Kasih yang Kontekstual

KASIH YANG KONTEKSTUAL
Tengsoe Tjahjono

Warta kasih kita jumpai dalam kitab suci, namun praktik kasih hendaknya terdapat dalam hidup nyata sehari-hari. Kasih bukan hanya dihafalkan secara verbal, namun kasih harus diwartakan secara nyata dalam bentuk laku dan tindakan. Sebab, kasih tanpa perbuatan, sesungguhnya sia-sia belaka.

Dalam upaya mewartakan kasih secara nyata dan aktual itulah Komunitas Penulis “Deo Gratias” menghimpun beberapa cerita pendek dan puisi yang diberi tajuk “Kusuruh Tuhan Menunggu”. Tentu saja, cerpen dan puisi dalam antologi sastra ini dimaksudkan sebagai pintu gerbang untuk mengenal pelbagai laku manusia, konflik batin dan narasi hidupnya, yang jatuh bangun antara kasih dan benci, antara cinta dan ego pribadi, antara Tuhan dan diri sendiri. Pengenalan terhadap heterogenitas persoalan tersebut diharapkan mampu membuat pembaca menyadari posisi dirinya ketika menghadapi persoalan yang mirip atau sama.

Judul “Kusuruh Tuhan Menunggu” ini dipungut dari puisi karya Maria Lupiani. Dari segi bentuk, puisi Lupiani ini sebenarnya amat sederhana. Hanya, dari segi pesan puisi tersebut memiliki kandungan isi yang dalam. Puisi itu menggambarkan bagaimana tantangan dunia modern yang penuh gemerlap serta disesaki oleh kerja dan kerja membuat relasi manusia-Tuhan menjadi renggang. Manusia cenderung menunda perjumpaannya dengan Tuhan karena dunia lebih utama. Bahkan, dengan sombongnya justru meminta Tuhan menunggu, memaklumi kesibukannya. Secara eksplisit Lupiani menulis sebagai berikut.

...
Ohhhhhh Tuhanku…
Betapa tak tahu dirinya aku
Memintamu menunggu termangu
Aku sibuk dengan diriku
Menyapamu saja aku tak mampu
Berdalih tak punya waktu
Menuntut mengerti aku
Seakan aku yang menjadi tuan-Mu
Padahal jelas kutahu
Kutak pernah dapat menunggu
Semua yang kumau
Yang kuminta kepada-Mu

Membaca bait terakhir puisi tersebut kita baca betapa dilematisnya manusia dalam menentukan pilihan: antara Tuhan dan dunia. Hanya akhirnya pilihannya justru Tuhan yang menjadi kedua atau bahkan yang kesekian saja. Padahal selalu kita ingat bahwa cari dulu Kerajaan Allah, maka yang lain-lain akan ditambahkannya. Sungguh, iman tanpa perbuatan, hanya lonceng yang bergema di ruang hampa.

Begitulah hitam dan putih selalu tinggal dan berakar pada tubuh manusia seperti puisi Sesilia Hernadia Kusuma Pertiwi berikut ini.

                                HITAM DAN PUTIH

Pekat sungguh sangat hitam
Kepicikan hadir di sela-selanya
Kesombongan menguburkan mata batinnya
Gersang tandus tak pernah beramal dalam niat
Walau telah gelap tetap saja dihembusi angin
Seberkas sinar tembus hingga segala debu menjadi jelas terbentang
Dalam hitam bertemankan putih
Memeluk hitam membalut bersama kesejukan cinta
Mendekap lekat kedalam disertai perasaan kasih mesra
Membungkus hitam dengan pita bernubuat keimanan
Bukan untuk melepaskan tapi menyaksikan
Didalam putih masih ada hitam yang tertinggal
Selalu dan selalu berpelukan
Sang sulung putih dan si bungsu hitam
Merangkul hitam dalam dekapan putih 
Melewati dualitas kehidupan

Pergulatan hitam dan putih, nafsu dan nurani, dunia dan Tuhan, sepanjang hidup akan terjadi dalam diri manusia. Hal mana yang akan dipilih dan dimenangkan sangat bergantung pada pilihan masing-masing karena Tuhan memberikan kehendak bebas kepada tiap pribadi. Bahagia kekal atau menderita kekal adalah pilihan yang sudah dimulai sejak manusia tinggal di bumi. Dalam  puisi Sesilia di atas terlihat betapa larutnya hitam dan putih itu, tak dapat dipisahkan, karena memang begitulah kodrat manusia. Sungguh, manusia akan terus berada di ruang dilematis tak kunjung pupus hingga akhir zaman.

Dengan sangat apik Sandra Palupi dalam puisinya “Gelas Kerja” melukiskan manusia sebagai pribadi yang terperangkat dalam gelas kerja. Apa pun jenis gelas, ia adalah tempat minum sebagai penghilang rasa haus atau sebagai pemuas kenikmatan. Andai kerja dapat dituang di dalam gelas, bisa jadi kerja itu memang sebuah kebutuhan atau sebuah kesukaan, yang harus dipenuhi setiap hari. Kebutuhan dan kesukaan tentu dua hal yang sangat berbeda. Hal itu juga merupakan dilema dalam hidup manusia.

Dalam puisinya itu Sandra menuliskan bait satir yang amat paradoksal: Makin bekerja makin melarat. / Makin setia makin sekarat. Terus bagaimana seharusnya kita menyikapi hidup ini? Haruskah kita terus-menerus berada kegamangan yang tak kunjung rampung. Atau, malah kita duduk diam tak berani berbuat apa pun. Dalam puisinya “Berlarilah Terus Berlari” Denny Ketip meminta bahwa “Kau yang masih di dalam gelap/ janganlah hanya menangisi kedukaan/ berdiri dan nyalakan senyum hatimu/ berdiri dan hempaskan teriakmu.”   Sungguh, kegagalan bukan karena kita jatuh berkali-kali, kegagalan itu justru lahir ketika kita tidak berani bangkit saat kita jatuh. Bangkit karena Tuhan yang Mahakasih akan selalu mendampingi perjalanan hidup kita di dunia.

Kasih Allah itu segala-galanya. Kasih itulah yang menyelamatkan. Kasih itu sinar dalam kegelapan, tongkat ketika manusia jatuh. Sesungguhnya, praktik kasih merupakan jalan terang dalam hidup di dunia yang penuh intrik, penuh dendam, berat dan penat. Saat manusia mengasihi Tuhan melalui kepedulian kepada lingkungan dan sesama, di situlah rasa damai itu lahir. Kedamaian dicapai ketika manusia memiliki kasih dan membagikannya.

Dalam cerpennya “Sandal Jepit Tua yang Bahagia” Wita Alamanda Simbolon berkisah bagaimana banyak orang memandang rendah orang miskin. Orang-orang miskin dipandang sebagai ‘liyan’ yang harus dijauhkan dari pergaulan orang-orang kaya, dijauhkan dari peradaban dunia. Mereka selalu memiliki praduga bahwa orang miskin itu bodoh, kotor, dan selalu merepotkan. Hanya dalam cerpen ini ibu miskin yang bersahaja itu mampu mengantar anaknya melaju ke jenjang sukses, anak yang berhasil sebagai pelajar dan pribadi. Kesuksesan itu justru tidak dimiliki oleh orang-orang yang berduit. Kesuksesan menjadikan anaknya pribadi yang unggul tidak lantas membuat ibu itu jumawa, tetap saja dia rendah hati. Segala cibiran dan hinaan diterimanya dengan syukur. Mungkin saja dalam hatinya berbisik kalimat, “Tuhan, ampuni mereka karena mereka tidak tahu.” Dalam kutipan percakapan berikut ini tampak jelas bagaimana kuat pengaruh kerendahhatian. Ia mampu menaklukkan keangkuhan.

...
Wanita itu, tersenyum lembut.  Ia memelukku, padahal beberapa jam yang lalu ia bilang keringatku bau jengkol.
                Mobil mewahnya sudah datang, dibawa seorang supir. Ia mengajak ikut, tapi aku menolak.
                “Aku nggak menyangka , keangkuhan Ibu tadi bisa runtuh. Runtuh, karena kerendahan hati Ibu.”
                “Memangnya, dia siapa Jonatan?”
                “Dia istri pemilik saham terbesar sekolah ini, Bu! Semua takut kepadanya.”
                Wanita itu, melambai-lambaikan tangannya ke arah kami. Aku membalasnya. Kupandangi sandal jepitku, yang hari ini sudah banyak berjasa. Aku tak jadi mencopotnya dari kakiku, biar mereka juga merasakan kebahagiaan yang kurasakan.  Mudah-mudahan,  talinya tidak putus sampai ke rumah, bahkan untuk seterusnya.  Tuhan,  Kau memang tidak pernah tidur. Terima kasih atas rahmat-Mu yang sangat luar biasa ini
...

                Keadaan yang sama juga dialami tokoh Yem dalam cerpen “Air Mata untuk Tante Nia” karya Yosef Margono. Yem yang miskin juga dijauhi oleh Tante Nia, istri dari pamannya. Dalam cerpen ini Yem marah dan menyimpan dendam dalam hatinya. Berbeda dengan tokoh ibu dalam cerpen “Sandal Jepit Tua yang Bahagia” yang menerima segala makian dengan diam dalam kerendahhatian. Perbedaan karakter tersebut justru melukiskan fakta sosial yang ada. Penerimaan orang terhadap pelecehan dan hinaan bisa beragam dan bermacam-macam.
                Yang menarik justru perubahan sikap Yem. Dari membenci lalu mencintai. Perubahan itu merupakan proses kemanusiaan yang tidak gampang. Mengapa Yem berubah? Pengalaman hidup bersama Ibu Barjo yang menerimanya sebagai anaknya membuat Yem tahu arti membenci dan mencintai. Banyak hal baik yang dilakukan Bu Barjo yang ikut andil membentuk Yem memasuki habitus kasih yang baru.  Dalam cerpen itu tertulis: Tatkala manusia menolak dirimu, Tuhan akan datang menerimamu. Itu yang terjadi padaku. Tentu ini pengalaman yang sangat bernilai. Artinya, Tuhan sebenarnya tidak akan membiarkan umatnya disia-siakan oleh sesamanya karena kasih-Nya yang mahabesar. Cerpen ini ditutup dengan paragraf sikap Yem yang sudah berubah menjadi penuh kasih.
...
“Yem, Bulikmu dipanggil Tuhan,” kudengar suara Om Her serak.
                Mataku terasa panas. Air mataku tak tertahankan lagi. Jantungku berdegup kencang. Dadaku sesak seketika. Ketika kakek dan nenek dipanggil Tuhan, perasaanku tidak sepilu saat itu. Aku siap berpisah dari mereka. Tetapi kematian Tante Nia terasa begitu tiba-tiba bagiku dan aku belum siap berpisah darinya.
...

Peristiwa yang mengerikan dialami oleh tokoh Wagini dalam cerpen “Jakarta Butuh Cerita” karya Theresia Anik Soetaryo. Wagini seorang perempuan desa miskin ingin mengubah nasibnya dengan pergi ke Jakarta. Jakarta, seperti kebanyakan cerita dan berita, menjadi ikon kemewahan dan kota tempat mengubah hidup ke arah yang lebih baik secara finansial. Jakarta merupakan impian setiap orang yang kesulitan ekonomi di tempat tinggal. Maka, jangan heran, jika tiap tahun jumlah penduduk Jakarta meningkat berlipat-lipat.
Mungkin karena keluguannya Wagini masuk ke jaringan kelompok yang ingin meledakkan ibu kota. Ni terjebak dalam pusaran aktivitas itu. Apalagi Wagini sudah terlanjur mengirim uang yang sangat banyak  kepada orang tuanya. Nilai uang itu membuat keluarganya di desa bisa berubah kehidupannya secara ekonomi. Wagini tak mungkin lagi menolak pekerjaan ini: meledakkan sebuah restoran dengan bom yang dibawanya. Konflik batin pun berkecamuk hebat dalam diri Wagini dalam waktu yang tersisa tinggal 2 menit. Lalu apa yang dilakukan Wagini? Cerpen itu diakhiri begini:

Ni tak menjawab. Dia dicekam ketakutan luar biasa. Otaknya yang mati-matian berusaha dicuci oleh para gurunya, ternyata sia-sia saja. Ni tetap manusia berhati nurani seutuhnya. Sungguh tak dinyana. Ni baru menyadari betapa tangguh dirinya.
Lima detik tersisa. Ni merasakan ketakutannya memudar. Hati nuraninya telah menang dari bujuk rayu kejahatan manusia. Ni merasa damai seketika. 
Ni tahu, inilah yang terbaik. Ni tahu, dia tak berhak mengambil nyawa siapapun dengan alasan apapun. Ni juga tahu, nyawanyalah yang akan terambil, dalam dua detik lagi. Tas yang dibawanya memuntahkan maut, meledak dengan dahsyat di ruang parkir yang sepi dari manusia.

                Membaca cerpen itu mungkin orang akan bertanya: Dosakah yang dilakukan Wagini? Jawabannya tentu kita tak boleh menghakimi sesama kita sebab hakim tertinggi hanyalah Tuhan. Namun, pada akhirnya kasih memerlukan pengorbanan. Wagini memutuskan tidak meledakkan restoran sebab restoran itu dipenuhi oleh banyak orang, besar-kecil, anak-anak, bapak-ibu, dan lain-lain. Wagini mencintai orang-orang itu, seperti ia mencintai bapak-ibunya dan semua saudaranya. Dia memilih meledakkan di ruang parkir yang sepi, hanya ada dirinya seorang. Benarkah Wagini bunuh diri, atau justru berkorban demi orang-orang yang dicintainya? Hanya Tuhan yang berhak menilai.
                Saya tak mungkin mengulas seluruh puisi dan cerpen dalam antologi ini satu persatu. Sebab, pada dasarnya semua teks sastra mampu berbicara sendiri kepada pembacanya. Seluruh teks sastra dalam antologi ini merupakan salah satu bentuk jalan pewartaan kasih. Dari padanya pembaca diajak untuk melihat aneka macam persoalan hidup yang dialami manusia. Peziarahan yang penuh batu sandungan dan halangan. Dengan kasih diharapkan kita bangkit dan terus berjalan. Tidak termangu terlalu lama. Proficiat untuk Komunitas Penulis Deo Gratias. Saya bersama pembaca lain menunggu antologi berikutnya.


Seoul, 24 April 2014


                                              Tengsoe Tjahjono di Seoul Citizen Hall

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BERLATIH MENULIS CERPEN

Hakikat Cerpen 3 Paragraf

Peradaban dan Ekologi Sungai dalam Puisi