho menjadi
asal lahirnya kebudayaan besar Cina. Pendeknya,
sungai merupakan pusat atau sumber peradaban.
Sungai juga sudah dipakai sebagai metafora ekspresi
gagasan sejak masa Yunani. Heraclitus (filsuf Yunani akhir abad ke-6
SM)menyindir para pendahulunya dan filsuf sezamannya sebagai yang gagal melihat
kesatuan pengalaman dan semua eksistensi berubah dan mengalir sebagai sungai.
Plato menunjukkan sumber doktrin aliran
sungai itu: "Heraclitus, saya percaya, mengatakan bahwa segala sesuatu
pergi dan tidak ada yang tetap, dan membandingkan semua eksistesi sebagai aliran sungai. Ia mengatakan Anda tidak bisa melangkah dua kali
ke dalam sungai yang sama."
Tegasnya: Mereka melangkah dalam
sungai dalam langkah yang tetap sama, padahal air tetap mengalir.
Menurut Kevin M.
Anderson, Koordinator Austin Water ‐
Center for Environmental Research, dalam makalahnya The
Myth of the River: American Rivers and American Literature sungai telah
menjadi sumber ilham bagi para seniman di Amerika. Sungai telah menjadi sumber
inspirasi untuk terciptanya fiksi, non fiksi, puisi, lukisan, dan musik. Banyak
buku ditulis berkaitan dengan sungai, misalnya: Haunted by Waters: Fly Fishing in North American Literature
(Mark Browning), The Meaning of Rivers: How and Reflection in American Literature
(T.S. McMillin), Rivers of Empire: Water,
Aridity, and the Growth of the American West (Donald Worster), dan
sebagainya.
Penyair romantik urban, Walt Whitman (1819-1892), menulis
puisi yang diberi judul Crossing Brooklyn
Ferry sebagai berikut.
Crossing Brooklyn
Ferry
Mengalirlah,
sungai! Mengalir dengan air pasang, dan surutlah dengan air surut!
Berpesiarlah, pada
puncak dan renda gelombang! Awan permai dari tenggelam matahari! Basahi aku dengan kemegahanmu, atau laki-laki dan perempuan generasi setelahku;
Menyeberang dari pantai ke pantai, tak terhitung jumlah penumpang!
Berdiri, tiang-tiang tinggi Mannahatta! -Berdiri, bukit-bukit indah Brooklyn!
Denyut, bingung dan otak bertanya-tanya! Melepas pertanyaan dan jawaban!
menggantung di sini dan di mana saja, mengapung abadi solusi!
Betapa dekat manusia dengan sungai. Sungai menjadi bagian
penting dalam hidup manusia pada puisi Walt Whitman tersebut. “Basahi aku
dengan kemegahanmu” merupakan baris yang menunjukkan kata kunci betapa cinta
dan bangganya manusia terhadap sungai.
Sungai dan lanskap serta benda-benda yang mengapung di atasnya adalah
keindahan, bahkan kemegahan. Sungai yang mengalir, air pasang dan air surut,
awan permai, matahari, tiang-tiang ferry Mannahatta, dan bukit indah Brooklyn
adalah sebuah keniscayaan. Maka, Whitman meminta agar sungai abadi mengalir
hingga generasi sekarang. Bagaimana dengan kita?
T.S. Eliot dalam bukunya Four Quartets menulis puisi
yang bertajuk The Dry Salvages
sebagai berikut.
The Dry Salvages
Saya tidak tahu
banyak tentang dewa-dewa; tapi saya pikir bahwa sungai adalah dewa yang
coklat-seram dan perkasa, liar dan keras,
Sabar dalam
beberapa derajat, awalnya disadari sebagai sebuah batas; Sungguh berguna, tanpa dapat dipercaya, mengusung perdagangan;
Kemudian hanyalah masalah yang musti dihadapi pembangun jembatan.
Sekali masalah dipecahkan, dewa coklat hampir dilupakan
oleh para penghuni di kota-kota, tahu namun kepala batu.
Menjaga musim dan kegusaran, perusak, pengingat
Dari segala yang insan pilih untuk lupakan. Tak lagi dihormati, tak lagi dipentingkan
Oleh pemuja mesin, tapi menunggu, menonton dan menunggu.
Iramanya hadir di kamar tidur anak-anak,
Dalam jajaran ailanthus di pelataran April,
Dalam bau anggur di meja musim gugur, dan lingkaran malam pada cahaya musim dingin.
Betapa bedanya sungai di pandangan Whitman dan Eliot.
Sungai yang romantis di mata Whitman menjadi dahsyat dalam puisi Eliot. Sungai
adalah dewa yang perkasa. Ada dua sifat yang membentang secara paradoksal:
menolong, namun sekaligus menakutkan. Sungai sebagai penjaga musim tentu akan
menarik untuk dikunjungi, bahkan berguna sebagai lalu-lintas perdagangan.
Namun, ketika manusia telah mulai melupakan peran dan fungsi tersebut, dan
beralih kepada mesin yang lebih modern, sungai bukan saja tak lagi tampak
berguna, namun bisa mengakibatkan bencana.
Sungai bisa dipandang secara romantis, namun juga dapat
dipandang sebagai realitas-pragmatik.
Langston Hughes, seorang penyair Negro, juga menulis
puisi tentang sungai. Puisi yang berjudul The
Negro Speaks of Rivers tersebut ditulis disusun pada tahun 1920 di kereta
api menuju Meksiko ketika Hughes masih remaja (delapan belas tepatnya), dan
dipublikasikan setahun kemudian. Puisi itu sebagai berikut.
The Negro Speaks
of Rivers
Aku sudah tahu
sungai:
Aku sudah tahu
sungai sekuno dunia dan lebih tua dari Aliran darah di pembuluh nadi manusia.
Jiwaku telah berkembang jauh seperti sungai.
Aku mandi di Efrat ketika fajar masih muda.
Kubangun gubuk dekat Kongo dan terbuailah untuk tidur.
Aku memandang sungai Nil dan mengangkat piramida di atasnya.
Aku mendengar nyanyian Mississippi ketika Abe Lincoln
Pergi ke New Orleans, dan aku melihatnya
Dada berlumpur mengubah semua emas saat matahari terbenam.
Aku sudah tahu sungai:
Kuno, sungai kehitaman.
Jiwaku telah berkembang jauh seperti sungai.
Apa yang terjadi jika Negro berbicara tentang sungai?
Apakah selama ini tidak ada Negro berpendapat tentang sungai? Itulah persoalan
yang menarik. Berbedakah sungai dalam pandangan negro dan orang kulit putih?
Dalam puisi Hughes tersebut dinyatakan bahwa jiwa Negro telah berkembang jauh
seperti sungai. Sungai yang dikenalnya setua dunia dan setua aliran darah itu
telah memberikan pengetahuan yang amat berharga bagi negro itu. Sungai Efrat,
Nil, Mississipi yang berada dalam pelbagai wilayah dunia menunjukkan mobilitas
negro mengenali pelbagai peradaban. Maka, sungai hitam hanyalah masa lalu bagi
mereka.
Pada sungai terdapat peradaban, baik dalam diri seorang
negro maupun seorang kulit putih. Peradaban itu tentu sangat kontekstual,
sesuai dengan kebutuhan, harapan, bahkan imajinasi masing-masing manusia. Oleh
karena itu, sungai sebenarnya bukanlah persoalan sederhana. Ada realitas lain
yang membayang dalam diri manusia saat berhadapan dengan sungai. Bahkan,
terkesan ada paradoksal hiper-realitas. [5]
Antara sungai yang romantik, fungsional, dan bencana yang ditimbulkan bisa
hadir sebagai metafora-filosofis dalam diri manusia.
Memahami sungai sangatlah sulit sebagaimana memahami alam.
Sulit karena: (1) alam itu amat kompleks, dan (2) alam terlibat dalam budaya,
serta budaya juga terlibat dalam alam. Mampukah sastra menuliskan kebenaran
ekologi, termasuk ekologi sungai dan peradaban di dalamnya? Seberapa baik
sastra menjalankan fungsi sebagai sarana memahami ekologi dan peradaban sungai?
Pertanyaan tersebut memerlukan jawaban sungguh-sungguh.
Sungai: Romantis,
Filosofis, dan Satir
Sungai juga banyak ditulis oleh para penyair Indonesia.
Salah satu penyair itu adalah Ajip Rosidi. Berikut puisi yang ditulisnya.
Sungai
Dari hulu hingga ke
muara, berapa kali ganti nama?
Air yang mengalir
sama juga, hanya saja bertukar warna
Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Air (SDA)
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Mochammad Amron dalam program Dialog Interaktif
Radio Elshinta di Jakarta tahun 2011 lalu kondisi sungai di Indonesia umumnya
pendek dengan kemiringan yang curam, sehingga rentan terhadap aktivitas erosi
dan sedimentasi di sungai yang sangat tinggi akibat kondisi geologi relatif
muda dan iklim tropis. Permasalahan sungai juga terjadi karena kekurangpahaman
hubungan timbal balik antara air dan lahan, yang ditandai dengan pemanfaatan
dataran banjir tanpa pengaturan dan antisipasi terhadap resiko banjir. Tindakan
lainnya adalah okupasi lahan di sempadan sungai yang berakibat terjadinya
penurunan kapasitas palung sungai karena pendangkalan dan penyempitan oleh
sedimentasi, sampah, dan gangguan aliran.[6]
Kondisi air dengan kemiringan itu menyebabkan perubahan
warna, tenaga, fungsi, dan nama air dalam narasi perjalananannya dari hulu
hingga hilir. Di hulu ditemukan mata air, biasanya bening dan bersih. Jika air di
mata air ini ditampung sebagai sebuah sendang,
dapat dipakai untuk mandi. Air yang mengalir dan jatuh di sebuah tebing curam
akan membentuk air terjun. Air terjun
itu amat seram, namun sebagai sebuah lanskap, ia sangat indah dan romantis. Kadang-kadang
air sungai melintasi dasar sungai yang dalam seperti sumur, akibatnya air
berputar cepat di bagian dasar, disebut sebagai pusaran. Ini amat membahayakan bagi manusia yang berenang di
dekatnya.
Polusi, erosi, dan sedimentasi juga berpengaruh besar
terhadap karakter air sungai dalam perjalanannya. Tiga hal tersebut akan
memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia. Hal-hal tersebut dengan
sangat tepat ditulis oleh Ajip Rosidi tersebut.
Bagi Ajip Rosidi air yang sama, bisa berubah warna dan
nama dalam perjalanannya. Sebagaimana hidup manusia yang tidak bisa tinggal
tetap. Hidup itu selalu berubah. Yang abadi dalam hidup ini adalah perubahan
itu sendiri. Hidup sebenarnya adalah perubahan dan transformasi tiada henti.
Karena hidup itu dinamis, maka manusia harus selalu menyiapkan diri untuk
perubahan itu. Perubahan jangan justru
membuat hidup manusia terpenjara dalam jentera perubahan itu, namun justru
berjalan seiring dengannya. Hal itu sejajar dengan apa yang dinyatakan oleh
penyair Hughes: Jiwaku telah berkembang
jauh seperti sungai.
Penyair Indonesia lain yang menulis puisi tentang sungai
adalah D. Zawawi Imron. Berikut puisinya.
Sungai Kecil
sungai kecil,
sungai kecil! di manakah engkau telah kulihat?
antara cirebon dan
purwokerto atau hanya dalam mimpi?di atasmu batu-batu kecil sekeras rinduku dan di tepimu daun-daun
bergoyang menaburkan sesuatu yang kuminta dalam doaku
sungai kecil,
sungai kecil
terangkanlah
kepadaku, di manakah negeri asalmu?di atasmu akan kupasang jembatan bambu agar para petani mudah
melintasimu dan akan kubersihkan lubukmu agar para perampok
yang mandi merasakan juga sejuk airmu
sungai kecil,
sungai kecil! mengalirlah terus ke rongga jantungku
dan kalau kau
payah, istirahatlah ke dalam tidurku! Kau yang jelitakutembangkan buat kekasihku.
Puisi Sungai Kecil itu dimulai dengan kalimat
tanya: di manakah engkau telah kulihat? Pertanyaan itu mengindikasikan apakah
sungai itu tidak ada, atau pernah ada namun sekarang sudah tidak ada lagi.
Pertanyaan itu sangat satir, namun dikemas secara romantis. Jika dilihat betapa
cermatnya si aku lirik mendeskripsikan sungai, tampaknya sungai itu pernah ada,
dan kini dirindukan. Rindu akan sungai itu dibungkus dalam peristiwa mimpi.
Rindu itu hanyalah mimpi. Tentu ini amat menyakitkan.
Oleh Zawawi sungai itu diharapkan berguna bagi hidup para
petani, tapi sekaligus juga mampu menyejukkan bagi para perampok. Pada
hakikatnya sungai itu menyejukkan bagi siapa pun. Hal itu mengingatkan kita
pada sungai Gangga di India. Mengapa Sungai Gangga tidak tercemar meskipun di
hulunya dilakukan pembakaran mayat, membuang abu jenasah, mayat-mayat yang
tidak dikremasi, limbah-limbah rumah tangga, dan sebagainya? Sungai Gangga
dianggap suci oleh umat Hindu. Kesuciannya laksana bunga teratai yang tumbuh di
kolam berlumpur, di mana walaupun airnya keruh tetapi teratai itu tetap
berbunga cemerlang tak ternodai lumpur sedikit pun.[7]
Maka, Zawawi pun berharap: mengalirlah
terus ke rongga jantungku. Sungai yang mengalir dalam jantung membuat
seseorang menjadi lebih bijaksana, tidak memilih teman, memiliki solidaritas
bagi siapa pun yang memerlukan perhatian, dan sebagainya.
Sungai menjadi lain dalam puisi Toto Sudarto Bachtiar
berikut ini.
Gadis
Peminta-minta
Setiap kita
bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu
kekal untuk kenal dukaTengadah padaku pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut,
gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah
jembatan yang melulur sosokHidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlap
Gembira dari kemayaan riang.
Duniamu yang lebih
tinggi dari menara katedral
Melintas-lintas
diatas air kotor, tapi yang begitu kauhafalJiwa begitu murni, terlalu murni
Untuk dapat membagi dukaku.
Kalau kau mati,
gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu
tak ada yang punyaDan kotaku, oh kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda.
Dalam puisi Toto Sudarto Bachtiar tersebut sungai
digambarkan sebagai tempat yang kumuh, kotor, suram, dan terpinggirkan. Hidup
di tepi sungai adalah hidup yang kelam dan sengsara. Di mana sungai semacam itu
ditemukan. Dalam puisi tersebut ada ikon menara katedral, kota, jembatan, dan
hidup gemerlap. Jelas sekali yang dimaksud adalah sebuah kota besar: sungai
yang melintasi kota besar. Sungguh, banyak orang kota yang tidak memiliki
kedekatan dengan sungai, atau justru tidak memiliki kepedulian.
Jarkasi melihat ada perubahan sikap dan tingkah laku
warga kota dari yang biasanya hidup dengan inspirasi sungai, ke hidup dengan
tidak peduli pada sungai. Egoisme dan individualisme akibat kemajuan zaman
dapat menimbulkan keterpencilan atau bahkan keterasingan sungai. Sikap tidak
adil terhadap sungai dengan memperlakukannya semena-mena, menjadikan orang kota
ini terlampau menyederhanakan arti pergaulan dengan sungai, yang berakibat
buruk bagi warga yang lain.[8]
Sungai yang mestinya dapat dibanggakan, dalam puisi di atas justru dipakai
sebagai lambang kemiskinan, ketakberdayaan, dan kesia-siaan.
Yang tidak kalah menarik adalah puisi Sapardi Djoko
Damono. Puisi Perahu Kertas berikut
ini memang tidak secara langsung berbicara ikhwal sungai, sama dengan puisi
Toto Sudarto Bachtiar. Sungai menjadi latar bagi perjalanan sebuah perahu
kertas.
Perahu Kertas
Waktu masih
kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya
Sangat tenang, dan
perahumu bergoyang menuju lautan.
"Ia akan
singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua.
Kau sangat gembira,
pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun
menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu
itu.
Akhirnya kau dengar
juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
"Telah
kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di
sebuah bukit."
Dalam puisi di atas dikisahkan bahwa air kali yang tenang
akan membawa perahu bergoyang menuju lautan, bahkan sebelumnya bisa singgah di
bandar-bandar besar, walau perahu itu hanyalah sebuah perahu kertas. Perahu
kertas adalah perahu mainan, yang mudah rusak, apalagi jika dimasukkan ke dalam
air. Tubuh dan jiwa manusia ibarat sebuah perahu kertas, lemah dan fana,
gampang koyak dan rusak; mudah jatuh ke dalam lubang gelap dan tersesat. Namun,
dalam sungai yang tenang, tubuh yang koyak itu mampu mencapai lautan. Artinya,
tubuh fana tidak bisa dihindarkan, yang terpenting manusia bisa memilih
sungainya.
Bersama unsur-unsur lain dalam sebuah kesatuan ekosistem,
sungai membangun sistem harmoni kehidupan manusia. Ekologi sungai merupakan
ekologi yang harmonis. Sungai mengalir dari hulu ke hilir, dalam sebuah siklus
tertentu, untuk mencapai lautan. Sungai memiliki tujuan, demikian juga hidup
manusia. Air adalah darah segar dan
bersih yang mengusung makanan ke seluruh tubuh hidup manusia. Sungai adalah
aorta dalam tubuh manusia. Sungguh, betapa pentingnya sungai. Darah segar apa
yang diperlukan manusia? Tentu nilai-nilai keutamaan, pasrah, dan nilai-nilai
keilahian.
Berdasarkan empat puisi tersebut tergambar bagaimana
penyair menyikapi makna sungai dalam karya sastra yang mereka tulis. Sungai
bisa menjadi tema, latar, dan metafora dari pesan humaniora tertentu pada
setiap puisi yang dihasilkannya. Ajip Rosidi dan Zawawi Imron menghadirkan
ekologi puisi: karakter, warna, fungsi, dan komunitas di dalamnya, yang secara
bersama-sama membangun peradaban; sedangkan Toto Sudarto Bachtiar menghadirkan
secara satir, metaforik, dan sekaligus amat paradoksal: antara keindahan dan
kemuraman. Sedangkan, Sapardi Djoko Damono mengangkat sungai sebagai
metafora-filosofis perihal fananya manusia namun tetap memiliki harapan
menggapai hidup bahagia di samudra masa depannya.
Sungai: Potret
Peradaban yang Muram
Rendra pernah menulis puisi mengenai Sungai Ciliwung di
Jakarta. Berikut ini puisinya.
Ciliwung yang
Manis
Ciliwung mengalir
dan menyindir gedung-gedung kota Jakarta
kerna tiada bagai kota yang papa itu
ia tahu siapa bundanya
CIliwung bagai
lidah terjulur
Ciliwung yang manis
tunjukkan lenggoknya
Dan Jakarta
kecapaian
dalam bisingnya
yang tawardalamnya berkeliaran wajah-wajah yang lapar
hati yang berteriak karena sunyinya
maka segala sajak
adalah terlahir karena nestapa
kalaupun bukan
adalah dari yang sia-sia
ataupun ria yang berarti karena papa
Ciliwung bagai
lidah terjulur
Ciliwung yang manis
tunjukkan lenggoknya
Ia ada hati di
kandangnya
Ia ada nyanyi di
hidupnyaHoi, geleparnya anak manja!
Dan bulan bagai
perempuan tua
letih dan tak
diindahkanmenyeret langkahnya atas kota
Dan bila ia layangkan pandangnya ke Ciliwung
Kali yang manis membalas menatapnya!
Hoi! Hoi!
Ciliwung bagai
lidah terjulur
Ciliwung yang manis
tunjukkan lenggoknya
Teman segala orang
miskin
timbunan rindu yang
terperanbukan bunga tapi bunga
Begitu kalau bernyanyi meliuk-liuk
dan Jakarta disinggung dengan pantatnya
Sungai Ciliwung berperan penting bagi tumbuhnya kota
Jakarta beserta kota-kota penyangga di sekitarnya. Peninggalan sejarah
menunjukkan kerajaan Pajajaran menggunakan sungai Ciliwung sebagai sarana
transportasi utama dari ibukota kerajaan di Pakuan menuju ke laut. Dengan
panjang aliran 120 kilometer dari Gunung Gede hingga bermuara di Pelabuhan
Sunda Kelapa, sungai Ciliwung telah menjadi saksi perkembangan kota Jakarta
dari sejak kerajaan Pajajaran, penguasaan Belanda yang membangun kanal buatan,
hingga permasalahan saat ini seperti banjir, kekeringan, dan kualitas air di
Ibukota yang mewarnai kehidupan warga. Kondisi Sungai Ciliwung selalu mewarnai
kehidupan kota Jakarta hingga kini. Kualitas Sungai Ciliwung menentukan
kualitas warganya. Problema sungai
seperti banjir dan kekeringan berdampak pada permasalahan sosial dan ekonomi
selain permasalahan teknis.[9]
Dampak sosial dan dampak kultural sangat dirasakan
Rendra, sehingga Ciliwung yang sesungguhnya manis, bagaikan bocah yang jujur
dan apa-adanya, menyindir dengan menjulurkan lidah dan memainkan bokongnya
kepada Jakarta. Jakarta yang megah justru diberi predikat papa karena tidak
mampu mengelola sungai Ciliwung secara baik. Bagi Rendra Ciliwung bukan hanya
melahirkan banjir, namun seakan ia menjadi saksi zaman antara batas kemiskinan
dan kemewahan, antara gedung-gedung megah dan gubug-gubung di sepanjang
bantaran tubuhnya.
Jika sungai Ciliwung mengetahui siapa bundanya, Jakarta
tidak mengenal lagi sang ibu. Jakarta tidak tahu sejarah, lupa kepada narasi
masa lalu. Peradaban Ciliwung di masa lalu hanya disimpan di museum, tanpa
pernah dibuka dan dibaca lagi. Peradaban baru, peradaban urban dan kosmolitan
menggeser peradaban sungai. Ciliwung tersingkirkan, bahkan sering dikutuk
karena dianggap sebagai biang kerok lahirnya banjir. Puisi Rendra ini
dimaksudkan sebagai upaya penyadaran akan fungsi dan pengelolaan Ciiwung secara
lebih baik.
Sungai yang ditinggalkan juga dijumpai dalam puisi Korrie
Layun Rampan berikut ini.
Mahakam
Senja pun membenam
dalam tragedi
Abad inijalan ini semakin sunyi
Tapi kita tak sampai-sampai juga
Angin dari relung
itu
Semakin runcingDan menciptakan garis ungu
Haruskah ke arah
lain jalan pantai
kita kawinkan sepiAntara dua badai?!
Tualang panjang ini
Semakin jauh
semakin lengangLangkah pun lelah menapak juang
Lalu kelepak yang
menjauh
Longsong ituTanggalan pun jatuh
Tinggallah gerimis
renyai
Dan bait-bait sunyiKetika jam pun sampai
Menunjuk-nunjuk tempat sepi
Mahakam merupakan nama sebuah sungai terbesar di provinsi
Kalimantan Timur yang bermuara di Selat Makassar. Sungai dengan panjang sekitar
920 km ini melintasi wilayah Kabupaten Kutai Barat di bagian hulu, hingga
Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda di bagian hilir. Di sungai hidup
spesies mamalia ikan air tawar yang terancam punah, yakni Pesut Mahakam. Sungai
Mahakam sejak dulu hingga saat ini memiliki peranan penting dalam kehidupan
masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air, potensi perikanan maupun sebagai
prasarana transportasi.[10]
Tapi Mahakam dulu bukanlah Mahakam sekarang. Mahakam yang dulu luas dan bersih,
kini telah menjadi kotor, bahkan tidak lagi mampu hadir sebagai jalan
transportasi yang selalu menjadi pilihan.
Korrie Layun Rampan menulis: Senja pun membenam dalam tragedi/ Abad ini/ jalan ini semakin sunyi/ Tapi
kita tak sampai-sampai juga. Mahakam adalah jalan. Sejarah menunjukkan
fungsi tersebut. Namun, jalan ini, Sungai Mahakam itu, menurut Korrie semakin
sunyi, bahkan perjalanan tak sampai-sampai. Pengertian sungai yang sunyi adalah
sungai yang telah kehilangan unsur-unsur ekosistemnya, bahkan kehilangan
alirnya. Bisa jadi perahu-perahu besar pun tidak lagi melintas. Akibatnya
perjalanan pun tidak pernah sampai.
Pada bait kedua Korrie menulis: Angin dari relung itu/ Semakin runcing/ Dan menciptakan garis ungu. Angin
yang semakin runcing tentu angin yang akan sangat menyakitkan bila menyentuh
kulit, bahkan menciptakan garis ungu, garis duka atau garis kematian. Atmosfer
angin seperti itulah yang kini menjadi bagian dari Mahakam. Angin itu bisa jadi
merupakan peradaban baru yang mengubah secara serta-merta peradaban sungai.
Peradaban baru yang lahir begitu rupa melindas peradaban sungai yang sudah ada
sejak dulu.
Puisi ini diakhiri dengan bait yang bernada elegi: Tinggallah gerimis renyai/ Dan bait-bait
sunyi/ Ketika jam pun sampai/ Menunjuk-nunjuk tempat sepi. Itulah yang
tersisa dari peradaban sungai: gerimis
rinyai dan bait sunyi. Pasir
apung sudah tidak ada lagi, kapal-kapal yang berlalu-lalang juga tidak lagi
tampak. Pembangunan daratan dan jalan raya justru meminggirkan sungai ke posisi
yang menyedihkan. Hal itu juga terjadi
di Banjarmasin misalnya. Masyarakat Banjarmasin, Kalimantan Selatan,
perlahan-lahan meninggalkan sungai sebagai pusat hidup sosial, dan berpaling
pada daratan yang terus dibangun. Pusat peradaban dan gaya hidup secara masif
berkembang, seiring pesatnya pembangunan jalan baru. Sungai kini tinggal
menjadi beranda belakang rumah, sementara jalan menempati posisi sebagai beranda
depan dan mengambil peran sebagai orientasi pembangunan. Sungai makin asing
bagi masyarakatnya sendiri.[11]
Sungai di mata penyair masih merupakan subjek yang tidak
ada habis-habisnya untuk ditulis. Persoalan sungai yang secara langsung dan
tidak langsung akan bersangkut-paut dengan persoalan manusia memang tidak bisa
dibiarkan untuk tidak ditulis. Puisi bukan hanya sebuah catatan perjalanan
penyair ketika berhadapan dengan sungai, namun juga jeritan, kritik, dan
bait-bait penyadaran, agar peradaban sungai tidak pupus dikalahkan dengan
peradaban jalan raya. Sungai memiliki pijar-pijar filsafat hidup yang dalam,
sehingga teladan aliran air bisa saja mendewasakan diri manusia, bahkan
peradaban sungai mampu melahirkan azas kebersamaan yang seharusnya menjadi
prinsip hidup komunitas manusia. Sungguh, kembalilah ke sungai, hayati
pesan-pesannya.
Seoul, 8 April 2014
![]() |
ki-ka: Yusri Fajar, Tengsoe Tjahjono, Djoko Saryono, Sosiawan Leak |
[1] Carson,
R. 1999. Silent Spring, London:
Penguin. Cetakan pertama 1962.
[2] Garrad,
Greg. 2004. Ecocriticism, London:
Routledge.
[3]
Kate Rigby, 2004. Chapter 7: “Ecocriticism” from Julian Wolfreys (ed.), Introducing Criticism at the Twenty-First
Century, Edinburgh: Edinburgh UP, 151-78.
[4] Duncan
Ggray dan Jon S. Harding. 2007. Braided
River Ecology. New Zealand: University of Canterbury.
[5]
Dana Philips, 1999. “Ecocriticism, Literary Theory, and the Truth of Ecology”.
Sumber: New Literary History, Vol.
30, No. 3, Ecocriticism (Summer, 1999), pp. 577-602. Published by: The Johns
Hopkins University Press
[6] http://www1.pu.go.id/uploads/berita/ppw241011dsda.htm
[8]
Jarkasi, 2005. Banjarmasin, Kota Yang
Tidak Adil Pada Sungai. http://www.indomedia.com/bpost/122005/
17/opini/opini1.htm
[9] http://www.wwf.or.id/?26041/Ciliwung-Sumber-Kehidupan-untuk-Jakarta
[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Sungai_Mahakam
[11]
A Handoko dan Defri Werdiono. 2011.
Pasar Terapung:Membangun Jalan, Melupakan Peradaban. http://tanahair.kompas.com/read/2011/05/08/18351088/Membangun.Jalan..Melupakan.Peradaban
Komentar
Posting Komentar